Jumat, 01 Oktober 2010

KEGIATAN NOVISIAT FRATER BUNDA HATI KUDUS















MARIA BUNDA HATI KUDUS DALAM PERSPEKTIF KEUTAMAAN KONGREGASI cinta kasih, kesederhanaan, ketaatan, dan ingkar diri)

Para frater secara historis dan dari waktu ke waktu mewariskan keutamaan khas kongregasi, yakni sebagai penanda setiap frater BHK. Keutamaan tersebut adalah cinta kasih, kesederhanaan, ketaatan dan ingkar diri (konst. ps. 69). Keempat keutamaan tersebut menjadi wujud penghayatan konkret hidup rohani dari ciri khas sebagai frater agar menjadikan mereka sanggup mendekati orang miskin. Melalui keutamaan tersebut pula, orang miskin dapat merasa diakui, dihargai, dicintai di tengah-tengak kita sebagai frater. Hidup Maria Bunda Hati Kudus sangat mewarnai dan menjadi inspirasi dalam menampilkan ciri khas kongregasi terutama berkaitan dengan upaya hadir dan melayani orang miskin.


1) Bunda Hati Kudus menampilkan cinta kasih Allah secara manusiawi

Cinta kasih sebagai keutamaan teologal yang menjadi keutamaan kristiani yang perlu dihayati oleh setiap umat kristiani. Melalui cinta kasih pula, para frater diundang untuk menjadi saksi cinta kasih Allah untuk setiap orang. Melalui usaha belas kasih kita, setiap pribadi diajak untuk mengalami kebaikan Allah sendiri (konst. ps. 70). Maria sungguh menampilkan cinta kebaikan Allah secara manusiawi. Dimensi keibuan Maria menunjukkan betapa Ia membagi hidupnya semata-mata demi terwujudnya kehendakNya. KehendakNya tiada lain adalah semua orang mengalami cintaNya. Dan Maria mewujudkan itu dalam sikap dan tindakan kemanusiawiannya (bdk. konst ps.48).

Cinta kasih yang ditunjukkan Maria secara manusiawi bersifat mengabdi. Totalitas pengabdian Maria merupakan perwujudan cintanya kepada Bapa yang berkehendak atas hidupnya. Cinta kasih yang total dalam pengabdian Maria mengajarkan kepada kita akan arti cinta kasih yang amat mendalam. Cinta kasih yang sejati adalah bukanlah kita yang telah mengasihi, melainkan Allahlah yang lebih dahulu mengasihi kita (bdk 1 Yoh 4:10.19). Kita akan sungguh sanggup mengasihi orang lain terlebih mereka yang membutuhkan kalau kita sendiri sungguh merasa “dikasihi”. Cinta kasih yang ditunjukkan Maria secara manusiawi itu bersifat “mengabdi” (bdk Konst ps. 45.47-48). Dimensi keibuan Maria yang mengabdi Allah dalam Yesus terwujud secara konkret dalam hidup eksistensial di tengah masyarakat. Bersama Maria, kita diundang juga mewujudkan cinta kasih Allah secara manusiawi dan konkret bisa dialami orang lain. Sebagaimana Muder Teresa sendiri juga menghayati, ”kasih yang mendalam adalah ketika mengasihi saudara kita sampai terasa sakit.” Bila kita sungguh-sungguh mengasihi secara demikian seperti halnya Maria, maka kita boleh yakin sebagaimana keyakinan Rasul Paulus bahwa Allah turut bekerja bersama kita (Rm 8:28).

Setiap frater perlu mengusahakan penghayatan cinta kasih ini dalam hidup harian konkret. Selain sebagai seorang beriman kristiani, sebagai putra Maria kita seperti halnya Maria diundang untuk mewujudkan cinta kasih itu secara riil. Cinta kasih itu harus afektif sekaligus efektif. Hal ini berarti setiap frater senantiasa diundang untuk membangun cinta kasih itu lewat relasi personal dengan sumber kasih, namun sekaligus mewujudkan kepada mereka yang paling membutuhkan. Ukuran cinta kasih kita sungguh nyata, nampak pada sejauhmana cinta kasih itu sungguh terasa dialami secara konkret dalam hidup mereka yang sungguh membutuhkan. Tidak jarang kita hanya berhenti pada cinta kasih yang afektif dan kurang berani mewujudkan secara efektif dalam hidup mereka yang paling membutuhkan. Bila sungguh mencintai Allah seperti halnya Maria Bunda Kudus, kita akan boleh merasakan pengalaman yang disampaikan Rasul Paulus,"Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Kor 2:9)


