Selasa, 24 November 2009

POSISI HIDUP BAKTI SEBAGAI "BROEDER" DALAM GEREJA


Kutipan dari tulisan Br. Rene Stockman FC, PhD – Pimpinan Umum Kongregasi Bruder Karitas di Roma. Dari buku Beliau yang berjudul : MAY I CALL YOU BROHTER? Hak cipta pada Br. Rene Stockman FC Karena ini terjemahan, boleh jadi terjadi kekurangan di sana sini.

POSISI HIDUP BAKTI SEBAGAI "BROEDER" DALAM GEREJA

Tujuan kami adalah untuk memposisikan hidup bakti para Broeder dalam Gereja masa kini, sebaiknya kami berangkat dari Dokumen / Konstitusi dogmatik dan dekrit yang dihasilkan Konsili Vatikan II dimana Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja, juga dikenal dengan “Lumen Gentium”disingkat LG. LG mendapat tempat pusat karena mendefinisikan kembali mengenai Gereja sebagai Umat Allah. Dahulu, hirarki Gereja diutamakan dan para awam dianggap orang Kristiani kelas dua. Kelompok religius mendapat alokasi tempat kira-kira diantarakeduanya (cf. Paus Pius XII dalam “Provida Mater Ecclesia”: kelompok religius sebagai penengah antara hirarki dan para awam). Konsili dalam LG menegaskan bahwa Umat Allah adalah semua orang beriman yang berpartisipasi dalam imamat umum Kristus.

Umat Allah

“Lumen Gentium” bersifat mutlak: “Semua orang dipanggil untuk turut serta menjadi Umat Allah yang baru. (LG no. 13) “Maka sudah jelas bagi semua, bahwa semua orang yang beriman terhadap Kristus dengan status apapun, terpanggil untuk memenuhi kehidupan Kristiani dan penyempurnaan karya kasih; melalui kekudusan inilah suatu cara kehidupan yang lebih manusiawi akan maju dalam masyarakat duniawi.” (LG, no.40). “Akhirnya semua yang beriman pada Kristus, apapun kondisi, tugas dan keadaan dalam kehidupan mereka dan tentu saja sehubungan dengan semua ini, akan dari hari ke hari bertambah dalam kekudusan, bil mereka menerima semua hal dengan iman dari Bapa surgawi dan apabila mereka sama dengan keinginan ilahi. Dalam pelayanan duniawi ini, mereka akan memanifestasikan bagi semua orang kasih yang diberikan oleh Tuhan kepada seluruh dunia.” (LG, no.41) “Oleh karena itu, semua yang beriman terhadap Kristus diundang untuk berjuang untuk mencapai kekudusan dan kesempurnaan dari keberadaan mereka. Tentu saja mereka mempunyai kewajiban untuk berjuang.” (LG, no.42)
Kutipan-kutipan di atas menentukan arah yang diinginkan. Pesan inti yang ingin disampaikan adalah bahwa semua orang beriman terpanggil untuk menjalankan hidup yang penuh kekudusan. Konsili ingin menegaskan gagasan yang telah dikemukakan oleh St. Fransiskus dari Sales dalam tulisannya berjudul “Perkenalan dengan hidup yang Beriman - /Introductino to the devout life” yang diterbitkan pada tahun 1608. Semua orang yang beriman diharapkan untuk menjadi semakin kudus setiap hari, bukan hanya pastur-pastur dan anggota kelompok religius (biarawan-wati) , tetapi juga ibu-ibu rumah tangga, tentara, petani, anak muda dll.
“Waktu Tuhan menciptakan Dunia Ia memerintahkan tiap pohon untuk menghasilkan buah sesuai dengan jenisnya; sejalan dengan itu Ia memerintahkan kaum Kristiani, - pohon hidup dari GerejaNya, - untuk menghasilkan buah dari ketaatan/devosi masing-masing sesuai dengan jenis dan karyanya. Penerapan ketaatan yang berbeda diperlukan dari masing-masing orang – kaum bangsawan, para ahli, pramuwisma, pangeran, seorang gadis dan seorang istri; lebih dari itu penerapan tersebut harus disesuaikan dengan kekuatan, panggilan, dan kewajiban dari tiapindividu. Adalah kekeliruan, bahkan lebih dari itu, bila orang mengesampingkan kehidupan beriman dari barak tentara, bengke, ruang istana, sekolah, pasar atau rumah tangga. Tentu saja kehidupan kontemplatif beriman yang murni seperti kelompok religius dan membiara, tidak dapat diterapkan dalam lingkungan dan karya seperti itu, tetapi ada berbagai jenis pengabdian lain yang dapat mengarahkan mereka yang panggilan hidupnya bersifat sekuler kearah kesempurnaan. Pastikan agar dimanapun panggilan hidup kita, kita dapat dan harus menuju kepada hidup beriman yang sempurna” (Introduction to the devout life, bab III).
Berdasarkan hal itu maka kita harus mempertimbangkan “tingkat dan status” daripada umat yang beriman kepada Kristus seperti tertera dalam LG no. 40. Orang seringkali merancukan konsep-konsep tersebut yang mengakibatkan salah tafsir mengenai posisi seorang biarawan (Broeder). “Lumen Gentium” memaparkan dua tingkatan: awam dan imam. Disamping itu ada pembedaan antara tiga status dalam kehidupan, yaitu: awam, imam, dan religius. Kesulitan timbul setiap kali pertanyaan mengenai “tingkatan” seorang religius diutarakan.
“Dari sudut pandang struktur hirarki Gereja yang kudus, kehidupan dalam kelompok religius (Broder dan Suster) bukanlah suatu keadaan diantara imam dan awam. Tetapi orang yang beriman terhadap Kristus terpanggil oleh Tuhan dari kedua kehidupan ini agar mereka dapat menikmati berkat ini dalam kehidupan Gerejani sedemikian hingga masing-masing dengan caranya sendiri, dapat memberi kontribusi terhadap misi penyelamatan Gereja.” (LG, no. 43)
Sudut pandang ini juga dipertegas oleh the Code of Canon Law (CCL) / Kitab Hukum Kanonik (KHK): “Pada intinya, kehidupan terkonsekrasi bukanlah bersifat imamat ataupun awam” (CCL, no. 558). Meskipun CCL mempertegas bahwa kehidupan terkonsekrasi bukanlah imamat maupun awam, tidak ada penjelasan atau pembedaanselanjutny a. Justru sebaliknya yang ada adalah pembedaan antara lembaga hidup bakti imamat di satu pihak dan lembaga hidup bakti awam di pihak lainnya: “Bahwa sebuah lembaga dianggap imamat berdasarkan tujuan atau rancangan yang dimaksudkan oleh pendiri atau berdasarkan tradisi yang kuat, dan dikelola oleh para imam, menerapkan dan menjalankan tahbisan suci dan diakui sedemikian oleh otoritas Gereja. Bahwa sebuah lembaga dianggap awam bila diakui sedemikian oleh otoritas Gereja dan oleh karena inti, sifat dan tujuan yang ditetapkan oleh pendirinya atau tradisi yang kuat, tanpa mencakup pelaksanaan tahbisan suci.” (CCL, no. 588).
Sebelum lebih mendalami hal ini, kami ingin lebih mengupas definisi dari ketiga status seperti dimuat dalam dokumen konsili. Definisi tersebut memberi suatu interpretasi dari kehidupan kudus (Gerejani) dari kaum awam, imam dan kelompok religius.
“Tetapi kaum awam, atas dasar karyanya, mencari kerajaan Allah dengan melaksanakan tugas-tugas duniawi dan menyusunnya sesuai dengan rencana Tuhan. Mereka hidup di dunia, yakni dalam setiap pekerjaan dan profesi sekuler. Mereka hidup dalam keadaan biasa seperti keluarga dan kehidupan sosial, dari mana kehidupan mereka terbentuk. Mereka telah terpanggil oleh Tuhan sehingga dengan menjalankan karya dan tugas mereka dan dibimbing oleh semangat Injil mereka dapat bekerja dan mengembangkan kekudusan dunia dari dalam Gereja.” (LG, no. 31) Hal ini merupakan definisi yang jelas dan inspiratif yang dapat mendorong kaum awam untuk berusaha mencapai kekudusan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam profesi mereka masing-masing. Ada beberapa kemiripan antara definisi kaum awam religius (Broeder dan Suster) yang bekerja sama dengan kaum awam pada umumnya. Mereka juga terpanggil untuk menjadi pendorong.

Kesamaan misi antara kaum awam dan biarawan (Broeder) ini diperjelas secara menarik dalam suatu publikasi dari Komisi Jenderal Superior mengenai Lembaga Broeder Religius Awam berjudul “Para Broeder Dalam Lembaga Religius Awam.” (1991) “Profesi atau pekerjaan yang dikerjakan secara serius membawa Broeder/Biarawan ke dalam “kota duniawi” dan menuntut dari mereka kompetensi, tanggung jawab, dedikasi dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku didalamnya, sama halnya dengan kaum awam pada umumnya. Kita berbicara mengenai keberadaan Gereja dalam dunia, yang termasuk kedekatan dan solidaritas yang nyata antara kaum religius dan awam yang memiliki tujuan yang sama yaitu: ‘berdirinya Kerajaan Allah,’ meskipun mereka menghidupinya dengan dua bentuk status hidup yang berbeda dan dengan demikian memiliki titik tolak yang berbeda.
Biarawan menghidupi dedikasi religiusnya berdasarkan dedikasinya sebagai anggota lembaga religius, dan berdasarkan karisma lembaganya; kaum awam menunjukkan keunikan sifat keawaman mereka dengan mendapatkan kedudukan dalam dunia. Kesaksian kaum awam mengingatkan seorang Broeder bahwa dedikasi religiusnya harus membuat dia memperhatikan keselamatan umat manusia maupun kemajuan dunia seperti yang diinginkan oleh Tuhan dan berpegang pada Kristus. Kesaksian para Broeder mengingatkan kaum awam bahwa penyelamatan dunia bukan hanya karya manusiawi, bahwa kemajuan bukanlah tujuan dalam sendirinya dan pembangunan ‘kota duniawi’ harus selalu berawal dari Tuhan.”
Kedudukan profesi seorang imam juga dijelaskan secara lugas dalam “Lumen Gentium” sebagai suatu tugas kesanggupan melayani. “Untuk melayani dan mengembangkan berkesinambungan dari rakyat Tuhan, Tuhan Yesus Kristus melembaga dalam GerejaNya beberapa wadah pelayanan (ministries) , yang bekerja demi kebaikan keseluruhan Tubuh Gereja. Karena pelayan-pelayan tersebut, yang diberkati dengan wewenang sakral, melayani saudara-saudara mereka, agar semua Umat Allah menikmati martabat Kristiani sejati, dan bekerja demi tujuan bersama dan dengan tertib, akan tiba pada penyelamatan” (LG, no. 18). Diantara wadah-wadah pelayanan tersebut ada pembedaan antara: para Uskup, Imam dan diakon. Mengenai pastur dikatakan bahwa mereka telah “dikonsekrasikan untuk mengajarkan Injil dan menggembalai umatberimn dan merayakan Misa” (LG, no. 28)

