Sabtu, 19 Desember 2009

BAGI ANDA YANG BERMINAT HIDUP KONTEMPLATIF

HIDUP MEMBIARA AKTIF BERAKAR KONTEMPLASI BERJIWA NABI DAN BERKINERJA GLOBAL TRANSFORMASI
Oleh Mgr. Julianus Sunarka, SJ

BERAKAR KOMTEMPLASI

Perlu dipertimbangkan bahwa "berakar dalam kontemplasi" berbeda dengan " berakar kontemplasi ". Kata "berakar dalam", kontemplasi sendiri merupakan unsur luar dari kehidupan pribadi yang bersangkutan. Sedangkan "berakar kontemplasi" , ya kontemplasi itu sendirilah yang menjadi akar kehidupan rohani. Bila kontemplasi menjadi akar, baiklah orang merenungkan peran akar dalam segala macam tumbuh-tumvuhan. Rasanya yang dihayati oleh para mistikus aktif, ialah menempatkan kontemplasi sebagai akar dan bukannya kontemplasi sebagai unsur di luar manusia. Fungsi akar bgi tumbuh-tumbuhan adalah bagian vital tumbuh-tumbuhan untuk menyerap segala unsur yang diperlukan oleh tumbuh-tumbuhan bisa hidup.Demikian pula kontemplasi menjadi akar kehidupan rohani, ini berarti yang mempunyai fungsi menyerap semua unsur diluar diri manusia sehingga manusia secara rohani dapat hidup. Bagaimana halnya bahwa kontemplasi mempunyai daya penyerapan daya kehidupan ?

APA ITU KONTEMPLASI ?[1]
Kontemplasi berarti doa tanpa kata dan tanpa pemikiran diskursif, dengan demikian dibeadakan dari meditasi yang (masih) menimbang-nimbang sesuatu dan beralih dari pengertian yang satu ke yng lain. Kata dan ide yang terus berganti, refleksi untuk menyegarkan wawasan atau mengambil keputusan, bukanlah yang didamba dalam kontemplasi. Proses seperti ini justru menjadi halangan. Yang diinginkan adalah hanyalah keseempatan untuk menyatakan cinta, harapan, perc
aya dan syukur kepada Tuhan dalam satu dua patah kata saja. Kata itu diualang-ulang sehinbgga lama kelamaan makna dan manfaatnya kian meresap. Dan tibalah saatnya waktu kerinduan yang lebih mendalam disadri oleh orang berdoa. Apa yang semua merupaskan cinta atau syukur yang diungkapkan dalam kata-lata yang kurang bermakna, kini semakin menjadi sikap persembahan, meski pemberian diri seutuhnya mungkin belum berlangsung.

Pergeseran dari meditasi ke kontemplasi biasanya dianggap sebagai langkah maju, yang dapat diharapkan akan terjadi pada tahap terrtentu. Kontemplasi dipandang sebagai keadaan yang dicapai secara berjuang. Hanya orang yang sering bermeditasi dpat meraih kontemplasi, dan biasanya justru pada waktu meditasi mulai merasa kering. Konsep berjenjang ini memainkan peranan pennnting dalam memahami kontemplasi itu sendiri.

Kontemplasi kristiani memerlukan meditasi kristiani. Yaitu refleksi atas cita-cita kristiani yang agung yakni pribadi Kritus sendiri beserta kebenaranNya dan segala sesuatu yang telah dipikirkan, dirasakan, dikehendaki, dikatakan dikerjakan atas namaqNya dalam bimbingan Roh Kudus. Tanpa kaitan ini kontemplasi tidak bercorak khas kristiani. Kontemplaasi pernah digambarkan sebagai perhatian sederhana yang disertai cinta "pandangan penuh cinta" atau mengintip ke surga dengan mata rohani. Contemplare (latin) berarti memandang dengan saksama, melihat dan meneliti yaitu mengamati tanda-tanda yang terjadi di `templum´ yaitu tempat ibadah tempat mencari tahu kehendak ilahi.
Terdapat tiga bentuk kontemplasi. Pada bentuk atau tingkat pertama, orang menemukan Tuhan dalam segala makhluknya (entah gunung atau punthukan kecil, gajah atau uget-uget, pohon beringin atau pohon kates). Pada tingkat kedua, perhatian terpusat pada tingkatan eksistensi/ keberadaan yang tidak mungkin dicapai dengan pancaindera. Perhatian menjauhi bayangan, gambaran, bahkan gagasan, sampai terjadi `Malam Pancaindera´: yaitu keringnya hidup rohani yang mencemaskan dan mengelisahkan, tetapi mendiorong agar orang mencari Tuhan secara lebih langsung, agar le
bih dimiliki olehNya. Pada bentuk atau tingkat yang ketiga dan paling sempurrna, orang `mati´ terhadap kehendaknya sendiri : di `Malam Roh´ini Cinta mutlak dianugerahkan.

Di dalam kiprah klasik tentang kehdidupan rohani, kontemplasi sendiri dipandang mempunyai tahap-tahap yang dinamai secara berbeda dan memnucak dalam persatuan ekstatik dengan Tuhan yang disebut juga `perkawinan spiritual´ Komentar dan penjelasan panjang lebar : tentang kontemplasi terdapat dalam karya penulis seperti Yohanes Casianus (360-435 Mesir) The cloud of unknowing ( abad ke 14 Inggris), Yohanes dari Salib dan Theresia dari Avila Spanyol abad ke 16 dan Fransiskus dari Sales (1567-1622 Perancis).

Tiga bentuk kontemplasi tersebut dapat disamakan dengan tiga tingkatan realitas, yaitu dunia kodrati yang penuh perubahan, dunia rohani dan dunia yang melampaui atau persatuan dengan Tuhan (Ruysbroek 1293- 1381) . Atau dengan ketiga prisip hakikat ilahi yang diketengahkan oleh Jakob Boehme : gambaran Yang Abdi di dunia ini adalah perwujudan dari Yang Ilahi di `di dunia cahaya abadi´, dan ketuhanan yang paling dalam tanpa nama dan melampaui semuanya. Atau dengan tiga surga dari Jacopone da Todi (1230-1306) yang selaras dengan tiga fase dalam kesdaran -> kontemplaitf Richard dari S. Victor (1123-1175) pengembangan akal budi, pengangkatan pikiran dan akhrinya ekstase. " Kontemplasi ,mula-mula menghasilkan ketidak-acuan terhadap apa saja (indeferentia) kebebasan dan ketenangan jiwa atau suatu rasa diatas dunia ini, suatu rasa gembira yang mendalam. Si subyek berhenti memahami dirinya sedniri sebagai salah satu unsur di atara banyak unsur dan bagian dalam kesadarannya. Ia diangkat ke atas dirinya sendiri. Jiwa yang lebih mendalam dan lebih murni mengambil alih diri yang biasa. Dalam keadaan ini, kesadaran akan keakuan dan kesadaran akan dunia luar menghilang. Si mistikus sadar akan hubungannya yang langsung dengan Tuhan sendiri, akan partisipasinya dalam ke-Ilahihan- Nya. Kontemplasi merupakan suatu metode pengetahuan dan keberadaan. Lebih lagi, kedua hal ini akhirnya cenderung semakin menyatu. Msitikus semakin mempunyai kesan, bahwa ia menjadi apa yang diketauinya dan mengetahui keberadaannya. (Delacroix) Dan kontemplasi dimaksudkan juga hidup kontemplatif[2], yang menggunakan hidup sederhana dan tenang yang mendukung doa, meditasi dan kontemplasi. Oleh karena itu kegiatan aktif dan keramaian dijauhkan. Ordo dan tarekat biarawan/wati disebut kontemplatif kalau kehiduoan bersama diatur sedemikian, sehingga mendukung hidup kontemplatif a.l dengan bentuk klausura dan penyisihan banyak waktu untuk doa pribadi ataupun bersama. Termasuk ordo kontemplatif antara lain para trapis dan Kamadulens; para rubiah Klaris dan Karmelites termasuk ordo kontemplatif wanita. Banyak Ordo berusaha menggabungkan hidup kontemplatif dengan kegiatan mangrasul (kontemplativus in actione), misalnya ordo Dominikan[3] .Cita-citanya seperti ini tidak mudah diamalkan.

Dari uraian di atas, sudah dapat dibayangkan bahwa orang yang berakar kontemplasi adalah orang yang hidupnya terrasuki kontemplasi, sehinga kontemplasi merupakan bagian hidup dirinya, yang perannya adalah menyerap rasa, cipta, karya dan karya Yesus sendiri. Baru dalam kondisi hidup seorang rohaniwan seperti itu, ia dimungkinkan merasuki kejiwaan nabi : ya rasanya, pikirannya, fantasinya, impiannya, karsanya.

BERJIWA NABI.
APA ITU NABI
? [4]

Nabi (Ibrn) adalah seorang yang mewartakan pesan yang diterima dari Roh Ilahi. Maka seorang nabi disebut "mulut" Yahwe, karena mengumumkan kepada manusia apa yang dipesankan oleh Allah. Kadang pesan ilahi ditekankan dengan tambahan `demikianlah firman Allah´.

Dalam Perjanjian Lama dibedakan tentang nabi benar dan nabi palsu yang menyesatkan rakyat. Terdapat juga jabatan nabi yang profesional, yang ditempat-tempat keramat dan istana menyingkpkan hal-hal yang tersembununyi, misalnya sukses atau gagal dalam perang, nasib pada masa depan dan kehendak Yahwe di keadaan tertentu. Nabi-nabi benar dipanggil secara khusus dan diutus Yahwe untuk memperingatkan Israel supaya setia pada perjanjiannya pada Yahwe, meninggalkan ilah-ilah buatan manusia, mempersembahkan hati yang murni dan bukan hanya kurban binatang serta bersikap adil terhadap warga yang lemah. Mereka diutus mengancam dengan malapetaka baik para raja dan imam maupun seluruh rakyat yang berpaling dari Allah. Tetepai mereka juga memberi harapan kepada orang yang setia dalam kesulitan. Kadang-kadang para nabi yang benar dikejar-kejar dan dianiaya, karena mencela perbuatan jahat golongan atas. Mereka mewartakan kedatangan seseorang mesias/almasih yang akan menyelamatkan bangsanya.