2) Bunda Hati Kudus teladan kesederhanaan hati

Kesederhanaan merupakan keutamaan kongregasi yang menjadi penanda sejak awal. Pendiri sendiri menjadikan kesederhanaan sebagai keutamaannya dalam menggembalakan umat. Semboyannya “In Sollicitudine et Simplicitate” - dalam kepedulian dan kesederhanaan; mencerminkan gerak hatinya akan keutamaan tersebut. Dengan sederhana, setiap frater akan mampu memahami secara mendalam apa yang kiranya menjadi yang utama dan mengarahkan diri kepada yang utama itu. Dalam pengalaman awali kongregasi, semangat kesederhanaan sungguh dijaga dalam hidup harian, terutama dalam semangat dan penggunaan sarana-sarana dalam komunitas. Sederhana atau simplicity dapat diartikan sebagai merupakan hati yang terarah hanya kepada Allah. Hati yang terarah kepada Allah tiada lain adalah hati yang murni, tulus, jujur, lurus tidak belok-belok. St. Vinsensius menyatakan “Simplisitas [=kesederhanaan, ketulusan, kejujuran, kepolosan, kelurusan hati], "pertama-tama berarti mengatakan kebenaran. “Kelurusan hati berarti… mengerjakan segala sesuatu demi kasih akan Allah.”(SV XII, 302) “Kelurusan hati mengantarkan kita langsung kepada Allah dan kepada kebenaran, tanpa berliku-liku dan tanpa sikap sembunyi-sembunyi”(DBSV. V, 36). Maka kesederhanaan kerap disimbolkan dengan merpati atau anak kecil. Dalam arti ini, kita dan seluruh hidup kita terarah kepada Dia semata. Dalam arti ini, kesederhanaan tidak sekedar persoalan materi makan sedikit, tidur sedikit, pakaian seadanya. Pertama-tama, kesederhanaan merupakan sikap batin kita yang terarah pada Dia. Dengan sikap batin ini, orang menjadi sanggup membedakan mana yang pokok dan mendasar dengan mana yang sifatnya semu dalam hidup. Dengan sikap batin ini pula seseorang mampu membangun kesadaran akan kenyataan diri dan di luar dirinya.

Maria memiliki kesederhanaan hati yang mengungkapkan cinta dan kebaikan Allah (konst. Ps. 52). Relasi yang mendalam Maria dengan Allah menjadikan hatinya terbentuk sehingga hidupnya penuh terarah hanya kepada Allah. Maka jawaban “ya” yang lahir dari proses masuk ke dalam hatinya, sungguh menjadi cerminan kesederhanaan hatinya yang memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi terlaksananya karya Allah dalam hidupnya. Yesus sendiri menyatakan siapa yang layak menerima kerajaan Allah adalah mereka yang memiliki “hati” sederhana seperti anak kecil (bdk. 18:1-10). Maria layak menjadi pribadi yang terbesar dalam kerajaan Allah sebagaimana yang telah dinyatakan Yesus. Hidup Maria hanya semata-mata untuk Allah dan mendampingi Yesus dalam mewujudkan karya keselamatan.

Setiap frater senantiasa diundang untuk menjadi pribadi yang sederhana. Dengan belajar dari hidup Maria yang memiliki hati yang sederhana, kita dimampukan untuk membangun komitmen mewujudkan kesederhanaan dalam hidup. Dengan sederhana, kita diharapkan untuk selalu mengarahkan diri kepada Tuhan, mengejar kebaikan setulus mungkin (bdk. Konst. ps.73) Roh kesederhanaan kiranya merasuki juga penghayatan karya perutusan dan kepemimpinan. Dengannya kita akan mampu memberikan harapan, mendekati, memberikan inspirasi, dan memberikan kepercayaan kepada mereka yang kita pimpin dan layani (yang miskin). Kita perlu sadar bahwa penghayatan kesederhanaan untuk jamn ini serasa berat dan tak mungkin. Kita seperti dipacu untuk bersaing bahkan tidak jarang kita mengedepankan ambisi-ambisi egoistis. Bila kita mengalami demikian, kita dituntun untuk senantiasa bertobat dan belajar dari Bunda Hati Kudus yang dengan sederhanaanya menyusuri dinamika hidupnya.