Akhirnya, kelompok religius didefinisikan dalam “Lumen Gentium” sebagai Umat Allah yang terpanggil untuk menjalani kehidupan kudus selayaknya terjadi dalam semua orang Kristen, dan yang menunjukkan rahmat yang didapat dari Pembaptisan yang diterima oleh semua orang Kristen. “Tentu saja melalui Pembaptisan seseorang akan mati terhadap dosa dan dikonsekrasikan terhadap Tuhan. Tetapi, agar dia sanggup mengambil buah yang lebih banyak dari rahmat Pembaptisannya, dia berniat, melalui pengakuannya atas nasehat injil dalam Gereja, untuk membebaskan dirinya dari hambatan-hambatan tersebut, yang mungkin mengalihkannya dari semangat amal kasih dan kesempurnaan. Dengan mengikuti nasehat-nasehat injil, religius (a.l. Broder) akan lebih intim terkonsekrasi terhadap pelayanan kudus.” (LG, no. 44).
Dekrit “Perfectae Caritatis” lebih memperjelas lagi mengenai identitas kaum religius. Dokumen ini didasarkan atas anggapan bahwa baik kaum awam maupun imam dapat merasa terpanggil untuk memilih kehidupan religius sebagai jalan hidup. Hal ini merupakan sudut pandang yang lebih menerangkan yang, bersamaan dengan itu, memberi suatu perspektif lain untuk mempelajari kehidupan religius. Bertolak belakang dengan ini adalah pembedaan tradisional lembaga-lembaga kontemplatif dan apostolic dan antara lembaga imamat dan awam, seperti tertera baik dalam “Perfectae caritatis”(PC, no. 7 dan 8) dan Kitab Hukum Kanonik (Code of Canon Law) (CCL, no. 586).
Bagi para Broeder religius, nomor 10 sangatlah penting.: “Kehidupan religius yang dianut kaum awam, baik pria maupun wanita, adalah penegasan terhadap petunjuk-petunjuk injil yang lengkap seutuhnya. Sambil menjunjung tinggi kehidupan ini yang sangat berguna pada misi imamat gereja dalam pendidikan kaum muda, merawat orang sakit dan karya-karya lain dalam pelayanan lain, sinode suci mengkonfirmasikan religius dalam karyanya dan menganjurkan mereka untuk menyesuaikan cara hidup mereka dengan keperluan-keperluan modern” (PC, no. 10).
Sehubungan dengan intinya, kita harus mengacu kepada nomor yang terdahulu dimana digambarkan misi dari kongregasi apostolik. (Lembaga yang bersifat imamat maupun awam).
“Dalam komunitas-komunitas ini kegiatan apostolik (kerasulan) dan amal merupakan sifat dasar dari kehidupan religius, melihat bahwa hal ini merupakan pelayanan kudus dan sifat pekerjaan berdasarkan kasih, yang dipercayakan kepada mereka oleh Gereja untuk dijalankan atas Gereja. Oleh sebab itu, kehidupan religius secara keseluruhan harus diinspirasi oleh semangat kerasulan dan segala kegiatan kerasulan dibentuk dengan semangat iman keagamaan. Karena itu agar anggota-anggotanya pertama harus sejalan dengan karyanya untuk mengikuti Kristus dan melayaniNya dan anggota-anggotaNya, kegiatan kerasulan mereka harus mengalir dari suatu kesatuan erat denganNya. Sehingga cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama bertambah” (PC, no.8).
Dalam dokumen konsili, Boeder religius yang menjadi bagian dari Umat Allah yang, seperti semua orang lain, terpanggil untuk menjalani kehidupan yang kudus. Dia berasal dari Umat, dari berbagai perhimpunan orang awam, dan telah memilih untuk menghidupi kekudusannya sebagai anggota kelompok religius. Dia akan menjalankan ini berdasarkan ketaatannya pada petunjuk-petunjuk injil yang merupakan penjelmaan dari rahmat pembaptisan. Berdasarkan devosi tulusnya terhadap Tuhan, ia akan memasuki dunia, dimana dia akan bersama dan dibantu oleh para awam untuk melayani Kristus di tengah-tengah umatNya. (cf. 1. Co. 6, 15).
Perkembangan Pemikiran Mengenai Broeder Religius
Pada tahun 1971, Paus Paulus VI menerbitkan ensiklik apostolik berjudul “Evangelica tertificatio” yang membahas masalah inovasi kehidupan religius sesuai dengan garis pedoman Konsili Vatikan Kedua. Sekali lagi kehidupan religius dalam dokumen tersebut digambarkan sebagai suatu pengalaman radikal dari rahmat pembaptisan melalui ketaatan terhadap petunjuk-petunjuk injil. Meskipun ada beberapa unsur yang ditambahkan, tidak ada yang disinggung langsung mengenai Broeder religius. Tetapi tujuan dari dokumen tersebut jelas: bahwa inovasi yang sesungguhnya harus dimulai dari dalam dan harus lebih dari hanya adaptasi dari beberapa adat istiadat dan kebiasaan.

Dokumen berikut diterbitkan pada tahun 1983 oleh Kongregasi Lembaga Kehidupan Terkonsekrasi dan Masyarakat Kehidupan Rasuli (Congregation for Institutes of Consecrated Life and Societies of Apostolic Life). Dari judulnya sudah jelas: “Unsur-unsur Esensiil Dalam Ajaran Gereja Mengenai Kehidupan Religius” (“Essential Elements in the Church’s Teaching on Religious Life”). Tahun berikutnya, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Ensiklik “Redemptoris donum” dalam rangka Tahun Penebusan. Kehidupan religius dipelajari dari sudut pandang peniruan / meneladan terhadap Kristus dan panggilan untuk menjadi sempurna. Dalam dokumen ini, Sri Paus mengutarakan penghargaan tinggi beliau terhadap para religius yang menjadi saksi kasih Tuhan melalui pelayanan spesifik mereka. Ketiga dokumen tersebut mengembangkan pandangan-pandangan yang memperjelas Dokumen Vatikan II dan menyarankan pandangan-pandangan tersebut dapat berakar dan tumbuh dalam kehidupan sehari-hari kita. Tetapi semua itu tidak mengandung suatu hal yang istimewa mengenai Broeder religius.

Pada tahun 1991, USG (Unione Superiori Generali/Perhimpuna n Superior General) atas inisiatif Komisi Superior General untuk Lembaga Religius Awam (Commission of The Superior Generals on the Lay Religious Institutions) menerbitkan dokumen dengan judul “Brothers in lay religious institutes” (“Para Broeder Dalam Lembaga Awam Religius). Untuk pertama kali, sebuah usaha dilakukan untuk memperjelas identitas dari Broeder religius.
Dokumen tersebut mengandung sudut pandang yang jelas yang dirumuskan sebagai berikut pada akhir dokumen: “Meskipun para Broeder menjalani kehidupan religius secara tetap dan meskipun cara hidup mereka merupakan ketaatan dari petunjuk Injil, namun demikian mereka termasuk kaum awam, meskipun kenyataannya mereka menjalankan hidup mereka berbeda dengan kaum awam biasa. Bila diamati dari status keawaman mereka, mereka adalah pria terkonsekrasi yang terpilih dan terpanggil untuk mengikuti Yesus dan diharapkan untuk menjadi inspirasi bagi dunia.” Kemudian pernyataan ini disanggah oleh beberapa penulis yang mengacu kepada “Lumen Gentium” dimana pembedaan yang jelas dibuat bagi ketiga status hidup dalam Gereja Katolik, yaitu; awam, imamat dan religius. Definisi dari kaum awam dalam dokumen yang tersebut sebelumnya tidak dapat direkonsiliasikan / memasukkan kaum religius dalamnya. Tetapi dokumen ini mewakili usaha yang layak dalam usaha merenungkan lebih dalam mengenai identitas dari Broeder religius.
Dalam Ensiklik pasca sinode “Christefidelis Laici” (CL), Paus Yohanes Paulus II juga memberi perhatian terhadap keberadaan kehidupan yang lain dan kenyataan bahwa keberadaan-keberada an tersebut saling terkait.
“Dalam Komunitas Gereja keberadaan kehidupan yang berturutan saling terkait satu dengan yang lain. Mereka berbagi dalam satu pengertian dasar: yakni cara menjalani hidup berdasarkan martabat Kristiani bersama dan panggilan universal pada kekudusan dalam menyempurnakan kasih. Berbeda tetapi saling melengkapi, dalam konteks bahwa masing-masing memiliki sifat dasar yang unik yang membedakan keduanya, tetapi bersamaan dengan itu masing-masing dipandang sehubungan dengan lainnya dan dapat saling melayani.”
Maka keberadaan hidup awam memiliki keistimewaan dalam sifat sekulernya. Ia memenuhi pelayanan Gerejani serta memberi kesaksian serta dengan caranya sendiri mengingatkan bari para imam, pria dan wanita religius kepentingan dari kenyataan duniawi dalam rencana penyelamatan Tuhan. Pada gilirannya, pelayanan imamat mewakili pada berbagai waktu dan tempat jaminan permanen kehadiran sakral dari Kristus Sang Penebus. Keberadaan religius memberi kesaksian akan keyakinan atas kehidupan abadi (eschatological character) Gereja, yakni usaha menuju Kerajaan Allah yang telah dinanti-nantikan dan telah diramalkan kedatangannya dan dialami sekarang juga melalui kemurnian, kemiskinan dan kepatuhan” (CL, no. 55).