Menurut Penjanjian Baru, nubuat para nabi PL dipenuhi dalam pribadi Yesus ( Mat 5:17) Dialah nabi yang terbesar, karena ia bukan saja menerima dan meneruskan sabda Allah, tetapi dia sendirilah Sabda Allah. Ia tidak hanya mewartakan keselamatan, tetapi Ia sendirilah keselamatan semua orang. Ia tidak hanya mewahyukan tentang Allah, tetapi Ia sendiri adalah Wahyu Ilahi. Maka para nabi sebelumnya adalah pelopornya. Nabi- nabi yang disebut Kisah Para Rasul dan surat-surat PB sesudahnya bersaksi tentang Yesus atau menafsirkan karya dan sabdaNya untuk situasi mereka. Dalam PB selain Yesus, Yohanes Pembaptis , Ana dan puteri-putri Filipus (Kis 21:9) disebut nabi. Karena Jesus adalah Utusan Allah (Yoh 6:14) Ia mengalami nasib para nabi juga. (Lk 13:33).

Dalam PL disebut nabi-nabi yang karya tulisnya masih ada (Kitab Para Nabi : dari abad ke 7 sampai ke 2 sebelum M) dan ada nabi-nabi yang namanya dikenal hanya dari kitab-kitab lain, misalnya nabi Natan, Elia, Elisa; juga sejumlah nabi wanita yaitu : Hulda dan Debora).

Karisma kenabian agak biasa dalam Gereja Purba ( 1Kor 12:28 dst 14:30-32 Kis2, 1`021; 10:33-36;19: 1-6) Para nabi kristen menguatkan umat dalam iman, bebicara dalam bahasa-bahasa asing, menobatkan orang kafir dan membuka isi hati orang. Tindakan, perbuatan dan nubuat para nabi dinilai oleh mereka yang dianugerahi karisma menilai roh-roh. Sebab terdapat dan selamanya akan terdapat juga nabi- nabi palsu yang menyalahgunakan nama Jesus.

Orang kristen, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama mengambil bagian dalam jabatan Kristus sebagai nabi, (G 35) a.l dengan berperan sebagai suara hati yang kritis dalam masyarakat. Karisma kenabian[5] dalam Gereja memanggil orang supaya amanat Kristus atau Injilnya diamalkan dalam situasi konkret setiap jaman secara konsekuen, murni dan baru. Kadangkala perutusan ini bertabrakan dengan pandangan para pejabat dalam Gereja yang memang harus mnyelidiki semuanya dan (!) memilih yang baik Dalam KS juga ditemukan nabi perempuan. Di dalam PL, misalnya Miryam adik Musa,Debora dan Hulda; dalam PB, misalnya Anna (Luk 2:36) Di sementara Gereja Pentekosta dan kelompok kelompok kharismatik sewaktu waktu tampil orang yang daianggap menerima kharisma kenabian.

Di luar Agama Yahudi dan Kristen nabi-nabi juga ada dalam agama Baal ( 1 Raja 18), agama Mesir kuno dan Sikh. Dan 25 nabi dalam agama Islam, sebagian besar terdapat juga dalam PL. Kalau seorang diutus untuk menyampaikan wahyu ilahi kepada suatu umat dan menerima Kitab Suci, maka ia disebut juga rasul. Jadi, setiap rasul adalah nabi, tetapi setiap nabi bukan pasti seorang rasul juga. Dengan demikian Nabi à Musa menerima Kitab Taurat untuk umat Yahudi, Nabi Daud Kitab Zabur, Nabi Isa menerima Kitab Injil untuk umat kristen dan nabi Muhammad menerima Kitab AlQur-an untuk umat Islam. Baik agama kristen maupun Islam menerima Jesus/Isa sebagai seorang nabi. Namun bagi agama kristen, Jesus bukan hanya seorang nabi. Dialah Sabda Allah yang menjadi manusia (Yoh bab 1), Yang tidak membawa pesan tetapi Ialah sendiri adalah pesan itu. Jesus juga imam satu-satunya PB (Hibrani 4-9) dan Raja, Yang KerajanNya bukan dari dunia ini (Yoh 18:37). Pandangan ini sangat berbeda dengan kedudukan dan dengan peran nabi yang dinantikan oleh masyarakat Yahudi pada jaman Jesus, khususnya sekte Qumran dan beberapa kelompok Yahudi-Kristen yang menolak Jesus sebagai Allah Putra. Nabi Muhammad memandang diri penerima dan penerus sabda-sabda Ilahi kepada umatnya., namun tidak sebagai imam. Peran sebagai raja diamalkan oleh Muhammad mungkin dengan menjadi pemimpin umat di Medinah dan kemudian seluruh umat Islam. Apakah peran politis ini dijalankan oleh Nabi Muhammad sebagai nabi atau sbagai pemimpin politik, yang pandai mengatur umat,, masih menjadi bahan diskusi dikalangan para ahli Islam. Ada yang berpendapat bahwa perannya sebagai pemimpin didasarkan semata pada kepribadiannya dan tidak berkaitan dengan kedudukannya sebagai nabi (lihat Ali Abd al Razig)

Menurut pengalaman dan pandangan penulis ini, orang akan terkaruniai kejiwaan nabi, dengan pengandaian orang itu secara matang merasuki doa kontemplasi dalam aksi : disitu ada kinerja pengindraan atas lingkungan peristiwa ( hidup masyrakat secara ideologi, politik, sosial ekonomi-kesehatan- pendidikan, budaya, keamanan) dan wawas batin kehadiran Tuhan di situ; bisikan yang terdengar dan sentuhan apa terasakan oleh si pendoa kontemplasi ? Singkatnya, kejiwaan nabi sangat erat dengan kontemplasi yang mengingatkan sejarah masa lampau, membuka kenyataan saat kekinian dan memberikan gambaran kemasadepanan. Perlu disadari oleh orang hidup saat ini, bahwa kemasadepanan global menjadi keprihatinan umum manusia, yang sedang mengalami" kegalauan hidup manusia dan alam lingkungannya" , a.l. perselisihan antar suku dan bangsa krisis ekonomi dunia, sekularisme, hedonisme, arus neo liberaalisme, terorisme, semakin musnahnya hutan lindung, makin banyaknya limbah pengotor wilayah, global warming, banyaknya bencana alam, komunikasi maya, ketidakteraturan musim. Untuk kemasa depanan kehdiupan di dunia ini, yang aman, damai, sejatera, penuh persaudaraan dalam kemerdekaan, perlukah adanya pertobatan seluruh umat manusia baik dalam sikap hidup terhadap dirinya sendiri dan terhadap alam lingkungannya ? Perlukah tindak transformasi global? Perlunya pertobatan, tidak diragukan lagi.

GLOBALISASI DAN WACANA GLOBAL CIVIL SOCIETY[6]
KONSEPSI

civil society telah lama menjadi bahan diskusi berbagai kalangan. Akar-akar modernnya bisa ditelusuri dari Hegel, de Tocqueville, hingga Antonio Gramsci. Bila ditarik ke belakang, ide-ide yang kurang lebih sepadan bisa ditemukan pada konsepsi zaman Romawi mengenai civic virtue.Di Indonesia selama ini konsepsi civil society lebih dipahami dalam kerangka Gramscian. Gramsci memandang civil society sebagai wilayah yang terletak di antara "negara" dan "pasar". Konsekuensi logisnya adalah, sebagaimana yang umumnya dipahami di Indonesia, wilayah civil society dianggap sebagai wilayah non-negara dan non-profit. Akibatnya, secara terburu-buru lembaga swadaya masyarakat (LSM) sering kali dianggap dan menganggap dirinya sebagai tonggak utama penegak civil society. Padahal, LSM hanyalah salah satu elemen penopang civil society. Konsepsi Gramscian seperti tersebut di atas pada dasarnya perlu ditinjau ulang. Karena, pemahaman semacam itu tidak mampu menjelaskan beberapa fenomena yang berkembang. Ada banyak institusi yang diciptakan negara yang ternyata bergerak dalam arah penguatan institusi dan hak-hak sipil. Misalnya, Komnas HAM yang dibentuk oleh negara dan juga institusi Ombudsman[7] . Di samping itu, media massa merupakan representasi dari hak-hak sipil untuk bersuara, sementara tidak bisa dipungkiri juga bahwa media massa merupakan lembaga profit. Oleh karena itu, seperti ditawarkan oleh Kusnanto Anggoro dan Richard Holloway dalam tulisannya "Civil Society, Citizens, Organizations, and the Transition to Democratic Governance in Indonesia" (2000), konsepsi civil society lebih tepat bila dipahami sebagai pertautan interaksi antara tiga sektor, yakni sektor pemerintah, bisnis dan sektor warganegara, dimana di dalamnya terjadi kerjasama penguatan partisipasi warga negara dan penegakan nilai-nilai kewarganegaraan seperti pluralisme dan lain-lain.

Tentang Global Civil Society

Pengertian yang terakhir ini, sedikit banyak bersinggungan dengan sebuah ide yang tengah mengemuka yakni global civil society. Elaborasi terhadap pengertian ini bisa ditemukan dalam sebuah laporan bertajuk "Global Civil Society 2001´´ yang secara resmi diterbitkan oleh London School of Economic and Political Science. Dalam pengantarnya untuk laporan ini, Anthony Giddens menyebutkan bahwa konsepsi global civil society erat kaitannya dengan fenomena globalisasi. Terlepas dari persetujuan atau penolakan terhadap globalisasi, Giddens menganjurkan untuk mencermati fenomena globalisasi yang multi dimensional secara serius. Bila sejauh ini civil society menjadi bumper di antara 'negara' dan 'pasar' untuk mencegah salah satu dari keduanya menjadi terlalu dominan, demikian pulalah pengertian global civil society di tengah-tengah menguatnya kekuatan pasar dan upaya negara untuk mereformulasi klaimnya atas kedaulatannya. Artinya, seiring dengan semakin meng-global- nya demokrasi, ruang bagi civil society yang melampaui batas-batas tradisional negara juga dimungkinkan untuk dibangun. Giddens menyebutnya sebagai 'globalisation from below', yang menjadi penyeimbang bagi proses liberalisasi perdagangan yang digerakkan oleh perusahaan-perusaha an raksasa dunia pada satu sisi dan institusi negara pada sisi yang lain. Laporan tersebut menyatakan bahwa pengertian global civil society bisa dipahami dalam pengertian posisi relatif terhadap globalisasi. Dalam pemahaman ini, terdapat empat posisi relatif terhadap globalisasi.

Pertama adalah pendukung, yakni individu atau kelompok yang antusias terhadap globalisasi. Termasuk dalam kelompok ini adalah perusahaan-perusaha an transnasional dan aliansinya, yang bisa berarti individual ataupun 'negara'.