3) Bunda Hati Kudus adalah pribadi yang taat akan kehendak Allah

Obidience (ketaatan) mempunyai akar kata Latin audiere yang berarti mendengarkan. “Mendengarkan” bukan bukanlah sikap pasif melainkan sikap aktif untuk melaksanakan sesuatu. Jawaban Maria atas kabar gembira yang diterimanya dari malaikat,”aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu”(Luk 1:38), menunjukkan ketaatannya akan kehendak Allah. Maria konsekuen terhadap konsekuensi dari jawabannya itu. Ia menyanggupkan diri secara total dan sempurna atas ketaatannya itu. Kesanggupaannya itu ia buktikan sampai titik/saat terakhir dalam hidup Puteranya, khususnya pada saat memangku jenazah Yesus. Dalam kesunyian batin, Maria tetap taat dan menyatakan “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” walaupun dalam hati dan tak terucapkan. Seluruh hidupnya adalah demi terwujudnya kehendak Allah. Keutamaan inilah yang kelak juga mewarnai hidup Puteranya yang juga taat kepada kehendak Bapa (bdk. Mat 26:39).

Para frater senantiasa bersama Maria, diundang untuk sanggup mendengarkan “suara” Allah,

persekutuan dan sesama kita (Bdk Konst. ps.6). Bunda Maria mengajak kita untuk berani mempercayakan hidup kita kepada Allah sebagai wujud ketaatan kita (bdk. konst. Ps.29). Sebagai putra-putra Maria Bunda Hati Kudus, patutlah kita meneruskan/mengembangkan keutamaan ini sebagaimana Bunda Maria dan Yesus pun menghayati hal yang sama. Ukuran ketaatan kita secara nyata dapat dilihat pada sejauhmana kita terlibat dalam hidup sesama kita terutama mereka yang sulit memperoleh hak mereka (bdk. Konst. ps 20). Hidup kita merupakan hidup yang dibaktikan kepada Allah. Kehendak Allah dinyatakan lewat suara pimpinan. Kita akan mendengarkan secara aktif dan mengambil bagian dalam keputusan itu. Karena itulah konsekuensi dari keputusan kita. Kita menaruh kepercayaan kepada atasan yang memimpin kita. Kita diundang untuk taat seperti Maria dan Yesus, sehingga kita pun dapat melambungkan madah penuh iman,”sungguh, Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu” (Ibr 10:9).


4) Bunda Hati Kudus: sedia untuk ingkar diri demi kehendak Allah

”Setiap orang yang mau mengikui Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan

mengikuti Aku”

(Mat 16:24).

Prasyarat sebagai murid yang mengikuti Yesus telah dipenuhi secara total oleh Maria. Teks Matius 16:24 yang menyajikan tiga syarat menjadi murid telah menjadi bagian hidup yang telah dijalani Maria. Menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus telah dipenuhinya. Maka tidaklah heran Maria dapat disebut sebagai murid yang paling agung. Undangan Yesus yang menyatakan,”Ikutlah Aku” (bdk. Mat 4:19; 8:22; 9:9; 19:21), telah dipenuhi Maria. Ketiga syarat yang diajukan Yesus merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling mengandaikan satu dengan yang lain. Mengikuti Yesus namun tidak dengan memikul salib tidak layak menjadi murid, karena murid demikian bukanlah murid yang setia pada jalan gurunya. Memikul salib tanpa ada kesediaan untuk menyangkal diri tidaklah mungkin. Hanya orang-orang yang sanggup menyangkal dirilah yang sanggup memikul salib. Singkatnya, menyangkal diri menjadi jalan awali yang perlu ditempuh bagi siapapun yang ingin menjadi murid. Bunda Hati Kudus menyadarkan setiap frater untuk menjadikan ingkar diri sebagai way of life dalam meniti panggilan sebagai religius.