Dokumen ini juga memperjelas keberadaan kehidupan dimana kaum awam mempertahankan status keawaman mereka:
“Keberagaman dalam Gereja lebih jauh tercermin dari dalam tiap keberadaan kehidupan. Maka dalam keberadaan hidup awam bermacam ‘karya’ terdapat, dalam arti banyak jalur dalam kehidupan spirituil dan pelayanan yang dipilih oleh anggota kaum awam beriman. Dalam bidang karya awam yang ‘diminati bersama’ karya awam ‘istimewa’ berkembang subur. Dalam bidang ini kita juga dapat mengingat pengalamanspirituil dari berkembangnya berbagai bentuk lembaga sekuler yang timbul aknir-akhir ini didalam Gereja. Karya-karya ini memberi kesempatan kaum awam beriman, danbahkan imam kemungkinan untuk menerapkan petunjuk injil dalam hal kemiskinan, kemurnian dan kepatuhan melalui kaul atau janji, sambil mempertahankan keberadaan awam atau imamat umum mereka sepenuhnya. Dalam hal ini Bapak-bapak Sinode berkomentar, ‘Roh Kudus menunjukkan bentuk-bentuk lain pemberian diri dimana orang yang sepenuhnya tetap berada dalam status awam mengabdikan diri mereka’” (CL, no. 56).
Sudah jelas disini tidak ada pembahasan mengenai Broeder religius, tetapi tentu saja membahas mengenai mereka yang bergabung dalam lembaga awam. Meski dalam jenis kehidupan terkonsekrasi kaum awam tetap awam dalam arti kata yang sesungguhnya. Dalam Sinode Uskup mengenai kehidupan beragama di tahun 1994 penerangan baru diberikan mengenai identitas para Broeder religius. Dalam no.32 “Instrumentum laboris” (IL), para uskup menuntut perhatian bagi “lembaga awam dan para Broeder awam”.
“Perhatian khusus diberikan kepada karya dan misi dari para Broeder awam dalam lembaga sekuler, imamat dan lembaga-lembaga dimana kedua jalan hidup dilaksanakan.
Orang sering mengabaikan bahwa hidup terkonsekrasi, pada intinya bukanlah imamat maupun awam, atau seperti halnya di Timur pada masa lalu dan bahkan sekarang juga pada awalnya berasal sebagian besar dari kaum awam. Akibat dari itu adalah pandangan bahwa hidup bakti seorang Broeder dipandang sebagai tidak lengkap karena tidak adanya status imamat” (IL, no. 32).

Sinode diminta untuk menegaskan pentingnya dan pengertian dari kaum “awam religius” dan untuk menginterpretasikan ciri-ciri yang beragam dalam kehidupannya: keterbukaan para Broeder dengan Kristus, partisipasi dalam pelayanan untuk Gereja, tanda kehadiran Kerajaan Allah dan nilai-nilai yang lebih penting dari nilai-nilai duniawi. Suatu permohonan juga diutarakan untuk membentuk formasi para Broeder yang lengkap dan juga timbul pertanyaan apakah seorang Broeder diperbolehkan menjadi anggota pimpinan dari lembaga imamat atau tarekat campuran yang anggotanya ada imam dan broeder.

Akhirnya, kongregasi awam diminta untuk menemukan cara untuk berbagi spiritualitas, solidaritas, kerjasama mereka dengan para awam yang berhubungan dengan mereka. Dalam alinea lain berjudul “Consecrated Christifideles” (Pengabdi Kristus yang Terkonsekrasi) , hal berikut tertulis mengenai Broeder religius: “Pada mulanya bentuk historis dari kehidupan religius memiliki ciri keawaman dibandingkan dengan cirri imamat. Bahkan, dimasa kinipun banyak anggota kehidupan terkonsekrasi atau perhimpunan kehidupan pelayanan adalah mereka yang terkonsekrasi atau kaum awam yang diikutsertakan meskipun mereka bukan awam seperti orang lain yang hidup dalam dunia. Karena pengabdian mereka, mereka memiliki, dibanding dengan awam yang lain, sedikit dari sifat-sifat awam tradisional, yaitu kehidupan yang dijalankan ditengah-tengah dunia atau keterlibatan dalam masalah-masalah duniawi. Tetapi sifat awam tersebut timbul sesuai dengan sifat dasar, daya tarik dan sifat-sifat lain yang cocok tepat bagi kaum awam dan sesuai dengan jenis kehidupan yang mereka jalankan dan jenis pelayanan yang mereka penuhi dalam Gereja dan dalam masyarakat, juga sesuai dengan lembaga atau kongregasi mereka.” (IL, no. 69).

Dalam teks ini juga, pertentangan antara keberadaan religius dan tetap menjadi kaum awam menjadi sangat jelas. Suatu keistimewaan dari misi tersebut juga disebutkan. “Suster dan Broeder awam yang terkonsekrasi yang tergabung dalam kongregasi kehidupan pelayanan dapat, karena misi khusus mereka, berpengaruh secara efektif demi pembaharuan dunia dalam semangat kebahagiaan surgawi.”
Saat Sinode gagasan-gagasan tersebut lebih diperjelas dan dalam ajakan “Vita Consecrata” (Hidup Bakti) (VC), suatu alinea yang panjang mengupas khusus mengenai Broeder religius. Pertama-tama diulang lagi, bahwa berdasarkan sifat dasarnya, keberadaan kehidupan terkonsekrasi bukanlah imamat maupun awam. “Oleh karena itu ‘konsekrasi awam’ baik untuk pria maupun wanita merupakan suatu keberadaan dimana dalam pengabdian terhadap petunjuk Injil adalah lengkap dalam dirinya” (VC, no. 60).

Tetapi beberapa keberatan diutarakan saat sinode terhadap istilah “lembaga awam” “Menurut terminologi yang sekarang digunakan, lembaga-lembaga yang, dikarenakan tujuan pendiri atau tradisi yang kuat, memiliki ciri dan tujuan yang tidak mencakup menjalankan Perintah-perintah Kudus (Holy Orders) disebut ‘Lembaga Awam’. Meskipun demikian menunjukkan bahwa terminologi demikian tidak cukup mengungkapkan jenis karya anggota-anggota Lembaga Religius tersebut. Nyatanya meskipun mereka banyak mengerjakan karya kaum awam beriman, mereka melakukannya sejalan dengan konsekrasi mereka, dan karenanya mengekspresikan pemberian diri secara menyeluruh bagi Kristus dan Gereja, sesuai dengan kepribadian mereka. Karena itulah Bapak-bapak Sinode, untuk menghindari ketidak jelasan dan kebingungan antara keberadaan kaum awam beriman yang sekuler, mengajukan istilah ‘Lembaga para Broeder Religius” (VC, no. 60).

Maka suatu istilah baru diperkenalkan: lembaga para Broeder religius (Religious Institute of Brothers). Yang sangat memperkaya dan inovatif adalah penjelasan lebih jauh istilah “Broeder” dari pidato Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 22 February 1995. “Kaum religius ini telah terpanggil untuk mejadi saudara laki-laki Kristus sendiri, ‘putra sulung dari banyak saudara laki-laki’ (Rm. 8,29). Saudara laki-laki satu dengan yang lain, dalam kasih sesama dan bekerja bersama dalam Gereja demi kebaikan bersama. Saudara laki-laki bagi semua orang, sebagai saksi kasih Kristus untuk semua, terutama yang terendah, yang termiskin; saudara laki-laki yang membangun persaudaraan lebih erat dalam Gereja. Dengan menghidupi aspek ini, dimana kehidupan Kristiani dan kehidupan terkonsekrasi memiliki banyak kesamaan, secara khusus ‘para Broede rreligius’ mengingatkan para imam dengan jelas aspek dasar persaudaraan ini dalam Kristus, yang harus dihidupi antara pria dan dengan setiap pria dan wanita. Lebih dari itu, mereka memproklamirkan suara Tuhan bagi semua: “Dan engkau adalah semua bersaudara’ (Mt. 23, 8).”

Empat interpretasi mengenai arti menjadi seorang Broeder religius yang mencakup unsur dasar kehidupan religius (keagamaan): contemplatio, communio dan missio. (kontemplatif, persatuan dan misi). Lebih dari itu ada misi khusus untuk membantu mengembangkan rasa persaudaraan dalam Gereja dan dunia. Gagasan bahwa para Broeder, seharusnya, memiliki pesan khusus bagi para imam adalah sungguh-sungguh baru. Lebih jauh dalam naskah tersebut pertanyaan yang juga diajukan dalam “Perfectae caritatis” juga diulas. Kita mengacu pada pertanyaan apakah seorang Broeder sebaiknya ditahbiskan sebagai imam agar bisa merayakan misa dalam rumah mereka sendiri? Tidak ada argumentasi yang kuat melawan hal ini, tetapi dalam dokumen ini dengan pasti dijelaskan bahwa hal tersebut secara eksplisit tidak dianjurkan karena sangat diharapkan bagi para Broeder religius untuk tetap setia terhadap karya dan misi aslinya. Untuk pertanyaan yang diajukan dalam “Instrumentum labori”, mengenai apakah Broeder religius berhak menjabat suatu fungsi administratif dalam suatu intitusi imamat, jawabannya adalah “tidak”, paling tidak dalam “Vita Consecrata”. “Dalam lembaga-lembaga tersebut para imam merupakan bagian penting dari lembaga tersebut dan menentukan sifat, tujuan dan semangat” (VC, no. 60).