Kelompok kedua adalah penolak, yakni mereka yang hendak membalikkan atau menghentikan proses globalisasi dan mengembalikan kekuatan nation-state. Bisa termasuk ke dalam kelompok kedua ini adalah kelompok yang bisa saja mendukung kapitalisme global namun menolak terbukanya batas-batas negara; kelompok 'kiri' yang menolak sama sekali kapitalisme global; kelompok nasionalis dan kelompok radikal agama serta kelompok-kelompok gerakan anti kolonialisme. Pada dasarnya, kelompok kedua ini hanya melihat bahwa proses globalisasi adalah berbahaya dan karena itu mereka menolaknya.

Kelompok ketiga, dimana global civil society termasuk di dalamnya, adalah kelompok reformis, yakni mereka yang menerima kenyataan ke-salingtergantung -an global dan potensi menguntungkan bagi kemanusiaan, akan tetapi tetap melihat adanya kebutuhan untuk memanusiakan (civilise) proses globalisasi ini. Kelompok global civil society adalah kelompok yang mendukung reformasi institusi ekonomi internasional, menuntut keadilan yang lebih luas dan menuntut prosedur-prosedur yang partisipatoris.

Sementara itu, kelompok keempat adalah kelompok yang tidak terlalu memperdulikan globalisasi, dalam pengertian tidak menolak atau menerimanya, namun memiliki agenda sendiri yang berdiri sendiri dari pemerintah, institusi ekonomi internasional ataupun perusahaan transnasional. Misalnya adalah kelompok-kelompok akar rumput dan pemberdayaan masyarakat.Masyarak at sipil global bisa menjadi penyeimbang proses globalisasi yang diyakini memiliki sisi baik dan sisi buruk yang yang saling berhadapan. Untuk mengawalinya, pengertian civil society harus diperluas wilayahnya, tidak lagi dalam pengertian Weberian yang menempatkannya hanya dalam level negara-bangsa. Namun, konsepsi global civil society tidaklah hendak meminimalisasi peran negara. Akan tetapi ia bertujuan untuk mengadvokasinya, agar daya responsif dari institusi politik bernama 'negara' menguat untuk menjalankan perannya dalam memajukan kesejahteraan bersama warganya di tengah proses globalisasi.

Konsepsi ini juga berarti bahwa yang harus dilakukan adalah mendemokratisasikan demokrasi, yang bisa dilakukan baik oleh individu, bisnis ataupun negara, dan mendistribusi kekuasaan untuk mengkedepankan prosedur partisipatoris baik dalam level nasional atau perluasannya dalam level global.

TAREKAT RELIGIUS BERKINERJA GLOBAL TRANSFORMASI ?

Dengan memperhatikan beberapa ulasan di atas ialah tentang kontemplasi, nabi dan arus transformasi global, lalu, muncul pertanyaan, bagi para pendoa kontemplatif ke-tarekat-an ada bisikan apa dan ada keterbukaan selubung mana untuk bertindak di masa kini dan merencana ke masa depan ? Tentu, secara garis besar, orang dapat berkata bahwa untuk saampai bisikan Roh tentang jati diri Tarekat dan apa yang selayaknya ditindak lanjuti, perlu tersediannya gambaran menyeluruh mengenai data kekuatan, kelamahan, ancaman dan peluang dunia global untuk menuju dunia terselamatkan `aman, damai, sejahtera, kesetiakawanan kemerdekaan" . Demikian juga bila kinerja suatu Tarekat mau dibatasi pada wilayah negara tertentu, misalnya, antara lain Indonessia atau Philipina, meyempitnya lagi di wilayah suatu keuskupan. Juga tentang bidang karya kerasulan apa yang mau diprioritaskan. Bagaimanapun, meski Tarekat akan membatasi kerjanya dalam wilayah tertentu, mau tidak mau Tarekat perlu melihat wilayah tertentu itu atau bidang kerasulan tertentu itu dalam lingkup arus global; terdapat keterpautan apa antara riak-riak kehidupan wilayah tertenu itu dan bidang tertentu itu dengan gelombang besar samodra global. Tarekat sendiri dalam kecenderungannya menceburi masalah global demi terlaksananya transformasi, perlu bertanya diri bisa menyumbang apa, berdasarkan kenyataan Tarekat dalam masalah 6 M (mision, men, money, method, matter and marketing). Dari hasil kontemplasi diskretif ini, Tarekat akan memasuki kersulan yang berkadar transformasi secara teritorial atau kategorial , makro atau mikro, mondial atau lokal ?

Tarekat, dalam kehidupan rohani para warganya meng-kontemplasikan kehidupan Yesus di dunia, akan mendapatkan terang bahwa Yesus dalam kehendakNya, selaras dengan kehendak Allah Bapa, menyelamatkan dunia, mulai dengan perhatian pada wilayah tertentu dan kelompok masyrakat tertentu. Meski demikian cita, rasa, cipta, karsa, kerja Yesus, Juru selamat, mempunyai daya menembus masyrakat dunia di sepanajang masa. Peristiwa tang dapat diamati bahwa Yesus membentuk kelompok kecil para rasul yang dibina secara khusus; dan mereka inilah yang dalam perjalanan jaman dan penjelajahan dunia, berhasil mewujudkan transformasi global kehidupan manusia menuju keselamatan.

Yesus menghampiri para murid-Nya dan berkata :
"Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi Karena itu, pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku Dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus Dan ajarilah mereka melakukan segala sesuatu yang yelah Ku-perintahkan kepadamu Dan ketahuilah, aku mnyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman" (Mat 28:18-20).

Purwokerto 3 Desember 2009
Pesta Santo Fransiskus Xaverius

____________ _________ _________ __

[1] A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja no 5, halaman 49-50.
[2] Kontemplatif menandakan cara hidup yang mengutamakan kehidupan tenang dan bertapa, supaya dapat bersemadi dan berdoa dengan lebih mudah. Merenungkan dan memandang(=contempl are) hal-hal ilahi meruapakan kegiatan manusiawi termulia yang didukung rahmat. Ordo/ kongregasi yang mengutamakan segi kehidupan religius inui disebut kontemplatif yang terbedakan dari yang aktif.
[3] Nb. Doa kontemplatio in actione St. Dominikus diteruskan oleh St. Ignatius Loyola, pokok doa Latihan Rohani dinamika mingu ke dua.
[4] A. Heuken SJ, Ensiklopedi gereja no 6, halaman 9-10
[5] A. Heuken SJ Ensiklopedi Gereja 4, hal 140-142 : Tugas kenabian adalah rahmat untuk menafsirkan atas Nama allah suatu situasi dari segi ketidak selamatan dan dengan demikian memberikan visi tentang masa depan. Para nabi dalam PL dan PB : Yohanes Pembaptis (Luk 7:28) dan Jesus sebagai Nabi (Mat 13:56, Mrk 6:4, Luk 1:76; 4:24;24:19) menyampaikan kehendak ilahi disukai atau tidak disukai orang (2Tim 2:2). Mereka menegur serta menyalahkan orang, seluruh rakyat dan para pemimpin agama dan bangsa, karena mereka tidak mau mengenal dan mengamlkan kehendak Allah. Karena ketegaran itu mereka sampai membunuh beberapa nabi yang diutus allah dan menuruti nabi-nabi palsu Yesus mengalami nasib para nabi yang diutus allah sebelumnya (bdk. Mat 23:37)..Menurut Konsili Vat II semua orang beriman terpanggil untuk mengambil bagian dalam tugas kenabian Gereja ( G 12 dan 35)...Gereja sebagau umat Allah dipanggil untuk mengamaalkan tugas/peran kenabian dalam masyarakat umu,a.l dengan berperan sebagai pembela à keadilan sosial, kesamaan martbat semua orang dengan tidak membeedakan ras, suku, agama, kelamin dan mengakui hak-hak asasi dan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak mengalah pada godaan dan kesempatan berkorupsi, kini merupakan tindakan kenabian. Fungsi kenabian ini diamalkan melalui pewartaan (a.l. dengan dokumen resmi) dan terutama dengan teladan
[6] Pikiran Rakyat Edisi 26 Maret 2002;Globalisasi dan Wacana Global Civil Society.
Oleh PHILIPS JUSARIO VERMONTE. Penulis adalah peneliti CSIS Jakarta.
[7] Ombudsman : Word History: The word ombudsman has one familiar element, man, but it is difficult to think of what ombuds could mean. Ombudsman is from Swedish, a Germanic language in the same family as English, and man in Swedish corresponds to our word man. Ombud means "commissioner, agent," coming from Old Norse umbodh, "charge, commission, administration by a delegacy," umbodh being made up of um, "regarding," and bodh, "command." In Old Norse an umbodhsmadhr was a "trusty manager, commissary." In Swedish an ombudsman was a deputy who looked after the interests and legal affairs of a group such as a trade union or business. In 1809 the office of riksdagens justitieombudsman was created to act as an agent of justice, that is, to see after the interests of justice in affairs between the government and its citizens. This office of ombudsman and the word ombudsman have been adopted elsewhere, as in individual states in the United States
. The term has also been expanded in sense to include people who perform the same function for business corporations or newspapers. The American Heritage® Dictionary of the English Language, Fourth Edition copyright ©2000 by Houghton Mifflin Company. Updated in 2009. Published by Houghton Mifflin Company. All rights reserved.

sumber : http://www.imankato lik.or.id/ kontemplasi. html

Kamis, 10 Desember 2009

Selasa, 24 November 2009

POSISI HIDUP BAKTI SEBAGAI "BROEDER" DALAM GEREJA


Kutipan dari tulisan Br. Rene Stockman FC, PhD – Pimpinan Umum Kongregasi Bruder Karitas di Roma. Dari buku Beliau yang berjudul : MAY I CALL YOU BROHTER? Hak cipta pada Br. Rene Stockman FC Karena ini terjemahan, boleh jadi terjadi kekurangan di sana sini.

POSISI HIDUP BAKTI SEBAGAI "BROEDER" DALAM GEREJA

Tujuan kami adalah untuk memposisikan hidup bakti para Broeder dalam Gereja masa kini, sebaiknya kami berangkat dari Dokumen / Konstitusi dogmatik dan dekrit yang dihasilkan Konsili Vatikan II dimana Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja, juga dikenal dengan “Lumen Gentium”disingkat LG. LG mendapat tempat pusat karena mendefinisikan kembali mengenai Gereja sebagai Umat Allah. Dahulu, hirarki Gereja diutamakan dan para awam dianggap orang Kristiani kelas dua. Kelompok religius mendapat alokasi tempat kira-kira diantarakeduanya (cf. Paus Pius XII dalam “Provida Mater Ecclesia”: kelompok religius sebagai penengah antara hirarki dan para awam). Konsili dalam LG menegaskan bahwa Umat Allah adalah semua orang beriman yang berpartisipasi dalam imamat umum Kristus.