Dalam hidup Maria sejak perkandungannya sampai akhir hidupnya, dipenuhi dengan keutamaan ingkar diri yang mendalam. Keagungan Maria tidak semata-mata karena diperkenankan mengandung Yesus Putera Allah; secara pasif. Melainkan, Maria sungguh mengupayakan diri dan seluruh hidupnya agar pantas di hadapan-Nya. Jalan kemuridan yang ditempuhnya adalah ingkar diri. Karya keselamatan terwujud berkat ingkar diri Maria yang menyatakan hamba di hadapan Tuhan yang maha agung, dan tidak menonjolkan dirinya. Dengan ingkar diri inilah Maria menjadi pribadi yang rendah hati di hadapan Allah. Tujuan ingkar diri itu sendiri adalah untuk mencintai Allah, untuk menyesuaikan keputusan kita pada Allah, menyerahkan kehendak kita kepada Dia yang harus kita taati. Ingkar diri inilah yang juga menjadikan Maria semakin bebas menjalani panggilannya sebagai Bunda dari Hati Kudus. Dalam konteks ingkar diri ini kita dapat membedakan jawaban Maria atas undangan Allah (bdk Luk 1:38) dengan jawaban Zakaria yang juga menerima kabar dari malaikat Tuhan (bdk. Luk 1:18). Jawaban Maria nampak sekali unsur ingkar dirinya, karena Maria tidak menonjolkan diri, mengalahkan diri di hadapan Tuhan. Sebaliknya, jawaban Zakaria penuh diwarnai dengan ketakpercayaan, keraguan, bahkan seolah menomorsatukan dirinya (pikirannya) dengan kehendak-Nya.

Ingkar diri menjadikan Maria bebas dalam mempersembahan diri kepada kehendak-Nya. Bebas (dalam arti positif) mengandung dua makna. Makna pertama, bebas untuk memilih dan mewujudkan apa yang bernilai, khususnya yang sesuai dengan nilai adikodrati (kehendak-Nya). Kebebasan dapat disebut dengan kemampuan untuk memilih (The power of choosing). Kebebasan sejati merupakan kebebasan yang bersumber dari dalam diri seseorang, tak seorangpun sanggup menghapuskannya. Pengertian kebebasan yang keliru dan banyak dianut adalah kebebasan semaunya, bebas dari (yang membatasi), bebas memilih dan melepaskan pilihan; pindah (mirip kebebasan di dunia pasar). Sedangkan yang kedua, seseorang dapat dikatakan bebas ketika sanggup menerima segala hal yang sulit kita hindari/tolak. Kita dapat menemukan dan mengalami banyak dalam dinamika hidup ini yang tidak bisa kita hindari dan tolak. Keutamaan yang diminta hanya kemampuan “menerima”-nya. Makna kedua ini juga yang kerap belum dimengerti banyak orang. Kerap kali kita menghindari segala hal kalau hal-hal itu menjadikan kita gelisah, susah, menderita dsb. Maria sungguh-sungguh mengalami kedua makna kebebasan tersebut. Setiap pengalaman manusiawinya terutama dalam hubungannya dengan sang Putra, senantiasa dimasukkan dalam hatinya, dibatinkannya. Dengan ingkar diri itu pula Maria sekaligus membentuk hatinya sehingga menjadi relung terdalam tempat dimana dalam dirinya, Allah dan kehendaknya senantiasa ditemukan.