Dalam hal lembaga campuran (tarekat yang anggotanya imam dan bruder), tertera dalam dokumen bahwa semua kaum religius memiliki hak dan tugas yang sama, suatu komisi khusus akan dibentuk jika ada masalah yang timbul. Hal ini menambahkan satu bab baru kepada buku “The Religious Institute of Brothers” (Lembaga Para Broeder Religius) dan memberi wewenang bagi para Broeder sendiri untuk lebih memperjelas identitas mereka.
Awam atau Religius
Tetapi sebelum melanjutkan permenungan kita mengenai identitas ini, saya ingin lebih mendalami sifat-sifat awam dari lembaga religius dari para Broeder. Dokumen-dokumen konsili menggaris bawahi karakter atau sifat kaum awam dari lembaga itu sendiri dan para Broeder. Br. Michel Sauvage f.s.c. membahas pilihan ini dan masalah-masalah yang timbul darinya dalam kontribusinya berjudul “La vie religieuse laique” (kehidupan para awam religius) dalam “Vatikan II, l’adaptation et la renovation de la vie religieuse” (Vatikan II, penyesuaian dan pembaruan dalam kehidupan religius). Ia menemukan kekurang jelasan dan mereka yang tergabung dalam lembaga awam sudah tidak memenuhi kriteria seperti tertera dalam “Lumen Gentium” agar dapat dianggap sebagai kaum awam yakni sebagai orang yang hidup dalam dunia. Tetapi karena istilah “kaum awam” atau “orang awam” digunakan dalam setiap dokumen, ia masih setuju untuk menggunakan istilah tersebut. Ia mengacu pada Congar yang menyatakan, dalam suatu naskah membahas teologi dari kaum awam, bahwa religius, seperti halnya dengan orang awam, berpartisipasi dalam kehidupan imamat sebagai tindak lanjut dari rahmat pembaptisan (cf. Jalons pour une théologie du laïcat, p. 366).

Kehidupan imamat diambil sebagai titik tolak dan pusat orientasi yang lazim. Memang benar bahwa kaum awam dan religius tidak berbeda dalam hal itu. Tetapi, alangkah baiknya untuk tetap mengingat pada saat seseorang dibaptis, orang tersebut telah terpanggil untuk menjadi raja, imam dan nabi. Karena devosi terhadap rahmat pembaptisan diakui bahwa seseorang yang telah dibaptis adalah raja dirinya sendiri sudah tidak lagi menjadi hamba dari dosa, imam dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Imam Tertinggi, Kristus, dan bahwa dia, karena telah dikaruniai Roh Kudus sanggup untuk beribadat kepada Tuhan, berperan sebagai nabi, penyebar Injil Tuhan, serta mengerti dan memproklamirkannya. Rahmat pembaptisan memberi orang kebebasan murni (raja), kekudusan (imamat) dan kebenaran (nabi). Dalam konteks tersebutlah kaum imamat secara umum harus dimengerti dan penunjukkan dari rahmat pembaptisan harus dapat terlihat. Dengan pengertian itu, kaum religius adalah dan tetap seorang penganut Kristiani yang menjalankan hidup secara eksklusif berdasarkan rahmat pembaptisan yang telah diterimanya dan dalam cahaya kebangkitan. Bila kita menelaah istilah “awam” dari sudut pandang tersebut tidak ada lagi ketegangan antara kaum religius dan awam. Tetapi jika kita mengartikan istilah “awam” berdasarkan definisi “Lumen Gentium”, perbedaan tidak dapat disangkal karena bersifat dasar: karena berada dalam dunia, umat Kristiani yang bukan imam maupun religius dibagi kedalam tiga keberadaan kehidupan yaitu: awam, imamat dan religius.
Dalam perjalanan sinode mengenai karya dan misi umat awam, Broeder religius tidak dipanggil dalam kapasitas mereka sebagai kaum awam tetapi dalam kapasitas mereka sebagai religius. Dalam naskah-naskah tersebut karya pelayanan seorang religius dianggap melengkapi karya pelayanan kaum awam karena mereka aktif dibidang atau lapangan yang sama. Pada tanggal 12 October 1987, Mgr. Corecco, ketua dari Consociatio Internationalis Studio Iuris Conoci Promovendo (Asosiasi Internasional Untuk Penelitian Hukum Kanonik Promovendo) menempatkan kaum awam ditengah-tengah proses sekulerisasi (secularization) . “Kehidupan imamat sekuler terdiri dari kenyataan yang memiliki konsekuensi teologis, bahwa kaum awam terpanggil untuk memberikan kontribusi penebusan kepada dunia dengan menerima tanggung jawab untuk kondisi kehidupan terstruktur yang dimiliki semua orang. Hal ini diinterpretasikan dengan kurang meyakinkan dan dijelmakan dalam ketiga bentuk lembaga hukum alamiah: kepemilikan, pernikahan dan kebebasan untuk mengatur kehidupan sendiri.”
Karena seorang religius memilih untuk mentaati nasehat Injil maka ia tidak memperoleh barang-barang milik (property), dan ia tidak menikah dan setuju untuk diatur hidupnya oleh atasannya. Naskah tersebut selanjutnya mengupas konsekuensi dari kehidupan religius. “Sifat sekuler dihilangkan dengan konsekrasi melalui yang menunjukkan petunjuk Injil, meskipun dari lembaga sekuler.”

Mgr. Fagiolo yang waktu itu menjabat sebagai sekretaris dari Congregation for Institutes of Consecrated Life and Societies of Apostolic Life (Kongregasi Lembaga Kehidupan Terkonsekrasi / Lembaga Hidup Bakti dan Perhimpunan Kehidupan Pelayanan, memiliki pandangan yang sama dan menambahkan bahwa pandangan teologis, dimana ada suatu pembedaan jelas antara kaum awam dan religius, sebaiknya dijadikan dasar dari semua diskusi yang lain, baik yang bersifat kanonis maupun imamat (cf. 6 Maret 1987 dimuka Komisi dari 16 anggota U.S.G).
Berbicara secara teologis, umat beriman Kristiani terdiri dari dua kelompok: kaum awam dan yang terkonsekrasi. Berdasarkan hal itulah Vatikan II mencapai pada pemisahan menjadi tiga kelompok berbeda dalam “Lumen Gentium”: imam, kaum awam yang bukan imam maupun religius, dan religius. Hal ini juga menjadi dasar bagi Hukum Kanonik (Canon Law) bagi gagasan bahwa kehidupan religius berdasarkan sifatnya bukanlah imamat maupun awam (cf. CCL, no. 588). Tetapi beberapa religius dapat ditahbiskan sebagai imam, dan hal ini memberi dimensi baru kepada kehidupan religius. Berdasarkan gagasan ini kita mungkin dapat merumuskan gagasan berikut: dengan memasuki kehidupan religius, penganut Kristiani meninggalkan status awamnya dan menjadi religius yang menjadi status barunya. Gagasan itulah yang ditetapkan oleh sinode mengenai kehidupan terkonsekrasi. Dengan sadar “Broeder awam” dan “lembaga sekuler” ditinggalkan dan diganti dengan “Broeder religius” dan “lembaga para broeder religius”. Penekanan berada pada konsekrasi, pada “Vita Consecrata”, yang merupakan cara hidup yang dapat dipilih penganut Kristiani (baik awam maupun imam). Dan mengenai lembaga para broeder religius, anggota-anggotanya telah membuat pilihan secara sadar untuk tidak ditahbiskan sebagai imam. Mereka tetap menjadi religius dalam bentuk yang paling murni.

--
Antonius Sad Budianto CM
Giriya Samadi Vinsensius (GSV)
Raya Ngemplak 2, Prigen 67157
Pandaan, Jatim

Sabtu, 14 November 2009

Bersepeda Bersama Yesus


Sepeda ....
Sepeda menjadi sarana transportasi yang tak pernah aku lupa. Dari sepeda inilah aku menjadi lebih sadar akan makna hidup yang mendalam. Sepeda pertama kalinya aku dapatkan ketika aku menginjak pendidikan tingkat menengah (teknik) di tengah kota Surabaya. Aku "terpaksa" meminta itu karena tidak ada pilihan lain selain itu karena untuk meminta lebih dari itu, kedua orang tuaku tak sanggup. Aku menyatakan "terpaksa" sebab tak lagi ada pilihan lain dan aku harus paham betul keadaan ekonomi keluargaku. Aku perlukan sarana itu karena jarak rumahku dengan sekolahku jauh sekali. Kalau ditempuh dengan sepeda bisa memakan waktu 1,5 jam, sedangkan kalau naik kendaan umum akan memakan waktu 1,5 - 2 jam. Kendaraan umum memang memakan waktu perjalanan lebih lama karena harus ngetem cari penumpang.

Pilihan sepeda menjadi pilihan penegasan..Dengan sepeda sedikitnya aku sedikit meringankan beban orang tuaku. Setidaknya tidak perlu ongkos transpor. Ongkos transport hanya diganti ongkos pengganjal perut dan lidah yang kehausan. Proses pendidikan menengah tersebut berjalan lancar tanpa ada halangan. Oleh waktu yang berjalan aku menemukan keutamaan dan sikap yang aku timba dari sahabatku Yesus. Dengan sepeda, aku harus mengayuh, mendayung pedal kalau aku mau jalan. Dengan sepeda aku ternyata diajak untuk berani nrimo segala pengalaman yang memang harus kuterima. Sepedaku dan sahabatku ini juga menjadikan dan mengajarkan aku untuk sederhana, mudah, praktis, tidak macem-macem. Dia bisa masuk segala medan jalan, ringan, tak seorangpun polisi berani menilang. Semua orang akan paham ketika aku bersamanya di jalanan raya nan ramai dan megah. Ya...sederhana itu membuatku kuat dan mampu menerima segala macam peristiwa.

Dengan sepeda yang sederhana itu memang membuat seragamku, khususnya bagian pantat lubang 2 buah karena seringnya bergesekan. Tapi aku tetap senang, dengannya aku dapat berjumpa dengan segalama macam peristiwa, pribadi, keadaan ketika aku mengayuh sepedaku. Aku diajak untuk masuk dalam kehidupan lebih nyata kalau aku ingin menjadi pribadi yang dewasa. Ya...sepedaku sahabatku. Lewat kesederhanaanya aku juga diajak untuk tidak ego dengan diriku. Sepdaku yang bekas ternyata juga membuatku dekat dnegan teman-temanku dan banyak orang. Dan dengan sepeda itu pula kadang aku duduk terpekur di pinggilan sungai brantas karena kebanjiran keringat untuk sejenak beristirahat sambil minum segelas legen manis. Aku ditemaninya untukmelihat hidupku lebih mendalam. Aku diajak untuk sabar dengan kehidupanku sendiri, juga dengan diriku sendiri. Ya...sabar dengan diri sendiri memang sulit sekali, namun sepedaku mendidik ku untuk senantiasa sabar walau dengan berpeluh keringat yang bau...toh itu bauku sendiri.