Umat Allah

“Lumen Gentium” bersifat mutlak: “Semua orang dipanggil untuk turut serta menjadi Umat Allah yang baru. (LG no. 13) “Maka sudah jelas bagi semua, bahwa semua orang yang beriman terhadap Kristus dengan status apapun, terpanggil untuk memenuhi kehidupan Kristiani dan penyempurnaan karya kasih; melalui kekudusan inilah suatu cara kehidupan yang lebih manusiawi akan maju dalam masyarakat duniawi.” (LG, no.40). “Akhirnya semua yang beriman pada Kristus, apapun kondisi, tugas dan keadaan dalam kehidupan mereka dan tentu saja sehubungan dengan semua ini, akan dari hari ke hari bertambah dalam kekudusan, bil mereka menerima semua hal dengan iman dari Bapa surgawi dan apabila mereka sama dengan keinginan ilahi. Dalam pelayanan duniawi ini, mereka akan memanifestasikan bagi semua orang kasih yang diberikan oleh Tuhan kepada seluruh dunia.” (LG, no.41) “Oleh karena itu, semua yang beriman terhadap Kristus diundang untuk berjuang untuk mencapai kekudusan dan kesempurnaan dari keberadaan mereka. Tentu saja mereka mempunyai kewajiban untuk berjuang.” (LG, no.42)
Kutipan-kutipan di atas menentukan arah yang diinginkan. Pesan inti yang ingin disampaikan adalah bahwa semua orang beriman terpanggil untuk menjalankan hidup yang penuh kekudusan. Konsili ingin menegaskan gagasan yang telah dikemukakan oleh St. Fransiskus dari Sales dalam tulisannya berjudul “Perkenalan dengan hidup yang Beriman - /Introductino to the devout life” yang diterbitkan pada tahun 1608. Semua orang yang beriman diharapkan untuk menjadi semakin kudus setiap hari, bukan hanya pastur-pastur dan anggota kelompok religius (biarawan-wati) , tetapi juga ibu-ibu rumah tangga, tentara, petani, anak muda dll.
“Waktu Tuhan menciptakan Dunia Ia memerintahkan tiap pohon untuk menghasilkan buah sesuai dengan jenisnya; sejalan dengan itu Ia memerintahkan kaum Kristiani, - pohon hidup dari GerejaNya, - untuk menghasilkan buah dari ketaatan/devosi masing-masing sesuai dengan jenis dan karyanya. Penerapan ketaatan yang berbeda diperlukan dari masing-masing orang – kaum bangsawan, para ahli, pramuwisma, pangeran, seorang gadis dan seorang istri; lebih dari itu penerapan tersebut harus disesuaikan dengan kekuatan, panggilan, dan kewajiban dari tiapindividu. Adalah kekeliruan, bahkan lebih dari itu, bila orang mengesampingkan kehidupan beriman dari barak tentara, bengke, ruang istana, sekolah, pasar atau rumah tangga. Tentu saja kehidupan kontemplatif beriman yang murni seperti kelompok religius dan membiara, tidak dapat diterapkan dalam lingkungan dan karya seperti itu, tetapi ada berbagai jenis pengabdian lain yang dapat mengarahkan mereka yang panggilan hidupnya bersifat sekuler kearah kesempurnaan. Pastikan agar dimanapun panggilan hidup kita, kita dapat dan harus menuju kepada hidup beriman yang sempurna” (Introduction to the devout life, bab III).
Berdasarkan hal itu maka kita harus mempertimbangkan “tingkat dan status” daripada umat yang beriman kepada Kristus seperti tertera dalam LG no. 40. Orang seringkali merancukan konsep-konsep tersebut yang mengakibatkan salah tafsir mengenai posisi seorang biarawan (Broeder). “Lumen Gentium” memaparkan dua tingkatan: awam dan imam. Disamping itu ada pembedaan antara tiga status dalam kehidupan, yaitu: awam, imam, dan religius. Kesulitan timbul setiap kali pertanyaan mengenai “tingkatan” seorang religius diutarakan.
“Dari sudut pandang struktur hirarki Gereja yang kudus, kehidupan dalam kelompok religius (Broder dan Suster) bukanlah suatu keadaan diantara imam dan awam. Tetapi orang yang beriman terhadap Kristus terpanggil oleh Tuhan dari kedua kehidupan ini agar mereka dapat menikmati berkat ini dalam kehidupan Gerejani sedemikian hingga masing-masing dengan caranya sendiri, dapat memberi kontribusi terhadap misi penyelamatan Gereja.” (LG, no. 43)
Sudut pandang ini juga dipertegas oleh the Code of Canon Law (CCL) / Kitab Hukum Kanonik (KHK): “Pada intinya, kehidupan terkonsekrasi bukanlah bersifat imamat ataupun awam” (CCL, no. 558). Meskipun CCL mempertegas bahwa kehidupan terkonsekrasi bukanlah imamat maupun awam, tidak ada penjelasan atau pembedaanselanjutny a. Justru sebaliknya yang ada adalah pembedaan antara lembaga hidup bakti imamat di satu pihak dan lembaga hidup bakti awam di pihak lainnya: “Bahwa sebuah lembaga dianggap imamat berdasarkan tujuan atau rancangan yang dimaksudkan oleh pendiri atau berdasarkan tradisi yang kuat, dan dikelola oleh para imam, menerapkan dan menjalankan tahbisan suci dan diakui sedemikian oleh otoritas Gereja. Bahwa sebuah lembaga dianggap awam bila diakui sedemikian oleh otoritas Gereja dan oleh karena inti, sifat dan tujuan yang ditetapkan oleh pendirinya atau tradisi yang kuat, tanpa mencakup pelaksanaan tahbisan suci.” (CCL, no. 588).
Sebelum lebih mendalami hal ini, kami ingin lebih mengupas definisi dari ketiga status seperti dimuat dalam dokumen konsili. Definisi tersebut memberi suatu interpretasi dari kehidupan kudus (Gerejani) dari kaum awam, imam dan kelompok religius.
“Tetapi kaum awam, atas dasar karyanya, mencari kerajaan Allah dengan melaksanakan tugas-tugas duniawi dan menyusunnya sesuai dengan rencana Tuhan. Mereka hidup di dunia, yakni dalam setiap pekerjaan dan profesi sekuler. Mereka hidup dalam keadaan biasa seperti keluarga dan kehidupan sosial, dari mana kehidupan mereka terbentuk. Mereka telah terpanggil oleh Tuhan sehingga dengan menjalankan karya dan tugas mereka dan dibimbing oleh semangat Injil mereka dapat bekerja dan mengembangkan kekudusan dunia dari dalam Gereja.” (LG, no. 31) Hal ini merupakan definisi yang jelas dan inspiratif yang dapat mendorong kaum awam untuk berusaha mencapai kekudusan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam profesi mereka masing-masing. Ada beberapa kemiripan antara definisi kaum awam religius (Broeder dan Suster) yang bekerja sama dengan kaum awam pada umumnya. Mereka juga terpanggil untuk menjadi pendorong.

Kesamaan misi antara kaum awam dan biarawan (Broeder) ini diperjelas secara menarik dalam suatu publikasi dari Komisi Jenderal Superior mengenai Lembaga Broeder Religius Awam berjudul “Para Broeder Dalam Lembaga Religius Awam.” (1991) “Profesi atau pekerjaan yang dikerjakan secara serius membawa Broeder/Biarawan ke dalam “kota duniawi” dan menuntut dari mereka kompetensi, tanggung jawab, dedikasi dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku didalamnya, sama halnya dengan kaum awam pada umumnya. Kita berbicara mengenai keberadaan Gereja dalam dunia, yang termasuk kedekatan dan solidaritas yang nyata antara kaum religius dan awam yang memiliki tujuan yang sama yaitu: ‘berdirinya Kerajaan Allah,’ meskipun mereka menghidupinya dengan dua bentuk status hidup yang berbeda dan dengan demikian memiliki titik tolak yang berbeda.
Biarawan menghidupi dedikasi religiusnya berdasarkan dedikasinya sebagai anggota lembaga religius, dan berdasarkan karisma lembaganya; kaum awam menunjukkan keunikan sifat keawaman mereka dengan mendapatkan kedudukan dalam dunia. Kesaksian kaum awam mengingatkan seorang Broeder bahwa dedikasi religiusnya harus membuat dia memperhatikan keselamatan umat manusia maupun kemajuan dunia seperti yang diinginkan oleh Tuhan dan berpegang pada Kristus. Kesaksian para Broeder mengingatkan kaum awam bahwa penyelamatan dunia bukan hanya karya manusiawi, bahwa kemajuan bukanlah tujuan dalam sendirinya dan pembangunan ‘kota duniawi’ harus selalu berawal dari Tuhan.”
Kedudukan profesi seorang imam juga dijelaskan secara lugas dalam “Lumen Gentium” sebagai suatu tugas kesanggupan melayani. “Untuk melayani dan mengembangkan berkesinambungan dari rakyat Tuhan, Tuhan Yesus Kristus melembaga dalam GerejaNya beberapa wadah pelayanan (ministries) , yang bekerja demi kebaikan keseluruhan Tubuh Gereja. Karena pelayan-pelayan tersebut, yang diberkati dengan wewenang sakral, melayani saudara-saudara mereka, agar semua Umat Allah menikmati martabat Kristiani sejati, dan bekerja demi tujuan bersama dan dengan tertib, akan tiba pada penyelamatan” (LG, no. 18). Diantara wadah-wadah pelayanan tersebut ada pembedaan antara: para Uskup, Imam dan diakon. Mengenai pastur dikatakan bahwa mereka telah “dikonsekrasikan untuk mengajarkan Injil dan menggembalai umatberimn dan merayakan Misa” (LG, no. 28)