Para frater diundang untuk senantiasa menimba inspirasi dari kekuatan ingkar diri Maria Bunda Hati Kudus. Undangan ini sungguh penting mengingat konteks hidup kita sekarang justru menjadi halangan kuat untuk semakin mampu ingkar diri. Pembaktian diri kita sekarang dihadang dengan banyak hal yang menawarkan kepada kita untuk semakin egoistis dan mengisolasi diri dari hal-hal rohani. Tarikkan tersebut demikian kuat sehingga mempengaruh dinamika hidup membiara. Upaya ingkar diri sepertinya menjadi upaya yang usang dan “jadul” dan “tidak gaul”. “Hari gini.. orang masih harus ingkar diri...wah. yang lain aja deh”, mungkin ungkapan ini bisa mewakili generasi dan situasi saat ini. Bersama Bunda Hati Kudus, para frater dan kita sekalian diundang untuk membaharui kemitmen pembaktian diri kita kepada Allah dalam Yesus Kristus. Inilah kiranya yang patut diseriusi oleh para frater dan yang membaktikan diri, untuk membaharui komitmen dalam konteks kemuridan jaman ini. Misi yang paling jauh dan sulit adalah misi untuk masuk ke dalam hati kita sendiri. Berkah Dalem

MARIA BUNDA HATI KUDUS MENJADI TELADAN PANGGILAN SEORANG RELIGIUS PENDIDIK

Bunda Hati Kudus memiliki arti istimewa bagi setiap frater. Kalimat ini menjadikan saya berpikir, seistimewa apakah peran Bundaku ini dalam perjalanan panggilan sebagai religius pendidik jaman ini? Saya yakin bahwa dalam diri Maria, saya dapat menemukan pelajaran indah akan sosok pendidik yang membakar batin setiap hati dari insan-insan yang dipercayakan kepada karya kami sebagai frater. Kiranya inilah beberapa hal yang saya temukan dalam permenungan kesendirian saya bersama bunda.


Frater sebagai religius pendidik

Kongregasi Frater BHK didirikan demi pelayanan kaum muda teristimewa dalam bidang pendidikan. Setiap frater sejak awal sadar bahwa pendidikan menjadi bidang karya perutusan mereka. Sudah sejak awal, para frater kerap dipanggil dengan sebutan “Frater Guru”. Dari situasi dan konteks inilah secara nyata, bahwa para frater dapat dikatakan sebagai religius pendidik. Religius laikal yang membaktikan hidup bagi berkembangnya pendidikan anak-anak muda.


Kesucian pendidikan

Pendidikan itu suci dan luhur. Kesucian pendidikan terletak dalam usahanya untuk menghantar jiwa-jiwa muda mencapai kepenuhannya dalam Allah (bdk Yoh 10: 10). Jika setiap orang yang terlibat dalam pendidikan mengupayakan dengan keseluruhan diri dan kedalaman hati mereka, mereka telah mewujudkan kesucian dalam karya. St. Ireneus sendiri menyatakan bahwa kepenuhan hidup pribadi itu merupakan sesuatu yang luhur. Proses mendidik adalah proses “membentuk hati” naradidik yang didampingi. Maka usaha mendidik bukanlah usaha pekerjaan mencari nafkah belaka melainkan usaha yang suci dan luhur bila sungguh dipahami hakikatnya.

Mendidik yang benar dan sejati adalah mendidik dengan hati. Sebagaimana yang dikatakan St. Yohanes don Bosco “Ingatlah bahwa pendidikan adalah soal hati di mana Allah bertahta. Kita tak akan mencapai sesuatu bila Allah tidak mengajarkan seni-Nya dan menyerahkan kunci-Nya”. Mendidik itu merupakan proses mendampingi naradidik untuk dapat menemukan “guru” yang ada dalam batin mereka sendiri. Dari arti pentingnya pentingnya pendidikan, kita dapat menemukan betapa luhur dan sucinya mereka yang sungguh-sungguh terlibat dalam proses pendidikan yang mengedepankan hati.


Bunda Hati Kudus menjadi model dan teladan sebagai seorang pendidik

Bunda Hati Kudus menjadi model bagi setiap frater yang mengembangkan panggilan sebagai pendidik yang mengedepankan hati. Setiap frater BHK diundang untuk senantiasa merenungkan hidup Maria, karena dari hidupnya kita memperoleh inspirasi hidup yang kaya (konst. ps. 46). Inspirasi yang sangat relevanbagi para frater adalah seputar bagaimana menghidupi panggilannya sebagai pribadi yang mendidik Yesus yang adalah Putera Allah. Penyusun mengusulkan tiga dinamika indah hidup Maria Bunda Hati Kudus dalam perspektif sebagai pendidik. Tiga dinamika hidup tersebut adalah dari murid menjadi guru, dari guru menjadi murid dan dari murid menjadi pewarta.