Sepedaku juga yang senantiasa menemaniku untuk senantiasa hadir di hadiratNya. KEtika aku dekat dnegan Dia di Gereja, pelayanan kaum muda, juga di saat ketika aku emberi diri tanpa ada imbalan, sepedaku menungguiku...ya...seolah malam itu, dingin sekali rasanya, aku mengayuh sepeda dengan kegembiraan karena dia menemaniku.

Ya...aku diajak untuk mengenal Yesus lebih dekat dan dekat sekali. Aku diajak Yesus untuk bersepeda bersama Dia mengayuh kehidupanku sendiri. demi kerajaan Allah. Aku indu untuk senantiasa bersepeda, karena dengan itu aku disadarkan kembali akan makna hidup yang harus kujalani. Ya...baru aku menyadari bahwa, bapak ibuku telah membantuku untuk mengayuh sepeda bersama Yesus, dan akhirnya dengan berat hati mereka juga merelakan aku untuk bersepeda bersama DIA dalam sepanjang hidupku. Terima kasih Bapak dan Ibu...aku diperbolehkan bersepeda bersama Dia. Berkah Dalem

Jumat, 13 November 2009

Kaum Muda Vincentian Bertemu Untuk Meningkatkan Cinta Mereka Kepada Orang Miskin

MALANG, Jawa Timur (UCAN) -- Orang muda yang mengikuti spiritualitas Vincentian menemukan dalam sebuah pertemuan baru-baru ini bahwa pertemuan langsung dengan kaum miskin bisa menjadi sebuah pengalaman yang membuka mata dan hati.

Frater Maria Titus Sutrisno dari Kongregasi Frater-Frater Bunda Hati Kudus (BHK) berbicara dengan UCA News setelah menghadiri Temu Kaum Muda Vincentian (TKMV) IV, yang diadakan 26 hingga 28 Oktober di Seminari Tinggi CM (Kongregasi Misi) Beato Ghebre Mikhael di Malang.

Pada pagi di hari kedua pertemuan itu, 95 kaum muda dari paroki-paroki yang dikelola CM, kelompok-kelompok social CM, serta keluarga Vincentian, termasuk kongregasi dari Frater Sutrisno itu, pergi ke pasar-pasar dan jalan-jalan untuk menemui orang miskin dan menanyakan apa perasaan mereka dan apa yang menyebabkan mereka menjadi miskin.

Para peserta berasal dari Malang dan 10 tempat lain di Pulau Jawa termasuk Jakarta, serta dari Banjarmasin di Kalimantan Selatan.

Frater Sutrisno pergi ke sebuah pasar, di mana ia bertemu juru parkir, tukang becak dan pengemis. “Awalnya, saya was-was. Saya khawatir tidak diterima mereka. Namun setelah memperkenalkan diri sebagai seorang yang ingin bersahabat dengan kaum miskin, mereka langsung menyambut saya. Mereka menerima saya seperti saudaranya sendiri,” katanya mengenang.

Seorang perempuan pengemis men-sharing-kan betapa ia membutuhkan bantuan orang lain tapi mereka menyepelehkan dia, kata frater yang sedang kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Katolik Widya Karya di Malang itu.

Kematian suaminya membuat dia jatuh miskin karena suaminya meninggal tanpa meninggalkan warisan harta selain sebuah rumah sederhana. “Karena tidak memiliki pekerjaan atau keterampilan apapun, ia terpaksa mengemis di pasar itu,” katanya. Frater itu menambahkan, orang miskin yang ia ajak bicara merasa bahagia karena ada orang yang mau mendengarkan keluh kesah mereka.

“Sekarang saya lebih mengerti. Sebenarnya mereka membutuhkan sapaan dari sesamanya. Selama ini mereka merasa dipinggirkan,” kata Frater Sutrisno. Ia mengatakan bahwa ia berjanji untuk mengunjungi mereka lagi.

Ketika peserta pertemuan itu berkumpul lagi di malam hari kedua, mereka mendiskusikan pengalaman pribadi mereka pagi itu. Di hari ketiga, mereka merefleksikan sikap dan kepedulian terhadap orang miskin dalam berbagai bentuk, di antaranya pementasan teater dan pembacaan puisi.

Pastor Aloysius Didik Setyawan CM sudah menjadi penanggungjawab TKMV sejak dimulainya di tahun 2003. Ia mengatakan kepada UCA News pada tanggal 26 Oktober bahwa pertemuan keempat itu bertujuan untuk semakin mengikat persaudaraan peserta untuk mengubah lingkungan sosial mereka berdasarkan semangat kasih Santo Vincentius de Paul.

“Peran kaum muda, terlebih kepedulian mereka bagi yang miskin dan tersingkir, sangat strategis untuk mengubah dunia menjadi lebih baik,” katanya.

TKMV, yang melibatkan peserta berbeda setiap tahun, memiliki tujuan untuk membantu kaum muda meningkatkan kepedulian mereka terhadap orang miskin, menumbuhkan iman mereka, dan membuat jaringan untuk membangun persaudaraan di antara mereka.

Harapan khusus dari pertemuan tahun ini adalah agar orang muda membawa pulang kepedulian mereka terhadap orang miskin dan tersingkir dan meneruskannya kepada sesama kaum muda, kata Pastor Setyawan. “Kita berharap mereka menjadi pelopor semangat Santo Vincentius.”

Peserta-peserta pertemuan yang lalu, kata imam itu, tidak hanya mempraktekkan semangat Vincensian kepada orang miskin yang mereka pelajari dalam pertemuan itu, “tapi juga mengajak teman-teman untuk terlibat dalam karya sosial dan mengikuti TKMV.”

Agatha Putri Andika Permatasari dari Komunitas Orang Muda Katolik (KOMKA) paroki Katedral Banjarmasin mengatakan kepada UCA News ia menghadiri pertemuan itu karena diajak oleh seorang peserta pertemuan tahun lalu.

“Tahun lalu dua orang dari KOMKA mengikuti kegiatan ini. Setelah kembali, mereka mengajak kami melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Dan tahun ini KOMKA mengirim tiga orang anggotanya yang lain,” kata wanita itu.

Mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu menambahkan, bertemu dengan “teman-teman seiman yang terlibat dalam kegiatan sosial adalah sesuai semangat Santo Vinsentius dan semakin menguatkan iman dan semangat saya agar lebih peduli kepada sesama yang miskin dan tidak berdaya.”

Sebelum menghadiri pertemuan itu ia terlibat dalam karya sosial di wilayah parokinya, namun ia optimis, pertemuan di Malang itu akan mengembangkan kepekaan sosialnya.

Ia mengatakan ia akan “pulang dan mengajak teman-teman lain untuk mulai memberi perhatian kepada kaum miskin dengan cara menyapa mereka untuk tahu apa yang menyebabkan mereka hidup miskin, dan agar bisa melakukan cara yang tepat untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan.”

-END-

diambil dari Merifica

MELAYANI ORANG MISKIN

Bukan sekedar belaskasihan, melainkan keadilan

“Semoga Allah menganugerahkan rahmat yang menggerakkan hati kita untuk menolong orang-orang yang menderita, dan keyakinan bahwa dengan meringankan penderitaan mereka kita melakukan keadilan dan bukan sekedar belaskasihan!”
(SV VII, 98)

Berikan peralatan kerja

“Kalau seseorang sudah cukup kuat untuk bekerja, maka belikan segera untuk dia peralatan untuk bekerja dan jangan diberi apa-apa lagi. Sebab uang derma bukan untuk mereka yang dapat bekerja, melainkan hanya untuk orang-orang yang sakit parah, para yatim piatu, dan para jompo.”
(SV IV, 183 – 26 April 1651)

Perlu perencanaan dan koordinasi

“Cinta kasih menjadi kurang efektif, karena kurang terencana. Orang-orang miskin sering menderita bukan karena tidak ada yang sanggup menolong, melainkan karena tidak ada koordinasi.”
(SV XIII, 423)

Bukan hanya afektif, tetapi juga efektif

“Kasih terhadap orang miskin itu bukan hanya dengan lembut, tetapi juga harus efektif… melayani orang miskin dengan efektif.”
(SV IX, 593)

Kebutuhan jasmani dan rohani, dengan kata dan perbuatan

“Jika di antara kita ada yang berpikir bahwa tugas kita hanya untuk mewartakan injil kepada kaum miskin, dan bukan untuk meringankan penderitaan mereka, hanya untuk memenuhi

kebutuhan rohani dan bukan kebutuhan jasmani mereka, maka saya menegaskan bahwa kita harus menolong mereka dan memastikan bahwa mereka ditolong dengan segala cara, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang-orang lain… Melakukan hal ini berarti mewartakan injil baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan-perbuatan. Inilah cara yang paling sempurna.”
(SV XII, 87)

Berjiwa kristiani

“Tidak ada yang lebih berjiwa kristiani daripada pergi dari desa ke desa untuk menolong masyarakat miskin dalam usaha mencari keselamatan.”
(DBSV V, 1)

Tugas misi

“Berkarya demi keselamatan orang-orang miskin... merupakan unsur pokok dari panggilan tugas kita, dan semua yang lain hanyalah tambahan belaka.”
(DBSV V, 181 – 25 Oktober 1643)

Tuhan kita tinggal dalam orang-orang miskin

“Hendaknya anda melayani orang-orang miskin sebagai majikan anda, karena Tuhan kita tinggal dalam mereka, dan mereka dalam Tuhan kita.”
(SV XIII, 540 – 1641)