Akhirnya, kelompok religius didefinisikan dalam “Lumen Gentium” sebagai Umat Allah yang terpanggil untuk menjalani kehidupan kudus selayaknya terjadi dalam semua orang Kristen, dan yang menunjukkan rahmat yang didapat dari Pembaptisan yang diterima oleh semua orang Kristen. “Tentu saja melalui Pembaptisan seseorang akan mati terhadap dosa dan dikonsekrasikan terhadap Tuhan. Tetapi, agar dia sanggup mengambil buah yang lebih banyak dari rahmat Pembaptisannya, dia berniat, melalui pengakuannya atas nasehat injil dalam Gereja, untuk membebaskan dirinya dari hambatan-hambatan tersebut, yang mungkin mengalihkannya dari semangat amal kasih dan kesempurnaan. Dengan mengikuti nasehat-nasehat injil, religius (a.l. Broder) akan lebih intim terkonsekrasi terhadap pelayanan kudus.” (LG, no. 44).
Dekrit “Perfectae Caritatis” lebih memperjelas lagi mengenai identitas kaum religius. Dokumen ini didasarkan atas anggapan bahwa baik kaum awam maupun imam dapat merasa terpanggil untuk memilih kehidupan religius sebagai jalan hidup. Hal ini merupakan sudut pandang yang lebih menerangkan yang, bersamaan dengan itu, memberi suatu perspektif lain untuk mempelajari kehidupan religius. Bertolak belakang dengan ini adalah pembedaan tradisional lembaga-lembaga kontemplatif dan apostolic dan antara lembaga imamat dan awam, seperti tertera baik dalam “Perfectae caritatis”(PC, no. 7 dan 8) dan Kitab Hukum Kanonik (Code of Canon Law) (CCL, no. 586).
Bagi para Broeder religius, nomor 10 sangatlah penting.: “Kehidupan religius yang dianut kaum awam, baik pria maupun wanita, adalah penegasan terhadap petunjuk-petunjuk injil yang lengkap seutuhnya. Sambil menjunjung tinggi kehidupan ini yang sangat berguna pada misi imamat gereja dalam pendidikan kaum muda, merawat orang sakit dan karya-karya lain dalam pelayanan lain, sinode suci mengkonfirmasikan religius dalam karyanya dan menganjurkan mereka untuk menyesuaikan cara hidup mereka dengan keperluan-keperluan modern” (PC, no. 10).
Sehubungan dengan intinya, kita harus mengacu kepada nomor yang terdahulu dimana digambarkan misi dari kongregasi apostolik. (Lembaga yang bersifat imamat maupun awam).
“Dalam komunitas-komunitas ini kegiatan apostolik (kerasulan) dan amal merupakan sifat dasar dari kehidupan religius, melihat bahwa hal ini merupakan pelayanan kudus dan sifat pekerjaan berdasarkan kasih, yang dipercayakan kepada mereka oleh Gereja untuk dijalankan atas Gereja. Oleh sebab itu, kehidupan religius secara keseluruhan harus diinspirasi oleh semangat kerasulan dan segala kegiatan kerasulan dibentuk dengan semangat iman keagamaan. Karena itu agar anggota-anggotanya pertama harus sejalan dengan karyanya untuk mengikuti Kristus dan melayaniNya dan anggota-anggotaNya, kegiatan kerasulan mereka harus mengalir dari suatu kesatuan erat denganNya. Sehingga cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama bertambah” (PC, no.8).
Dalam dokumen konsili, Boeder religius yang menjadi bagian dari Umat Allah yang, seperti semua orang lain, terpanggil untuk menjalani kehidupan yang kudus. Dia berasal dari Umat, dari berbagai perhimpunan orang awam, dan telah memilih untuk menghidupi kekudusannya sebagai anggota kelompok religius. Dia akan menjalankan ini berdasarkan ketaatannya pada petunjuk-petunjuk injil yang merupakan penjelmaan dari rahmat pembaptisan. Berdasarkan devosi tulusnya terhadap Tuhan, ia akan memasuki dunia, dimana dia akan bersama dan dibantu oleh para awam untuk melayani Kristus di tengah-tengah umatNya. (cf. 1. Co. 6, 15).
Perkembangan Pemikiran Mengenai Broeder Religius
Pada tahun 1971, Paus Paulus VI menerbitkan ensiklik apostolik berjudul “Evangelica tertificatio” yang membahas masalah inovasi kehidupan religius sesuai dengan garis pedoman Konsili Vatikan Kedua. Sekali lagi kehidupan religius dalam dokumen tersebut digambarkan sebagai suatu pengalaman radikal dari rahmat pembaptisan melalui ketaatan terhadap petunjuk-petunjuk injil. Meskipun ada beberapa unsur yang ditambahkan, tidak ada yang disinggung langsung mengenai Broeder religius. Tetapi tujuan dari dokumen tersebut jelas: bahwa inovasi yang sesungguhnya harus dimulai dari dalam dan harus lebih dari hanya adaptasi dari beberapa adat istiadat dan kebiasaan.

Dokumen berikut diterbitkan pada tahun 1983 oleh Kongregasi Lembaga Kehidupan Terkonsekrasi dan Masyarakat Kehidupan Rasuli (Congregation for Institutes of Consecrated Life and Societies of Apostolic Life). Dari judulnya sudah jelas: “Unsur-unsur Esensiil Dalam Ajaran Gereja Mengenai Kehidupan Religius” (“Essential Elements in the Church’s Teaching on Religious Life”). Tahun berikutnya, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Ensiklik “Redemptoris donum” dalam rangka Tahun Penebusan. Kehidupan religius dipelajari dari sudut pandang peniruan / meneladan terhadap Kristus dan panggilan untuk menjadi sempurna. Dalam dokumen ini, Sri Paus mengutarakan penghargaan tinggi beliau terhadap para religius yang menjadi saksi kasih Tuhan melalui pelayanan spesifik mereka. Ketiga dokumen tersebut mengembangkan pandangan-pandangan yang memperjelas Dokumen Vatikan II dan menyarankan pandangan-pandangan tersebut dapat berakar dan tumbuh dalam kehidupan sehari-hari kita. Tetapi semua itu tidak mengandung suatu hal yang istimewa mengenai Broeder religius.

Pada tahun 1991, USG (Unione Superiori Generali/Perhimpuna n Superior General) atas inisiatif Komisi Superior General untuk Lembaga Religius Awam (Commission of The Superior Generals on the Lay Religious Institutions) menerbitkan dokumen dengan judul “Brothers in lay religious institutes” (“Para Broeder Dalam Lembaga Awam Religius). Untuk pertama kali, sebuah usaha dilakukan untuk memperjelas identitas dari Broeder religius.
Dokumen tersebut mengandung sudut pandang yang jelas yang dirumuskan sebagai berikut pada akhir dokumen: “Meskipun para Broeder menjalani kehidupan religius secara tetap dan meskipun cara hidup mereka merupakan ketaatan dari petunjuk Injil, namun demikian mereka termasuk kaum awam, meskipun kenyataannya mereka menjalankan hidup mereka berbeda dengan kaum awam biasa. Bila diamati dari status keawaman mereka, mereka adalah pria terkonsekrasi yang terpilih dan terpanggil untuk mengikuti Yesus dan diharapkan untuk menjadi inspirasi bagi dunia.” Kemudian pernyataan ini disanggah oleh beberapa penulis yang mengacu kepada “Lumen Gentium” dimana pembedaan yang jelas dibuat bagi ketiga status hidup dalam Gereja Katolik, yaitu; awam, imamat dan religius. Definisi dari kaum awam dalam dokumen yang tersebut sebelumnya tidak dapat direkonsiliasikan / memasukkan kaum religius dalamnya. Tetapi dokumen ini mewakili usaha yang layak dalam usaha merenungkan lebih dalam mengenai identitas dari Broeder religius.
Dalam Ensiklik pasca sinode “Christefidelis Laici” (CL), Paus Yohanes Paulus II juga memberi perhatian terhadap keberadaan kehidupan yang lain dan kenyataan bahwa keberadaan-keberada an tersebut saling terkait.
“Dalam Komunitas Gereja keberadaan kehidupan yang berturutan saling terkait satu dengan yang lain. Mereka berbagi dalam satu pengertian dasar: yakni cara menjalani hidup berdasarkan martabat Kristiani bersama dan panggilan universal pada kekudusan dalam menyempurnakan kasih. Berbeda tetapi saling melengkapi, dalam konteks bahwa masing-masing memiliki sifat dasar yang unik yang membedakan keduanya, tetapi bersamaan dengan itu masing-masing dipandang sehubungan dengan lainnya dan dapat saling melayani.”
Maka keberadaan hidup awam memiliki keistimewaan dalam sifat sekulernya. Ia memenuhi pelayanan Gerejani serta memberi kesaksian serta dengan caranya sendiri mengingatkan bari para imam, pria dan wanita religius kepentingan dari kenyataan duniawi dalam rencana penyelamatan Tuhan. Pada gilirannya, pelayanan imamat mewakili pada berbagai waktu dan tempat jaminan permanen kehadiran sakral dari Kristus Sang Penebus. Keberadaan religius memberi kesaksian akan keyakinan atas kehidupan abadi (eschatological character) Gereja, yakni usaha menuju Kerajaan Allah yang telah dinanti-nantikan dan telah diramalkan kedatangannya dan dialami sekarang juga melalui kemurnian, kemiskinan dan kepatuhan” (CL, no. 55).

Dokumen ini juga memperjelas keberadaan kehidupan dimana kaum awam mempertahankan status keawaman mereka:
“Keberagaman dalam Gereja lebih jauh tercermin dari dalam tiap keberadaan kehidupan. Maka dalam keberadaan hidup awam bermacam ‘karya’ terdapat, dalam arti banyak jalur dalam kehidupan spirituil dan pelayanan yang dipilih oleh anggota kaum awam beriman. Dalam bidang karya awam yang ‘diminati bersama’ karya awam ‘istimewa’ berkembang subur. Dalam bidang ini kita juga dapat mengingat pengalamanspirituil dari berkembangnya berbagai bentuk lembaga sekuler yang timbul aknir-akhir ini didalam Gereja. Karya-karya ini memberi kesempatan kaum awam beriman, danbahkan imam kemungkinan untuk menerapkan petunjuk injil dalam hal kemiskinan, kemurnian dan kepatuhan melalui kaul atau janji, sambil mempertahankan keberadaan awam atau imamat umum mereka sepenuhnya. Dalam hal ini Bapak-bapak Sinode berkomentar, ‘Roh Kudus menunjukkan bentuk-bentuk lain pemberian diri dimana orang yang sepenuhnya tetap berada dalam status awam mengabdikan diri mereka’” (CL, no. 56).
Sudah jelas disini tidak ada pembahasan mengenai Broeder religius, tetapi tentu saja membahas mengenai mereka yang bergabung dalam lembaga awam. Meski dalam jenis kehidupan terkonsekrasi kaum awam tetap awam dalam arti kata yang sesungguhnya. Dalam Sinode Uskup mengenai kehidupan beragama di tahun 1994 penerangan baru diberikan mengenai identitas para Broeder religius. Dalam no.32 “Instrumentum laboris” (IL), para uskup menuntut perhatian bagi “lembaga awam dan para Broeder awam”.
“Perhatian khusus diberikan kepada karya dan misi dari para Broeder awam dalam lembaga sekuler, imamat dan lembaga-lembaga dimana kedua jalan hidup dilaksanakan.
Orang sering mengabaikan bahwa hidup terkonsekrasi, pada intinya bukanlah imamat maupun awam, atau seperti halnya di Timur pada masa lalu dan bahkan sekarang juga pada awalnya berasal sebagian besar dari kaum awam. Akibat dari itu adalah pandangan bahwa hidup bakti seorang Broeder dipandang sebagai tidak lengkap karena tidak adanya status imamat” (IL, no. 32).