1) Dari murid menjadi guru

Dinamika hidup Maria berawal dari keyakinannya sebagai “murid”. Murid adalah seorang yang memiliki hati terbuka akan segala hal yang membuatnya berkembang baik iman, kepribadian, ketrampilan dsb. Segala hal itu dapat datang dari mana saja sebab menjadi murid yang sejati adalah mereka yang sanggup menangkap masukkan yang dipandangnya bermanfaat bagi hidupnya. Peran Maria sebagai “murid” secara nyata kita temukan dalam teks awali hidup Maria, yakni ketika Maria menerima kabar dari malaikat Tuhan (bdk. Luk 1). Maria mendengarkan dengan hatinya sapaan malaikat kepadanya (Luk 1:29) yang sangat berbeda dengan cara Zakaria menerima kabar penuh keraguan dan ketakpercayaan (Luk 1:18). Maria dengan hatinya yang terbuka, memberikan ruang bagi karya Roh untuk bekerja dalam hidupnya. Seorang guru yang baik adalah mereka yang dapat menghayati peran bagaimana menjadi “murid” yang baik. Maria menunjukkan hal secara istimewa sekali.

Buah dari kemuridannya yang amat dalam adalah kesanggupannya menjadi guru bagi Yesus Sang Putra Allah. Kesanggupannya yang dinyatakannya dalam fiat dan magnifikatnya menjadikan Maria secara total menjalankan kehendak Allah yang masih suram baginya. Maria harus merawat bayi lemah yang lahir dari rahimnya yang Ia yakini betul sebagai Immanuel. Meskipun pengalaman imannya tidak bisa terima dengan daya pikir manusiawinya, Maria tetap melaksanakan apa yang menjadi fiatnya. Teks injil tidak mengisahkan masa kanak-kanak sampai usia sebelum Yesus tampil ke publik. Setelah peristiwa Yesus ditemukan di bait Allah, Yesus tinggal dalam asuhan Yusuf dan Maria di Nazareth (bdk Luk 2: 51). Itulah masa gelap (tak diketahui). Saya teringat akan masa gelap yang ada dalam hidup saya dari sharing rekan imam.

Satu kesempatan, rekan saya ini menghampiri suster yang bekerja di BKIA dekat pastoran. Ia meminta kalau ada kesempatan ibu melahirkan di BKIA, suster diminta untuk memanggil romo tersebut. Suatu kali kesempatan itu tiba. Pagi – pagi dini hari suster tsb mendatangi pastoran dan memberitahukan kalau ada seorang ibu yang baru melahirkan. Romo tsb langsung bergegas menuju BKIA dan langsung ke kamar bayi. Dia tertegun memandangi bayi yang baru lahir tersebut dan termenung. Dia baru meyakini memang bahwa Ia tidak bisa mengingat masa-masa awali itu bersama ibunya. Masa itu seperti gelap tak mampu diingat sama sekali. Perjumpaan pagi itu membuatnya tersadar akan “gelap itu” adalah masa dimana kemampuan ingatan belum berjalan. Pesan inspiratif baginya adalah ternyata Tuhan memang “menyembunyikan” masa itu. Nampaknya biasa saja, namun sebenarnya itulah saat emas dimana peran ibu sungguh amat penting. Peran mendampingi, menyertai penuh cinta dan kesabaran yang mendalam.

“Masa gelap” Maria bersama Yesus tak tersentuh banyak insan. Masa itu diisi dengan hal-hal biasa nampaknya yakni mendampingi Yesus kecil tumbuh dari waktu ke waktu. Maria menjadi “guru” bagi Yesus melalui peristiwa manusiawi biasa. Tapi bila kita sejenak melihat pengalaman romo tadi, kita akan setuju bahwa “masa gelap” itulah Maria tampil dalam kesederhanaan ibu yang mendidik dengan hatinya. Maria merajut hati Puteranya dari waktu ke waktu. Banyak pengalaman iman Maria bersama Yesus yang tidak sanggup ia pikirkan. Maria hanya menjalani proses rajutan hati yang terus-menerus yang ia usahakan. Ia menjadi guru dan pendidik Yesus yang adalah Allah tampil dalam kelemahan manusiawi di hadapan Maria. Maka tepatlah pujian yang dilambungkan orang-orang Yahudi terhadap Ibu Yesus, "Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau."(Luk 11:27). Bersama Maria, setiap kita diundang untuk mendidik dengan hati, meskipun usaha kita itu nampaknya sederhana dan tidak banyak memberikan sensasi dan prestasi besar.