Mencari yang paling miskin dan terlantar

"Marilah kita pergi dan membaktikan diri kita dengan cinta yang baru, yaitu untuk melayani orang-orang miskin, dan bahkan mencari yang paling miskin dan terlantar."
(SV XI, 393 - Januari 1657)

Orang miskin mewakili pribadi Tuhan kita

“Inilah alasan yang membuat anda harus melayani orang-orang miskin dengan hormat, sebagai majikan anda, dan dengan bakti, yaitu bahwa mereka mewakili pribadi Tuhan kita, yang berkata: Apapun yang engkau lakukan untuk salah seorang saudaraku yang paling hina ini, engkau lakukan untuk aku.”
(SV X, 332 – 11 Nopember 1657)

Kewajiban semua untuk melayani orang miskin

“Jangan mengira bahwa kalian luput dari kewajiban berkarya demi keselamatan orang-orang miskin, karena kalian juga dapat melakukannya sesuai dengan keadaan kalian.”
(DBSV V, 185)

Layanilah orang miskin dengan sebaik mungkin

“Hendaknya kalian melayani orang miskin dengan sebaik mungkin, dan selanjutnya serahkanlah segalanya kepada kebaikan Allah.”
(SV VII, 242 – 24 Agustus 1658)

Warisan kita adalah orang miskin

“Warisan kita, saudara-saudaraku, adalah orang miskin; ya, orang miskin: pauperibus evangelizare misit me.”
(SV 17 Mei 1658)

Jangan Bersikap Diskriminatif

“Jangan memperlakukan orang dengan sikap membeda-bedakan; orang miskin harus kita layani seperti orang kaya, malah dengan perhatian yang lebih besar, karena sikap ini lebih sesuai dengan cara hidup Yesus di dunia.”
(DBSV V, 22)

Meninggalkan Tuhan hanya untuk Tuhan

“Kalau ada suatu alasan yang dapat dibenarkan untuk meninggalkan doa, maka alasan itu ialah melayani orang miskin. Meninggalkan Tuhan hanya untuk Tuhan… itu namanya bukan meninggalkan Tuhan…”
(SV 30 M

ei 1647)

Orang miskin adalah tuan dan guru kita

"Marilah mengakui di hadapan Allah bahwa orang-orang miskin itu tuan-tuan dan guru kita, dan bahwa kita tidak pantas mempersembahkan pelayanan kita yang kecil saja."
(SV XI, 393 - Januari 1657)

Sama dengan melayani Yesus sendiri

“Di dalam melayani orang miskin, anda melayani Yesus Kristus sendiri. Anda melayani Kristus dalam pribadi orang miskin.”
(SV IX, 252 – 13 Pebruari 1646)

Meningg

alkan Tuhan untuk berjumpa Tuhan lagi

“Bila a

nda terpaksa meninggalkan doa untuk melayani orang miskin, jangan cemas, karena itu berarti meninggalkan Tuhan untuk berjumpa lagi dengan Tuhan dalam diri orang miskin.”
(SV 31 Juli 1634)

Allah memilih orang miskin

“Allah telah memilih orang-orang miskin itu untuk menjadikan mereka kaya dalam iman.”
(SV 25 Januari 1643)

Tindakan kasih yang paling agung

"Apakah ada tindakan kasih yang lebih agung daripada memberikan diri secara total untuk orang-orang yang mengalami kesusahan dan meringankan penderitaan mereka?"
(SV 24 Nopember 1658)

Mutiara St. Vinsensius a Paulo


Kasih-Mu melukai hatiku...

Engkau, ya Allahku…
Engkau telah mengasihi aku…
Namun kasih-Mu justru melukai aku.
Engkau telah melukai dan menembus hatiku dengan panah-panah bernyala.
Engkau telah melemparkan api yang suci ini ke dalam hatiku.
Dan api itu membawaku kepada kematian demi cinta.
Oh. Terberkatilah untuk selamanya.
Ya Penyelamatku…, Engkau telah melukai hatiku.
(DBSV V, 281)

Hati yang merindukan Tuhan

Oh Penyelamatku,
Engkau mengerti apa yang ingin diungkapkan oleh hatiku.
Hatiku menghadap Engkau, sumber belaskasihan…
Engkau mengerti harapan-harapannya,
yang hanya terarah pada-Mu,
dan hanya merindukan Engkau.
(DBSV V, 286)

Meneladan Perawan Maria

“Renungkanlah cinta kasih Perawan Maria yang Terberkati dan kerendahan hatinya, dan jadilah rendah hati di hadapan Allah.”
(SV. I, 504)

Agar Allah dicintai

“Jelas, bahwa saya telah diutus bukan hanya untuk mencintai Allah, melainkan juga agar Allah dicintai.”
(SV XII, 262)

Cinta kasih tidak dapat diam berpangku tangan

“Mari kita melihat Putera Allah. Hati yang begitu penuh kasih! Betapa cinta yang membara. Oh, Penyelamat kita! Sumber cinta yang direndahkan di hadapan siksaan keji salib! Siapakah yang memiliki cinta seperti Engkau? Saudara-saudaraku, jika kita memiliki sebagian dari cinta itu, akankah kita diam dan menyilangkan tangan kita? Akankah kita membiarkan mati segala hal yang bisa kita pelihara? Tidak, cinta kasih tidak dapat diam berpangku tangan, melainkan menggerakkan kita untuk menyelamatkan dan menghibur sesama.”
(XI, 132)

Jangan takut mengatakan kebenaran

“Kalau menyangkut kemuliaan Allah dan keselamatan orang miskin kita tidak boleh takut untuk mengatakan kebenaran.”
(SV IX, 192)

Bukan sekedar belaskasihan, melainkan keadilan

“Semoga Allah menganugerahkan rahmat yang menggerakkan hati kita untuk menolong orang-orang yang menderita, dan keyakinan bahwa dengan meringankan penderitaan mereka kita melakukan keadilan dan bukan sekedar belaskasihan!”
(SV VII, 98)

Berikan peralatan kerja

“Kalau seseorang sudah cukup kuat untuk bekerja, maka belikan segera untuk dia peralatan untuk bekerja dan jangan diberi apa-apa lagi. Sebab uang derma bukan untuk mereka yang dapat bekerja, melainkan hanya untuk orang-orang yang sakit parah, para yatim piatu, dan para jompo.”
(SV IV, 183 – 26 April 1651)

Perlu perencanaan dan koordinasi

“Cinta kasih menjadi kurang efektif, karena kurang terencana. Orang-orang miskin sering menderita bukan karena tidak ada yang sanggup menolong, melainkan karena tidak ada koordinasi.”
(SV XIII, 423)

Bukan hanya afektif, tetapi juga efektif

“Kasih terhadap orang miskin itu bukan hanya dengan lembut, tetapi juga harus efektif… melayani orang miskin dengan efektif.”
(SV IX, 593)

Kebutuhan jasmani dan rohani, dengan kata dan perbuatan

“Jika di antara kita ada yang berpikir bahwa tugas kita hanya untuk mewartakan injil kepada kaum miskin, dan bukan untuk meringankan penderitaan mereka, hanya untuk memenuhi kebutuhan rohani dan bukan kebutuhan jasmani mereka, maka saya menegaskan bahwa kita harus menolong mereka dan memastikan bahwa mereka ditolong dengan segala cara, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang-orang lain… Melakukan hal ini berarti mewartakan injil baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan-perbuatan. Inilah cara yang paling sempurna.”
(SV XII, 87)

Dituntun melalui penderitaan

Semua jiwa yang telah diantar oleh Allah kepada kesucian, telah dituntun melalui penderitaan-penderitaan; dan Yesus sendiri, yang paling suci di antara semua orang suci, telah menghendaki melewati penderitaan-penderitaan.
(DBSV V, 234)

Ya Penyelamatku...

Ya Penyelamatku, Engkau, yang adalah kebijaksanaan yang tak tercipta, telah menerima dan merangkul kelemahan kami, kekacauan-kekacauan kami, kehinaan dan kenistaan kami, kecuali kebodohan dan dosa.
(DBSV V, 28)

Yesus tidak menghindari kematian

Begitu banyak orang yang tidak mau memanfaatkan dengan baik kematian dan sengsara Tuhan Yesus. Oh Yesus yang manis dan penuh belas kasihan, Engkau mengamati bahwa di antara manusia, bagian paling besar tidak peduli. Tetapi Engkau tidak menghindari kematian, meskipun Engkau melihat jumlah besar orang yang tak percaya itu tidak menghargainya dan jumlah besar di antara kami meremehkan dan menginjak-injak darah-Mu yang demikian berharga.
(DBSV V, 296)

Jati diri Kristus

Pada saat sengsara-Nya Putera Allah hampir kehilangan rupa manusia dan menurut pandangan orang-orang kafir Dia tampak sebagai orang gila, dan menurut pandangan orang Yahudi sebagai batu sandungan; namun demikian Dia menyebut diri-Nya pewarta injil kepada orang-orang miskin: Evangelizare pauperibus misit me.
(DBSV V, 40)

Mencurahkan hidup demi mengabdi Tuhan

“Berbahagialah mereka yang mencurahkan seluruh hidup demi pengabdian kepada Tuhan kita Yesus Kristus, seperti Dia juga telah mencurahkan hidup-Nya demi keselamatan manusia.”
(DBSV I, 182 – SV VII, 131 – 19 April 1658)

Menguasai mulut

“Para Pujangga Gereja yang suci mengatakan bahwa seorang yang berniat mengejar keutamaan-keutamaan, sebagai langkah pertama harus berusaha menguasai mulutnya.”
(DBSV V, 12)

Bila tergoda menjadi sombong

“Bila tergoda untuk menjadi sombong, kita harus menolaknya… dengan tindakan kerendahan hati dalam batin kita, atau dengan mengangkat hati kepada Allah sambil mohon keutamaan itu kepada-Nya, atau dengan mempersembahkan kepada-Nya apa yang sedang kita lakukan.”
(DBSV V, 37)

Berjiwa kristiani

“Tidak ada yang lebih berjiwa kristiani daripada pergi dari desa ke desa untuk menolong masyarakat miskin dalam usaha mencari keselamatan.”
(DBSV V, 1)