Sinode diminta untuk menegaskan pentingnya dan pengertian dari kaum “awam religius” dan untuk menginterpretasikan ciri-ciri yang beragam dalam kehidupannya: keterbukaan para Broeder dengan Kristus, partisipasi dalam pelayanan untuk Gereja, tanda kehadiran Kerajaan Allah dan nilai-nilai yang lebih penting dari nilai-nilai duniawi. Suatu permohonan juga diutarakan untuk membentuk formasi para Broeder yang lengkap dan juga timbul pertanyaan apakah seorang Broeder diperbolehkan menjadi anggota pimpinan dari lembaga imamat atau tarekat campuran yang anggotanya ada imam dan broeder.

Akhirnya, kongregasi awam diminta untuk menemukan cara untuk berbagi spiritualitas, solidaritas, kerjasama mereka dengan para awam yang berhubungan dengan mereka. Dalam alinea lain berjudul “Consecrated Christifideles” (Pengabdi Kristus yang Terkonsekrasi) , hal berikut tertulis mengenai Broeder religius: “Pada mulanya bentuk historis dari kehidupan religius memiliki ciri keawaman dibandingkan dengan cirri imamat. Bahkan, dimasa kinipun banyak anggota kehidupan terkonsekrasi atau perhimpunan kehidupan pelayanan adalah mereka yang terkonsekrasi atau kaum awam yang diikutsertakan meskipun mereka bukan awam seperti orang lain yang hidup dalam dunia. Karena pengabdian mereka, mereka memiliki, dibanding dengan awam yang lain, sedikit dari sifat-sifat awam tradisional, yaitu kehidupan yang dijalankan ditengah-tengah dunia atau keterlibatan dalam masalah-masalah duniawi. Tetapi sifat awam tersebut timbul sesuai dengan sifat dasar, daya tarik dan sifat-sifat lain yang cocok tepat bagi kaum awam dan sesuai dengan jenis kehidupan yang mereka jalankan dan jenis pelayanan yang mereka penuhi dalam Gereja dan dalam masyarakat, juga sesuai dengan lembaga atau kongregasi mereka.” (IL, no. 69).

Dalam teks ini juga, pertentangan antara keberadaan religius dan tetap menjadi kaum awam menjadi sangat jelas. Suatu keistimewaan dari misi tersebut juga disebutkan. “Suster dan Broeder awam yang terkonsekrasi yang tergabung dalam kongregasi kehidupan pelayanan dapat, karena misi khusus mereka, berpengaruh secara efektif demi pembaharuan dunia dalam semangat kebahagiaan surgawi.”
Saat Sinode gagasan-gagasan tersebut lebih diperjelas dan dalam ajakan “Vita Consecrata” (Hidup Bakti) (VC), suatu alinea yang panjang mengupas khusus mengenai Broeder religius. Pertama-tama diulang lagi, bahwa berdasarkan sifat dasarnya, keberadaan kehidupan terkonsekrasi bukanlah imamat maupun awam. “Oleh karena itu ‘konsekrasi awam’ baik untuk pria maupun wanita merupakan suatu keberadaan dimana dalam pengabdian terhadap petunjuk Injil adalah lengkap dalam dirinya” (VC, no. 60).

Tetapi beberapa keberatan diutarakan saat sinode terhadap istilah “lembaga awam” “Menurut terminologi yang sekarang digunakan, lembaga-lembaga yang, dikarenakan tujuan pendiri atau tradisi yang kuat, memiliki ciri dan tujuan yang tidak mencakup menjalankan Perintah-perintah Kudus (Holy Orders) disebut ‘Lembaga Awam’. Meskipun demikian menunjukkan bahwa terminologi demikian tidak cukup mengungkapkan jenis karya anggota-anggota Lembaga Religius tersebut. Nyatanya meskipun mereka banyak mengerjakan karya kaum awam beriman, mereka melakukannya sejalan dengan konsekrasi mereka, dan karenanya mengekspresikan pemberian diri secara menyeluruh bagi Kristus dan Gereja, sesuai dengan kepribadian mereka. Karena itulah Bapak-bapak Sinode, untuk menghindari ketidak jelasan dan kebingungan antara keberadaan kaum awam beriman yang sekuler, mengajukan istilah ‘Lembaga para Broeder Religius” (VC, no. 60).

Maka suatu istilah baru diperkenalkan: lembaga para Broeder religius (Religious Institute of Brothers). Yang sangat memperkaya dan inovatif adalah penjelasan lebih jauh istilah “Broeder” dari pidato Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 22 February 1995. “Kaum religius ini telah terpanggil untuk mejadi saudara laki-laki Kristus sendiri, ‘putra sulung dari banyak saudara laki-laki’ (Rm. 8,29). Saudara laki-laki satu dengan yang lain, dalam kasih sesama dan bekerja bersama dalam Gereja demi kebaikan bersama. Saudara laki-laki bagi semua orang, sebagai saksi kasih Kristus untuk semua, terutama yang terendah, yang termiskin; saudara laki-laki yang membangun persaudaraan lebih erat dalam Gereja. Dengan menghidupi aspek ini, dimana kehidupan Kristiani dan kehidupan terkonsekrasi memiliki banyak kesamaan, secara khusus ‘para Broede rreligius’ mengingatkan para imam dengan jelas aspek dasar persaudaraan ini dalam Kristus, yang harus dihidupi antara pria dan dengan setiap pria dan wanita. Lebih dari itu, mereka memproklamirkan suara Tuhan bagi semua: “Dan engkau adalah semua bersaudara’ (Mt. 23, 8).”

Empat interpretasi mengenai arti menjadi seorang Broeder religius yang mencakup unsur dasar kehidupan religius (keagamaan): contemplatio, communio dan missio. (kontemplatif, persatuan dan misi). Lebih dari itu ada misi khusus untuk membantu mengembangkan rasa persaudaraan dalam Gereja dan dunia. Gagasan bahwa para Broeder, seharusnya, memiliki pesan khusus bagi para imam adalah sungguh-sungguh baru. Lebih jauh dalam naskah tersebut pertanyaan yang juga diajukan dalam “Perfectae caritatis” juga diulas. Kita mengacu pada pertanyaan apakah seorang Broeder sebaiknya ditahbiskan sebagai imam agar bisa merayakan misa dalam rumah mereka sendiri? Tidak ada argumentasi yang kuat melawan hal ini, tetapi dalam dokumen ini dengan pasti dijelaskan bahwa hal tersebut secara eksplisit tidak dianjurkan karena sangat diharapkan bagi para Broeder religius untuk tetap setia terhadap karya dan misi aslinya. Untuk pertanyaan yang diajukan dalam “Instrumentum labori”, mengenai apakah Broeder religius berhak menjabat suatu fungsi administratif dalam suatu intitusi imamat, jawabannya adalah “tidak”, paling tidak dalam “Vita Consecrata”. “Dalam lembaga-lembaga tersebut para imam merupakan bagian penting dari lembaga tersebut dan menentukan sifat, tujuan dan semangat” (VC, no. 60).

Dalam hal lembaga campuran (tarekat yang anggotanya imam dan bruder), tertera dalam dokumen bahwa semua kaum religius memiliki hak dan tugas yang sama, suatu komisi khusus akan dibentuk jika ada masalah yang timbul. Hal ini menambahkan satu bab baru kepada buku “The Religious Institute of Brothers” (Lembaga Para Broeder Religius) dan memberi wewenang bagi para Broeder sendiri untuk lebih memperjelas identitas mereka.
Awam atau Religius
Tetapi sebelum melanjutkan permenungan kita mengenai identitas ini, saya ingin lebih mendalami sifat-sifat awam dari lembaga religius dari para Broeder. Dokumen-dokumen konsili menggaris bawahi karakter atau sifat kaum awam dari lembaga itu sendiri dan para Broeder. Br. Michel Sauvage f.s.c. membahas pilihan ini dan masalah-masalah yang timbul darinya dalam kontribusinya berjudul “La vie religieuse laique” (kehidupan para awam religius) dalam “Vatikan II, l’adaptation et la renovation de la vie religieuse” (Vatikan II, penyesuaian dan pembaruan dalam kehidupan religius). Ia menemukan kekurang jelasan dan mereka yang tergabung dalam lembaga awam sudah tidak memenuhi kriteria seperti tertera dalam “Lumen Gentium” agar dapat dianggap sebagai kaum awam yakni sebagai orang yang hidup dalam dunia. Tetapi karena istilah “kaum awam” atau “orang awam” digunakan dalam setiap dokumen, ia masih setuju untuk menggunakan istilah tersebut. Ia mengacu pada Congar yang menyatakan, dalam suatu naskah membahas teologi dari kaum awam, bahwa religius, seperti halnya dengan orang awam, berpartisipasi dalam kehidupan imamat sebagai tindak lanjut dari rahmat pembaptisan (cf. Jalons pour une théologie du laïcat, p. 366).