2) Dari guru menjadi murid

Maria memang ibu dari Yesus yang lahir dari Roh Kudus. Selain sebagai manusia, Yesus adalah Allah sendiri yang hadir di tengah-tengah manusia. Maria sadar akan hal tersebut. Berhadapan dengan kenyataan ini, Maria hanya mampu tunduk merendahkan diri, menyelami kehendak Bapa dalam diri PuteraNya. Perikop kitab suci yang menyajikan proses dinamika tersebut adalah pada saat Yesus pertama kali tampil di depan umum melalui mukjijat pertama di Kana (bdk Yoh 2:1-12). Memang proses Maria menjadi “murid” Yesus sudah dirasakannya ketika di Bait Allah, dimana Yesus menyapaikan komentarnya ketika ibu dan bapa mencariNya (bdk Luk 2:49). Peristiwa pesta di Kana itulah Maria sungguh menyelami hati PuteraNya. Maria adalah “murid” paling pertama bagi Yesus. Dialah yang senantiasa menyertai Puteranya. Pergulatan yang berat baginya adalah pergulatan menerima dan mengikuti Yesus yang ia imani sebagai perwujudan kehendak Bapa; di saat yang sama, secara manusiawi, Ia-lah yang turut membentuk hati Puteranya. Pernyataan Yesus yang menegaskan bahwa Maria ibunya sebagai murid adalah ketika Ia dicari saudara-saudaraNya. Yesus menjawab, Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya." (Luk 8:21). Selanjutnya, Maria mengalami peristiwa – demi peristiwa yang menunjukkan betapa Ia harus belajar dari Putranya. Pendidik yang sejati adalah ketika ia sanggup menjadi guru sekaligus murid bagi naradidik yang ia dampingi.

3) Dari murid menjadi pewarta

Bunda Maria senantiasa hadir dalam setiap gerak hidup Yesus Puteranya. Kesetiaannya mengikuti kehendak Allah Bapa yang secara nyata dalam puteraNya dijalani Maria. Maria sadar bahwa Yesus adalah anak yang lahir dari rahimnya. Namun Maria juga sadar akan siapa Yesus. Sebagaimana Ia merasakan itu dan menyimpannya dalam hati. Sebagai Putra Allah yang hadir, Maria belajar dari PuteraNya. Ia berusaha menyelami kehendak Allah dalam diri Puteranya. Hal ini juga sangat ia pahami juga ketika Yesus harus menempuh jalan salibNya. Maria turut seperjalanan di jalan salib Puteranya bersama murid yang dikasihiNya. Peristiwa di bawah salib secara nyata menunjukkan bagaimana Maria sungguh setia kepada Putra yang dikasihinya sekaligus guru karena Dia adalah Allah. Dalam peristiwa salib itulah Maria mendapatkan penyerahan murid sebagai wakil Gereja dari Yesus, sekaligus Maria diserahkan kepada muridNya yang dikasihi (Bdk Yoh 21). Kehadiran Maria di bawah salib menandakan sebuah sikap iman kemuridan. Sebagai murid, Maria mengajak kita untuk senantiasa memandang salib Yesus dalam kehidupan kita. Maria menjadi murid pertama yang mewujudkan secara total panggilan Yesus: “Ikutlah Aku” (bdk. Mat 4:19; 8:22; 9:9; 19:21).