Kita hanyalah perantara

“Kemampuan yang kita miliki… maupun talenta-talenta lahiriah lain yang terdapat dalam diri kita bukanlah anugerah untuk diri kita sendiri. Kita hanyalah perantara.”
(DBSV V, 77)

Allah mencari orang dari segala macam status

“Allah tidak bersikap memilih-milih terhadap orang-orang, tetapi berkat kebaikan-Nya yang tak terhingga Dia mencari bagi Diri-Nya orang-orang dari segala macam status, asal orangnya memang dipandang sebagai orang yang baik oleh-Nya.”
(DBSV V, 23)

Seorang misionaris sejati

“Seorang misionaris sejati tak perlu memusingkan diri mengenai harta dunia, melainkan harus menyerahkan segala kekhawatirannya pada Penyelenggaraan Tuhan.”
(DBSV V, 50)

Cara hidup misionaris

“Cara hidup para misionaris merupakan cara hidup yang sesuai dengan amanat Injil, yaitu meninggalkan dan melepaskan segala-galanya, seperti para rasul, untuk mengikuti Yesus Kristus dan melakukan sesuai dengan teladan-Nya apa yang baik.”
(DBSV V, 1)

Mata yang kotor

“Mereka yang mempunyai mata yang kotor melihat segalanya kotor. Demikian pula terjadi bagi mereka yang cenderung mencela segalanya.”
(DBSV V, 167)

Memperingatkan orang secara pribadi

“Jangan sama sekali berbicara di depan umum mengenai kesalahan dan kelemahan orang lain. Kalau peringatan dinilai berguna, hendaknya dilakukan secara pribadi, dan dengan sikap yang sedapat mungkin penuh kasih dan kelembutan.”
(DBSV V, 140)

Bersungut-sungut bertentangan dengan kasih

“Hendaknya kita menjaga diri dari sikap bersungut-sungut, yang bertentangan sepenuhnya dengan semangat kasih, yang mempersatukan hati orang-orang dengan kehangatan dan keramahan.”
(DBSV V, 147)

Menghindari sikap angkuh

“Seperti orang melarikan diri dari api, demikian pula kita harus lari dari perasaan yang muncul karena sanjungan-sanjungan dan dari sikap angkuh.”
(DBSV V, 158)

Hasrat yang tidak wajar untuk maju

“Tindakan-tindakan yang menyakitkan hati kita pada umumnya bersumber dari hasrat yang tidak wajar untuk maju, dari cinta diri dan dari kebodohan…, karena adanya niat untuk mencapai tingkat keutamaan yang menonjol hanya dengan satu langkah.”
(DBSV V, 284)

Jangan terkejut bila mengalami godaan-godaan

“Semakin kita maju dalam keutamaan, maka semakin perlu kita membuka diri untuk mengalami godaan-godaan yang semakin banyak. Tak perlu merasa terkejut bila kita digoda.”
(DBSV V, 200 – 1645)

Gugur dalam pelayanan kasih

“Berbahagialah jiwa-jiwa yang telah gugur dalam pelayanan kasih.”
(SV VII, 233 – 10 Agustus 1658)

Berbahagialah yang mengabdi Kristus

“Sungguh berbahagialah mereka yang mencurahkan seluruh hidup demi pengabdian kepada Tuhan kita Yesus Kristus, seperti Dia juga telah mencurahkan hidup-Nya demi keselamatan manusia.”
(SV VII, 131 – 19 April 1658)

Evangelizare pauperibus misit me Dominus

“Oh! Betapa bahagianya mereka yang pada saat kematian dapat mengucapkan kata-kata Tuhan Yesus yang indah ini: Evangelizare pauperibus misit me Dominus!”
(DBSV V, 183 – 25 Oktober 1643)

Tugas misi

“Berkarya demi keselamatan orang-orang miskin... merupakan unsur pokok dari panggilan tugas kita, dan semua yang lain hanyalah tambahan belaka.”
(DBSV V, 181 – 25 Oktober 1643)

Belajar secara wajar

“Hendaknya belajar secara wajar, hanya terdorong oleh keinginan untuk memperoleh pengetahuan yang berguna bagi kita sesuai dengan status kita.”
(DBSV V, 174)

Kasih dan pengetahuan harus berjalan seiring

“Hendaknya belajar dengan cara tertentu sehingga kasih dapat mengimbangi pengetahuan; … dengan cara itu mencapai kesucian dan pengetahuan yang kokoh.”
(DBSV V, 175)

Murid-murid-Nya orang-orang kasar

“Yesus ternyata memilih sebagai murid-murid-Nya orang-orang kasar yang tidak luput dari kelemahan-kelemahan, supaya dengan demikian Yesus bisa mengamalkan keramahan, kerendahan hati, dan kesabaran.”
(SV VII, 137 – 1 Mei 1658)

Mutu seseorang

“Mutu seseorang tidak dapat dinilai pada saat pertobatan atau beberapa waktu sesudahnya, melainkan pada waktu dia mengalami godaan atau penderitaan.”
(DBSV V, 136)

Musibah dan berkat

“Musibah manapun akan menjadi sumber sukacita dan berkat bagi kita, bila kita menerimanya dari tangan Tuhan.”
(SV VII, 252 – September 1658)

Tunduk kepada kehendak Allah

“Kalian harus tunduk kepada kehendak Allah dan merasa damai, dengan harapan bahwa segalanya akan berjalan dengan baik. Karena biasanya karya Allah akan memperoleh hasil yang baik justru dalam hal yang tak memberi kepuasan kepada kita.”
(SV VIII, 317 – 9 Juli 1660)

Menghadapi fitnah dan penghinaan

“Sang Penyelamat sendiri telah dicaci-maki, telah dipersalahkan dan dicela secara tidak adil. Mengapa kita mau mengeluh kalau mendapat perlakuan yang sama? Pasrahkanlah diri kepada kebaikan Allah yang tak terhingga itu, dan jangan cemas, pasti Dia akan memberi kekuatan untuk menghadapi segala percobaan.”
(SV VIII, 205-206 – 20 Desember 1659)

Tidak melakukan apa-apa kecuali mengasihi

“Sungguh baik kalau kita tidak melakukan apa-apa kecuali mengasihi! Dengan demikian kita melakukan sekaligus segala keutamaan dan menyatu dengan Yesus Kristus, sambil bekerja sama dengan Dia demi keselamatan dan penghiburan orang-orang miskin.”
(SV VIII, 162 – 8 Nopember 1659)

Hendaknya menghayati simplisitas

“Hendaknya kita menghayati keutamaan simplisitas, karena bila ada simplisitas disitu dapat ditemukan Allah, yang adalah simplisitas itu sendiri, esa secara sempurna.”
(DBSV V, 36)

Mengatakan kebenaran

Simplisitas [=kesederhanaan, ketulusan, kejujuran, kepolosan, kelurusan hati], "pertama-tama berarti mengatakan kebenaran.”
(SV XII, 172 – 14 Maret 1659)

Tuhan kita tinggal dalam orang-orang miskin

“Hendaknya anda melayani orang-orang miskin sebagai majikan anda, karena Tuhan kita tinggal dalam mereka, dan mereka dalam Tuhan kita.”
(SV XIII, 540 – 1641)

Mencari yang paling miskin dan terlantar

"Marilah kita pergi dan membaktikan diri kita dengan cinta yang baru, yaitu untuk melayani orang-orang miskin, dan bahkan mencari yang paling miskin dan terlantar."
(SV XI, 393 - Januari 1657)

Orang miskin mewakili pribadi Tuhan kita

“Inilah alasan yang membuat anda harus melayani orang-orang miskin dengan hormat, sebagai majikan anda, dan dengan bakti, yaitu bahwa mereka mewakili pribadi Tuhan kita, yang berkata: Apapun yang engkau lakukan untuk salah seorang saudaraku yang paling hina ini, engkau lakukan untuk aku.”
(SV X, 332 – 11 Nopember 1657)

Berkhotbah bagi diri sendiri

“Doa adalah khotbah bagi diri sendiri.”
(DBSV V, 114)

Satu kata dari Allah jauh lebih berguna

“Hendaknya kita mengangkat hati kepada Allah dan mendengarkan-Nya, karena satu kata yang kita terima dari Allah lebih berguna daripada seribu argumentasi dan semua perhitungan akal kita.”
(DBSV V, 114)

Terbuka untuk menerima yang dari Allah

“Yang dapat menguntungkan kita hanyalah apa yang diilhamkan oleh Allah dan yang berasal dari Dia.”
(DBSV V, 114)

Membuat niat-niat baik

“Inilah salah satu bagian penting, malah yang terpenting, dari meditasi, yaitu menentukan niat-niat yang baik.”
(DBSV V, 118)

Vinsensisana.blogspot.com

PRAYER TO OUR LADY OF THE SACRED HEART


Remember,
Our Lady of the Sacred Heart,
the great things the Lord has done for you.
He chose you for his Mother.
He wanted you close to his cross.
He gives you a share in his glory.
He listens to your prayer.
Offer him our prayers of praise and thanksgiving;
present our petitions to him.
Let us live like you
in the love of your Son
that his Kingdom may come.
Lead all men
to the source of living water
that flows from his heart,
spreading over the world
hope and salvation
justice and peace.
See our trust in you;
answer our prayer.
Show yourself always our Mother.
Amen.