Kehidupan imamat diambil sebagai titik tolak dan pusat orientasi yang lazim. Memang benar bahwa kaum awam dan religius tidak berbeda dalam hal itu. Tetapi, alangkah baiknya untuk tetap mengingat pada saat seseorang dibaptis, orang tersebut telah terpanggil untuk menjadi raja, imam dan nabi. Karena devosi terhadap rahmat pembaptisan diakui bahwa seseorang yang telah dibaptis adalah raja dirinya sendiri sudah tidak lagi menjadi hamba dari dosa, imam dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Imam Tertinggi, Kristus, dan bahwa dia, karena telah dikaruniai Roh Kudus sanggup untuk beribadat kepada Tuhan, berperan sebagai nabi, penyebar Injil Tuhan, serta mengerti dan memproklamirkannya. Rahmat pembaptisan memberi orang kebebasan murni (raja), kekudusan (imamat) dan kebenaran (nabi). Dalam konteks tersebutlah kaum imamat secara umum harus dimengerti dan penunjukkan dari rahmat pembaptisan harus dapat terlihat. Dengan pengertian itu, kaum religius adalah dan tetap seorang penganut Kristiani yang menjalankan hidup secara eksklusif berdasarkan rahmat pembaptisan yang telah diterimanya dan dalam cahaya kebangkitan. Bila kita menelaah istilah “awam” dari sudut pandang tersebut tidak ada lagi ketegangan antara kaum religius dan awam. Tetapi jika kita mengartikan istilah “awam” berdasarkan definisi “Lumen Gentium”, perbedaan tidak dapat disangkal karena bersifat dasar: karena berada dalam dunia, umat Kristiani yang bukan imam maupun religius dibagi kedalam tiga keberadaan kehidupan yaitu: awam, imamat dan religius.
Dalam perjalanan sinode mengenai karya dan misi umat awam, Broeder religius tidak dipanggil dalam kapasitas mereka sebagai kaum awam tetapi dalam kapasitas mereka sebagai religius. Dalam naskah-naskah tersebut karya pelayanan seorang religius dianggap melengkapi karya pelayanan kaum awam karena mereka aktif dibidang atau lapangan yang sama. Pada tanggal 12 October 1987, Mgr. Corecco, ketua dari Consociatio Internationalis Studio Iuris Conoci Promovendo (Asosiasi Internasional Untuk Penelitian Hukum Kanonik Promovendo) menempatkan kaum awam ditengah-tengah proses sekulerisasi (secularization) . “Kehidupan imamat sekuler terdiri dari kenyataan yang memiliki konsekuensi teologis, bahwa kaum awam terpanggil untuk memberikan kontribusi penebusan kepada dunia dengan menerima tanggung jawab untuk kondisi kehidupan terstruktur yang dimiliki semua orang. Hal ini diinterpretasikan dengan kurang meyakinkan dan dijelmakan dalam ketiga bentuk lembaga hukum alamiah: kepemilikan, pernikahan dan kebebasan untuk mengatur kehidupan sendiri.”
Karena seorang religius memilih untuk mentaati nasehat Injil maka ia tidak memperoleh barang-barang milik (property), dan ia tidak menikah dan setuju untuk diatur hidupnya oleh atasannya. Naskah tersebut selanjutnya mengupas konsekuensi dari kehidupan religius. “Sifat sekuler dihilangkan dengan konsekrasi melalui yang menunjukkan petunjuk Injil, meskipun dari lembaga sekuler.”

Mgr. Fagiolo yang waktu itu menjabat sebagai sekretaris dari Congregation for Institutes of Consecrated Life and Societies of Apostolic Life (Kongregasi Lembaga Kehidupan Terkonsekrasi / Lembaga Hidup Bakti dan Perhimpunan Kehidupan Pelayanan, memiliki pandangan yang sama dan menambahkan bahwa pandangan teologis, dimana ada suatu pembedaan jelas antara kaum awam dan religius, sebaiknya dijadikan dasar dari semua diskusi yang lain, baik yang bersifat kanonis maupun imamat (cf. 6 Maret 1987 dimuka Komisi dari 16 anggota U.S.G).
Berbicara secara teologis, umat beriman Kristiani terdiri dari dua kelompok: kaum awam dan yang terkonsekrasi. Berdasarkan hal itulah Vatikan II mencapai pada pemisahan menjadi tiga kelompok berbeda dalam “Lumen Gentium”: imam, kaum awam yang bukan imam maupun religius, dan religius. Hal ini juga menjadi dasar bagi Hukum Kanonik (Canon Law) bagi gagasan bahwa kehidupan religius berdasarkan sifatnya bukanlah imamat maupun awam (cf. CCL, no. 588). Tetapi beberapa religius dapat ditahbiskan sebagai imam, dan hal ini memberi dimensi baru kepada kehidupan religius. Berdasarkan gagasan ini kita mungkin dapat merumuskan gagasan berikut: dengan memasuki kehidupan religius, penganut Kristiani meninggalkan status awamnya dan menjadi religius yang menjadi status barunya. Gagasan itulah yang ditetapkan oleh sinode mengenai kehidupan terkonsekrasi. Dengan sadar “Broeder awam” dan “lembaga sekuler” ditinggalkan dan diganti dengan “Broeder religius” dan “lembaga para broeder religius”. Penekanan berada pada konsekrasi, pada “Vita Consecrata”, yang merupakan cara hidup yang dapat dipilih penganut Kristiani (baik awam maupun imam). Dan mengenai lembaga para broeder religius, anggota-anggotanya telah membuat pilihan secara sadar untuk tidak ditahbiskan sebagai imam. Mereka tetap menjadi religius dalam bentuk yang paling murni.

--
Antonius Sad Budianto CM
Giriya Samadi Vinsensius (GSV)
Raya Ngemplak 2, Prigen 67157
Pandaan, Jatim

Sabtu, 14 November 2009

Bersepeda Bersama Yesus


Sepeda ....
Sepeda menjadi sarana transportasi yang tak pernah aku lupa. Dari sepeda inilah aku menjadi lebih sadar akan makna hidup yang mendalam. Sepeda pertama kalinya aku dapatkan ketika aku menginjak pendidikan tingkat menengah (teknik) di tengah kota Surabaya. Aku "terpaksa" meminta itu karena tidak ada pilihan lain selain itu karena untuk meminta lebih dari itu, kedua orang tuaku tak sanggup. Aku menyatakan "terpaksa" sebab tak lagi ada pilihan lain dan aku harus paham betul keadaan ekonomi keluargaku. Aku perlukan sarana itu karena jarak rumahku dengan sekolahku jauh sekali. Kalau ditempuh dengan sepeda bisa memakan waktu 1,5 jam, sedangkan kalau naik kendaan umum akan memakan waktu 1,5 - 2 jam. Kendaraan umum memang memakan waktu perjalanan lebih lama karena harus ngetem cari penumpang.

Pilihan sepeda menjadi pilihan penegasan..Dengan sepeda sedikitnya aku sedikit meringankan beban orang tuaku. Setidaknya tidak perlu ongkos transpor. Ongkos transport hanya diganti ongkos pengganjal perut dan lidah yang kehausan. Proses pendidikan menengah tersebut berjalan lancar tanpa ada halangan. Oleh waktu yang berjalan aku menemukan keutamaan dan sikap yang aku timba dari sahabatku Yesus. Dengan sepeda, aku harus mengayuh, mendayung pedal kalau aku mau jalan. Dengan sepeda aku ternyata diajak untuk berani nrimo segala pengalaman yang memang harus kuterima. Sepedaku dan sahabatku ini juga menjadikan dan mengajarkan aku untuk sederhana, mudah, praktis, tidak macem-macem. Dia bisa masuk segala medan jalan, ringan, tak seorangpun polisi berani menilang. Semua orang akan paham ketika aku bersamanya di jalanan raya nan ramai dan megah. Ya...sederhana itu membuatku kuat dan mampu menerima segala macam peristiwa.

Dengan sepeda yang sederhana itu memang membuat seragamku, khususnya bagian pantat lubang 2 buah karena seringnya bergesekan. Tapi aku tetap senang, dengannya aku dapat berjumpa dengan segalama macam peristiwa, pribadi, keadaan ketika aku mengayuh sepedaku. Aku diajak untuk masuk dalam kehidupan lebih nyata kalau aku ingin menjadi pribadi yang dewasa. Ya...sepedaku sahabatku. Lewat kesederhanaanya aku juga diajak untuk tidak ego dengan diriku. Sepdaku yang bekas ternyata juga membuatku dekat dnegan teman-temanku dan banyak orang. Dan dengan sepeda itu pula kadang aku duduk terpekur di pinggilan sungai brantas karena kebanjiran keringat untuk sejenak beristirahat sambil minum segelas legen manis. Aku ditemaninya untukmelihat hidupku lebih mendalam. Aku diajak untuk sabar dengan kehidupanku sendiri, juga dengan diriku sendiri. Ya...sabar dengan diri sendiri memang sulit sekali, namun sepedaku mendidik ku untuk senantiasa sabar walau dengan berpeluh keringat yang bau...toh itu bauku sendiri.

Sepedaku juga yang senantiasa menemaniku untuk senantiasa hadir di hadiratNya. KEtika aku dekat dnegan Dia di Gereja, pelayanan kaum muda, juga di saat ketika aku emberi diri tanpa ada imbalan, sepedaku menungguiku...ya...seolah malam itu, dingin sekali rasanya, aku mengayuh sepeda dengan kegembiraan karena dia menemaniku.

Ya...aku diajak untuk mengenal Yesus lebih dekat dan dekat sekali. Aku diajak Yesus untuk bersepeda bersama Dia mengayuh kehidupanku sendiri. demi kerajaan Allah. Aku indu untuk senantiasa bersepeda, karena dengan itu aku disadarkan kembali akan makna hidup yang harus kujalani. Ya...baru aku menyadari bahwa, bapak ibuku telah membantuku untuk mengayuh sepeda bersama Yesus, dan akhirnya dengan berat hati mereka juga merelakan aku untuk bersepeda bersama DIA dalam sepanjang hidupku. Terima kasih Bapak dan Ibu...aku diperbolehkan bersepeda bersama Dia. Berkah Dalem

Jumat, 13 November 2009

Kaum Muda Vincentian Bertemu Untuk Meningkatkan Cinta Mereka Kepada Orang Miskin

MALANG, Jawa Timur (UCAN) -- Orang muda yang mengikuti spiritualitas Vincentian menemukan dalam sebuah pertemuan baru-baru ini bahwa pertemuan langsung dengan kaum miskin bisa menjadi sebuah pengalaman yang membuka mata dan hati.

Frater Maria Titus Sutrisno dari Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus (BHK) berbicara dengan UCA News setelah menghadiri Temu Kaum Muda Vincentian (TKMV) IV, yang diadakan 26 hingga 28 Oktober di Seminari Tinggi CM (Kongregasi Misi) Beato Ghebre Mikhael di Malang.

Pada pagi di hari kedua pertemuan itu, 95 kaum muda dari paroki-paroki yang dikelola CM, kelompok-kelompok social CM, serta keluarga Vincentian, termasuk kongregasi dari Frater Sutrisno itu, pergi ke pasar-pasar dan jalan-jalan untuk menemui orang miskin dan menanyakan apa perasaan mereka dan apa yang menyebabkan mereka menjadi miskin.

Para peserta berasal dari Malang dan 10 tempat lain di Pulau Jawa termasuk Jakarta, serta dari Banjarmasin di Kalimantan Selatan.

Frater Sutrisno pergi ke sebuah pasar, di mana ia bertemu juru parkir, tukang becak dan pengemis. “Awalnya, saya was-was. Saya khawatir tidak diterima mereka. Namun setelah memperkenalkan diri sebagai seorang yang ingin bersahabat dengan kaum miskin, mereka langsung menyambut saya. Mereka menerima saya seperti saudaranya sendiri,” katanya mengenang.

Seorang perempuan pengemis men-sharing-kan betapa ia membutuhkan bantuan orang lain tapi mereka menyepelehkan dia, kata frater yang sedang kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Katolik Widya Karya di Malang itu.

Kematian suaminya membuat dia jatuh miskin karena suaminya meninggal tanpa meninggalkan warisan harta selain sebuah rumah sederhana. “Karena tidak memiliki pekerjaan atau keterampilan apapun, ia terpaksa mengemis di pasar itu,” katanya. Frater itu menambahkan, orang miskin yang ia ajak bicara merasa bahagia karena ada orang yang mau mendengarkan keluh kesah mereka.

“Sekarang saya lebih mengerti. Sebenarnya mereka membutuhkan sapaan dari sesamanya. Selama ini mereka merasa dipinggirkan,” kata Frater Sutrisno. Ia mengatakan bahwa ia berjanji untuk mengunjungi mereka lagi.

Ketika peserta pertemuan itu berkumpul lagi di malam hari kedua, mereka mendiskusikan pengalaman pribadi mereka pagi itu. Di hari ketiga, mereka merefleksikan sikap dan kepedulian terhadap orang miskin dalam berbagai bentuk, di antaranya pementasan teater dan pembacaan puisi.

Pastor Aloysius Didik Setyawan CM sudah menjadi penanggungjawab TKMV sejak dimulainya di tahun 2003. Ia mengatakan kepada UCA News pada tanggal 26 Oktober bahwa pertemuan keempat itu bertujuan untuk semakin mengikat persaudaraan peserta untuk mengubah lingkungan sosial mereka berdasarkan semangat kasih Santo Vincentius de Paul.

“Peran kaum muda, terlebih kepedulian mereka bagi yang miskin dan tersingkir, sangat strategis untuk mengubah dunia menjadi lebih baik,” katanya.

TKMV, yang melibatkan peserta berbeda setiap tahun, memiliki tujuan untuk membantu kaum muda meningkatkan kepedulian mereka terhadap orang miskin, menumbuhkan iman mereka, dan membuat jaringan untuk membangun persaudaraan di antara mereka.

Harapan khusus dari pertemuan tahun ini adalah agar orang muda membawa pulang kepedulian mereka terhadap orang miskin dan tersingkir dan meneruskannya kepada sesama kaum muda, kata Pastor Setyawan. “Kita berharap mereka menjadi pelopor semangat Santo Vincentius.”

Peserta-peserta pertemuan yang lalu, kata imam itu, tidak hanya mempraktekkan semangat Vincensian kepada orang miskin yang mereka pelajari dalam pertemuan itu, “tapi juga mengajak teman-teman untuk terlibat dalam karya sosial dan mengikuti TKMV.”

Agatha Putri Andika Permatasari dari Komunitas Orang Muda Katolik (KOMKA) paroki Katedral Banjarmasin mengatakan kepada UCA News ia menghadiri pertemuan itu karena diajak oleh seorang peserta pertemuan tahun lalu.

“Tahun lalu dua orang dari KOMKA mengikuti kegiatan ini. Setelah kembali, mereka mengajak kami melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Dan tahun ini KOMKA mengirim tiga orang anggotanya yang lain,” kata wanita itu.

Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu menambahkan, bertemu dengan “teman-teman seiman yang terlibat dalam kegiatan sosial adalah sesuai semangat Santo Vinsentius dan semakin menguatkan iman dan semangat saya agar lebih peduli kepada sesama yang miskin dan tidak berdaya.”

Sebelum menghadiri pertemuan itu ia terlibat dalam karya sosial di wilayah parokinya, namun ia optimis, pertemuan di Malang itu akan mengembangkan kepekaan sosialnya.

Ia mengatakan ia akan “pulang dan mengajak teman-teman lain untuk mulai memberi perhatian kepada kaum miskin dengan cara menyapa mereka untuk tahu apa yang menyebabkan mereka hidup miskin, dan agar bisa melakukan cara yang tepat untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan.”

-END-

diambil dari Merifica

MELAYANI ORANG MISKIN

Bukan sekedar belaskasihan, melainkan keadilan

“Semoga Allah menganugerahkan rahmat yang menggerakkan hati kita untuk menolong orang-orang yang menderita, dan keyakinan bahwa dengan meringankan penderitaan mereka kita melakukan keadilan dan bukan sekedar belaskasihan!”
(SV VII, 98)

Berikan peralatan kerja

“Kalau seseorang sudah cukup kuat untuk bekerja, maka belikan segera untuk dia peralatan untuk bekerja dan jangan diberi apa-apa lagi. Sebab uang derma bukan untuk mereka yang dapat bekerja, melainkan hanya untuk orang-orang yang sakit parah, para yatim piatu, dan para jompo.”
(SV IV, 183 – 26 April 1651)

Perlu perencanaan dan koordinasi

“Cinta kasih menjadi kurang efektif, karena kurang terencana. Orang-orang miskin sering menderita bukan karena tidak ada yang sanggup menolong, melainkan karena tidak ada koordinasi.”
(SV XIII, 423)

Bukan hanya afektif, tetapi juga efektif

“Kasih terhadap orang miskin itu bukan hanya dengan lembut, tetapi juga harus efektif… melayani orang miskin dengan efektif.”
(SV IX, 593)

Kebutuhan jasmani dan rohani, dengan kata dan perbuatan

“Jika di antara kita ada yang berpikir bahwa tugas kita hanya untuk mewartakan injil kepada kaum miskin, dan bukan untuk meringankan penderitaan mereka, hanya untuk memenuhi

kebutuhan rohani dan bukan kebutuhan jasmani mereka, maka saya menegaskan bahwa kita harus menolong mereka dan memastikan bahwa mereka ditolong dengan segala cara, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang-orang lain… Melakukan hal ini berarti mewartakan injil baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan-perbuatan. Inilah cara yang paling sempurna.”
(SV XII, 87)

Berjiwa kristiani

“Tidak ada yang lebih berjiwa kristiani daripada pergi dari desa ke desa untuk menolong masyarakat miskin dalam usaha mencari keselamatan.”
(DBSV V, 1)

Tugas misi

“Berkarya demi keselamatan orang-orang miskin... merupakan unsur pokok dari panggilan tugas kita, dan semua yang lain hanyalah tambahan belaka.”
(DBSV V, 181 – 25 Oktober 1643)

Tuhan kita tinggal dalam orang-orang miskin

“Hendaknya anda melayani orang-orang miskin sebagai majikan anda, karena Tuhan kita tinggal dalam mereka, dan mereka dalam Tuhan kita.”
(SV XIII, 540 – 1641)

Mencari yang paling miskin dan terlantar

"Marilah kita pergi dan membaktikan diri kita dengan cinta yang baru, yaitu untuk melayani orang-orang miskin, dan bahkan mencari yang paling miskin dan terlantar."
(SV XI, 393 - Januari 1657)

Orang miskin mewakili pribadi Tuhan kita

“Inilah alasan yang membuat anda harus melayani orang-orang miskin dengan hormat, sebagai majikan anda, dan dengan bakti, yaitu bahwa mereka mewakili pribadi Tuhan kita, yang berkata: Apapun yang engkau lakukan untuk salah seorang saudaraku yang paling hina ini, engkau lakukan untuk aku.”
(SV X, 332 – 11 Nopember 1657)

Kewajiban semua untuk melayani orang miskin

“Jangan mengira bahwa kalian luput dari kewajiban berkarya demi keselamatan orang-orang miskin, karena kalian juga dapat melakukannya sesuai dengan keadaan kalian.”
(DBSV V, 185)

Layanilah orang miskin dengan sebaik mungkin

“Hendaknya kalian melayani orang miskin dengan sebaik mungkin, dan selanjutnya serahkanlah segalanya kepada kebaikan Allah.”
(SV VII, 242 – 24 Agustus 1658)

Warisan kita adalah orang miskin

“Warisan kita, saudara-saudaraku, adalah orang miskin; ya, orang miskin: pauperibus evangelizare misit me.”
(SV 17 Mei 1658)

Jangan Bersikap Diskriminatif

“Jangan memperlakukan orang dengan sikap membeda-bedakan; orang miskin harus kita layani seperti orang kaya, malah dengan perhatian yang lebih besar, karena sikap ini lebih sesuai dengan cara hidup Yesus di dunia.”
(DBSV V, 22)

Meninggalkan Tuhan hanya untuk Tuhan

“Kalau ada suatu alasan yang dapat dibenarkan untuk meninggalkan doa, maka alasan itu ialah melayani orang miskin. Meninggalkan Tuhan hanya untuk Tuhan… itu namanya bukan meninggalkan Tuhan…”
(SV 30 M

ei 1647)

Orang miskin adalah tuan dan guru kita

"Marilah mengakui di hadapan Allah bahwa orang-orang miskin itu tuan-tuan dan guru kita, dan bahwa kita tidak pantas mempersembahkan pelayanan kita yang kecil saja."
(SV XI, 393 - Januari 1657)

Sama dengan melayani Yesus sendiri

“Di dalam melayani orang miskin, anda melayani Yesus Kristus sendiri. Anda melayani Kristus dalam pribadi orang miskin.”
(SV IX, 252 – 13 Pebruari 1646)

Meningg

alkan Tuhan untuk berjumpa Tuhan lagi

“Bila a

nda terpaksa meninggalkan doa untuk melayani orang miskin, jangan cemas, karena itu berarti meninggalkan Tuhan untuk berjumpa lagi dengan Tuhan dalam diri orang miskin.”
(SV 31 Juli 1634)

Allah memilih orang miskin

“Allah telah memilih orang-orang miskin itu untuk menjadikan mereka kaya dalam iman.”
(SV 25 Januari 1643)

Tindakan kasih yang paling agung

"Apakah ada tindakan kasih yang lebih agung daripada memberikan diri secara total untuk orang-orang yang mengalami kesusahan dan meringankan penderitaan mereka?"
(SV 24 Nopember 1658)