Senin, 09 November 2009

Mengapa Kongregasi Kita Memilih Bunda Hati Kudus

Mgr.Schaepman, pendiri tarekat

Kongregasi para frater Bunda Hati Kudus didirikan oleh uskup agung Utrecht, Mgr.Andreas Ignasius Schaepman. Moto: In Solicitudine et Simplicitate (dalam keprihatinan dan kesederhanaan).
Beliau lahir di Zwolle pada tanggal 4 September 1815. Setelah ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1838 beliau mula-mula bertugas sebagai pastor pembantu di Zwolle, lalu menjadi pastor paroki berturut-turut di Ommerschans, Assen dan Zwolle.
Ketika pada tahun 1853 hirarki keuskupan ditegakkan kembali, Mgr.Zwijsen diangkap menjadi uskup agung Utrecht sekaligus uskup den Bosch. Tetapi beliau tinggal di den Bosch.
Pada tahun 1857 Mgr.Zwijsen mengangkat pastor Schaepman menjadi rektor seminari yang bakal didirikan di Rijsenburg. Tahun 1860 Schaepman menjadi plebaan (pastor paroki katedral) di Utrecht dan uskup koajutor dari uskup agung Zwijsen. Pada tahun yang sama ia ditahbiskan menjadi uskup. Tanggal 4 Februari 1868 ia menggantikan Mgr.Zwijsen sebagai uskup agung di Utrecht. Ia meninggal pada tanggal 19 September 1882.
Schaepman adalah seorang yang praktis. Ia berusaha memecahkan problem-problem yang sedang ia hadapi. Ia merasa prihatin dengan kaum miskin. Jauh sebelum ketimpangan sosial menjadi fokus perhatian masyarakat pada umumnya, ia sudah mencoba mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan kaum miskin. Setelah diangkap menjadi uskup ia banyak menaruh perhatian dalam bidang pengajaran.
Mulai tahun 1848 undang-undang dasar menjamin kebebasan pengajaran. Pengajaran berdasarkan aliran agama tertentu diperbolehkan, tetapi subsidi pemerintah tetap hanya diberikan kepada sekolah-sekolah negeri.
Sekitar tahun 1870 di provinsi-provinsi utara Nederland sudah ada beberapa tarekat suster yang bermisi dalam pendidikan para pemudi, tetapi belum ada tarekat yang mengelola pendidikan para pemuda.
Untuk mengisi kekurangan inilah Mgr.Schaepman mengambil inisiatif untuk mendirikan suatu tarekat bruder.
Ia meminta nasihat Mgr.Zwijsen yang pada tahun 1844 telah mendirikan tarekat para frater CMM (tarekat Santa Perawan Maria, Bunda yang berbelaskasih) di Tilburg.
Sebutan ‘frater’
Agar dapat meneruskan tradisi historis ini, Schaepman kemudian memutuskan banhwa para anggota tarekat yang akal didirikannya akan memakai sebutan ‘frater’. Jadi berbeda dengan tarekat lain pada umumnya yang menggunakan sebutan ‘bruder’.
Para anggota tarekat Broeders van het Gemene Leven (kehidupan bersama) sewaktu hidupnya Geert Grote, yaitu dalam abad ke-14 juga memakai sebutan ‘frater’. Sewaktu tarekat ini berjaya, banyak yang dikerjakan demi pendidikan katolik di Nederland Utara.

Tarekat Frater Bunda Hati Kudus

Mgr.Schaepman mempersembahkan tarekat yang ia dirikan kepada Bunda Maria dengan nama “Bunda Hati Kudus”. Waktu itu devosi kepada Bunda Hati Kudus masih merupakan sesuatu yang baru yang pada waktu itu lebih dikenal dengan gelar ‘Harapan Orang-orang Putus Asa’. Promotor utama gerakan ini adalah pendiri para Misionaris Hati Kudus, yaitu Pere Chevalier. Devosi ini meluas dari Issoudun-Perancis. Di Nederland basilik di Sittard dipersembahkan kepada Bunda Hati Kudus.

Dari konstitusi ke konstitusi

Mula-mula tarekat frater BHK tidak mempunyai buku peraturan sendiri yang menggariskan sikap hidup kerasulan menurut ketiga kaul. Pada saat-saat tertentu dipakailah Peraturan Tarekat CMM dengan penyesuaian sana-sini. Dengan persetujuan pendiri, Peraturan yang disesuaikan ini lalu dicetak dan pada tahun 1878 dikukuhkan olehnya. Di samping Peraturan ada pula Konstitusi yang mencantumkan hal-hal yang berkaitan dengan kepengurusan.
Pada tahun 1893, 1919, 1936 dan 1952 Peraturan dan Konstitusi diterbitkan kembali tanpa perubahan yang berarti.
Dalam kapitel tahun 1960 pengurus mengajukan rancangan konstitusi baru. Selanjutnya Peraturan dan Konstitusi digabung menjadi satu: Konstitusi.
Pada tahun 1967 terbitlah Konstitusi yang telah diolah kembali, dengan persetujuan Uskup Agung Utrecht.
Sementara itu Konsili Vatikan II telah berlangsung. Semua Tarekat diminta untuk merenungkan isi kehidupan religius. Mereka ditugaskan untuk menyesuaikan Konstitusi dengan garis-garis haluan kongkret yang diterbitkan pada tahun 1966.
Demikianlah akhirnya terwujud Konstitusi yang sama sekali baru, yang diolah berdasarkan Kitab Hukum Kanonik yang terbit pada tahun 1983. Pada tahun 1992 Uskup Agung Utrecht, Adrianus Kardinal Simonis, menyetujui Konstitusi ini.
Dari penelitian yang saya lakukan terhadap konstitusi dari satu ke yang lain, ada hal yang menunjukkan hubungan yang sangat erat antara devosi kepada Hati Kudus Yesus dengan penghormatan kepada Maria Bunda Hati Kudus.
Konstitusi 1918
Art.74
Buah ilahi kepada Santa Perawan Tersuci Maria harus dihargai secara khusus oleh semua anggota kongregasi. Konggregasi sendiri bahkan ditempatkan secara khusus di bawah perlindungan S.P.Maria Bunda Hati Kudus… Setiap anggota menyandang nama maria dan hal ini dikaitkan dengan pembaktian secara khusus kepadanya. Sebagai anak-anak yang tulus, para frater harus berusaha keras meniru teladannya, menghormati Ibu mereka dan menjelmakan kekuasaan-kekuasaannya.
Para frater akan selalu menghidupkan buah-buah ilahi yang telah diserahkan kepada Ibu mereka dan juga bersyukur kepada Allah, yang telah memanggil mereka bukan karena jasa mereka, di mana Perawan Maria menjadi Ibu mereka.
Mereka akan mengembangkannya sendiri dan bahwa wajib menyebarluaskan buah-buah ilahi yang telah diserahkan kepada Perawan tersuci, terutama kepada anak-anak dan orang lain yang dipercayakan kepada mereka.
Art.76
Dalam doa dan latihan rohani, kongregasi wajibmenghormati secara lebih khusus Santa Perawan, mewujudkan doa harian dengan ofisi singkat Santa Perawan Maria pada tempat utama…
Art.80
Menghadiri Misa menurut St.Fransiskus dari Sales adalah “matahari segala devosi”. Maka para frater harus mengutamakannya dan dapat mempersembahkan persembahan setiap hari, yang tidak lain adalah melanjutkan persembahan di salib… Yesus mengikutsertakan kita dalam penerimaan rahmat-rahmat, yang telah Ia berikan melalui wafat-Nya.
Konstitusi 1936
Masih menempatkan artikel-artikel tersebut pada tempat yang sama.
Konstitusi 1952
Art.104
Para frater akan berusaha membangun dan memperluas devosi keselamatan kepada Hati Yesus yang Mahakudus baik bagi diri sendiri mau pun di tengah para murid.
Setiap Jum’at pertama dalam bulan para frater menyambut komuni untuk menghormati Hati Kudus Yesus, demi pemulihan kehormatan Penyelamat Ilahi di dalam sakramen kasih, yang telah dirusak oleh musuh-musuh-Nya.
Art.105
Maria Perawan Tersuci dan Bunda Allah adalah Pelindung Kongregasi dengan gelar Maria Bunda Hati Kudus.
Buah ilahi kepada Perawan tersuci harus dihargai secara khusus oleh semua frater.
Mereka akan menyebarluaskan buah-buah ilahi tersebut, terutama kepada para murid dan orang-orang lain yang dipercayakan kepada mereka.
Pesta Bunda Hati Kudus akan dipersiapkan melalui novena komunitas dan akan dirayakan dengan cara istimewa di dalam kongregasi.
Konstitusi 1967
Art.41
Isinya sama dengan Konstitusi 1952 art.105.
Konstitusi 1992
Art.6
Maria adalah pelindung persekutuan kita dengan gelar: Bunda Hati Kudus. Ia menunjukkan kepada kita Puteranya Yesus, yang lembut dan rendah hati, yang menganugerahkan ketenangan dan kelegaan kepada orang yang letih lesu dan berbeban berat yang pergi kepada-Nya.
Selanjutnya ada sesuatu yang baru dalam konstitusi ini, yang tidak pernah ada sebelumnya, yaitu secara panjang lebar disampaikan kepada kita dalam bagian spiritual konstitusi 2 bab penting untuk mendalami misteri Hati Yesus dan peran Maria sebagai pelindung tarekat. Kedua bab tersebut masing-masing berjudul:
Bab 2: Sehati dan sejiwa dalam mengikuti jejak Yesus dari Nasaret (art.10-15).
Bab 4: Diilhami oleh kehidupan Maria (art.45-52).
Catatan akhir
Dari uraian singkat di atas saya mencoba untuk menarik benang merahnya. Pada awalnya pendiri tarekat mempersembahkan tarekat yang ia dirikan ini di bawah naungan Maria, Bunda Hati Kudus Harapan Orang-orang Putus Asa, karena memang demikianlah keadaan Gereja di Nederland pada waktu itu. Persembahan ini diwujudkan dalam pernyataan-pernyataan dari konstitusi ke konstitusi bagaimana devosi kepada Bunda Maria harus mendapat tempat utama dalam tarekat.
Konsili Vatikan II menantang para religius untuk mengubah kebiasaan devosi ini menjadi suatu spiritualitas, suatu semangat yang tidak hanya diungkapkan lewat doa-doa saja tetapi lebih menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri. Sebab itulah dalam konstitusi paling akhir (1992) kaitan erat antara Maria dan Yesus mendapat sorotan secara panjang lebar dalam 2 bab, yang sebelumnya tidak pernah muncul.
Dengan demikian mau dikatakan bahwa menjadi seorang frater BHK berarti:
1. Hidup sehati-sejiwa dalam mengikuti jejak Yesus dari Nasaret.
2. Hidup dengan diilhami oleh kehidupan Maria.

Semoga pertemuan ini menghasilkan suatu penyadaran bagi kita semua.
Malang, 20 Desember 2008
Fr. Frans Hardjosetiko