Peran Maria sesudah wafat puteranya adalah meneruskan pesan Yesus dengan tinggal bersama para rasul. Maria menjadi Bunda dari para rasul, terutama di saat-saat penantian Roh Kudus. Maria mendampingi dalam doa bersama para rasul. Maria senantiasa mendampingi para rasul dan Gereja dalam meniti peziarahannya. Seluruh hidup Maria sungguh menghadirkan cinta Allah sendiri secara manusiawi. Sebagaimana juga para frater diundang untuk senantiasa merenungkan hidupnya, sebab dari hidupnya kita menemukan bahwa “Maria, Bunda Hati Kudus, mengilhami kita untuk dalam kesederhanaan hati mengungkapkan cinta dan kebaikan Allah” (bdk. Konst Ps 52). Maria Bunda Hati Kudus telah membentuk hati Puteranya, sekaligus Maria juga menjadi pewarta hati terkudus Yesus kepada semua orang yang mencintainya. Menjadi pendidik yang berkarakter adalah menjadi pribadi yang sanggup memancarkan kedalaman hati sehingga sanggup menginspirasi hidup orang lain. Dengan hati pendidik demikian, setiap pendidik akan berperan mengarahkan hati naradidik kepada kesejatian; yakni kepada Allah sendiri yang adalah kasih.

Saya termenung- menung sendiri dan amat mengagumi Maria. Beliau mengajari saya untuk mendidik siapapun yang dipercayakan kepada saya dengan hati. Hal ini berarti saya dan siapapun yang mau terlibat sebagai pendidik diundang untuk berkarya dalam “Holy Ground”, yakni hati masing-masing naradidik. Bila sungguh saya terbuka hati seperti Maria, berarti saya amat tersanjung dan dianugerahi Allah karena diperkenankan menemani hati setiap insan untuk mencapai kepenuhan. Maka saya terkadang merasa malu mengapa saya ketika “mengajar” masih merasa malas kurang semangat, hitung-hitung, emosional dan mencampuradukkan permasalahan rumah/komunitas dengan proses pembelajaran. Anak-anak mohon maaf ya.. Ijinkan saya bersemangat lagi mendampingi. Terima kasih Bunda Maria, Bunda Hati Kudus. Berkah Dalem.

PERJALANAN AWALI FRATER BUNDA HATI KUDUS


Oleh: Fr. M. Venansius, BHK



Perjalanan awali yang kami maksud adalah periode Frater Bunda Hati Kudus pada zaman Mgr. Schaepman ( pendiri Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus ) hingga menyandang status wibawa hak diosesan. Perjalanan awali Frater Bunda Hati Kudus sebagai Kongregasi dalam Gereja Katolik pada penulisan ini kami batasi pada lingkup:
1 pendiriannya
2. penulisan peraturan hidup
3. pengakuan resminya
Pendiriannya
Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus didirikan atas dasar keprihatinan pendirinya ( Mgr. Andreas Ignatius Schaepman ) akan pendidikan yang layak bagi kaum miskin yang kurang mendapatkan pengajaran dan pembinaan iman yang baik. Mgr. Schaepman ingin menawarkan pengajaran, pendidikan dan pembinaan iman Katolik kepada kaum muda. Pendiri menganggap kerjasama dengan kaum religius penting sekali untuk memberikan pendidikan/pengajaran dan pembinaan iman katolik yang bermutu kepada kaum muda.Didorong pula oleh rasa puasnya melihat hasil karya para Suster Cinta Kasih, dan para Frater CMM maupun kongregasi lainnya mgr. Schaepman semakin yakin perlunya kerjasama dengan kaum religius untuk mewujudkan niatnya.
Untuk maksud pendirian Mgr. Schaepman minta nasehat Mgr. Swijsen yang pada tahun 1844 telah mendirikan sebuah kongregasi untuk orang religius laki-laki, yaitu Para Frater dari Kongregasi Santa Perawan Maria , Bunda Yang Berbelaskasih, yang berkedudukan di Tilburg.
Usaha untuk membujuk salah satu satu kongregasi pria yang telah ada di Belanda untuk datang dan bekerja di Utrecht tidak berhasil maka Mgr. Schaepman memutuskan untuk mendirikan suatu kongregasi sendiri. Kongregasi yang akan didirikannya di buat menurut model yang berhasil dari Kongregasi Para Frater Santa Perawan Maria Bunda Yang Berbelaskasih ( Para Frater van Tilburg/ CMM ). Kongregasi CMM ini didirikan oleh Mgr. Swijsen yang mendirikan kongregasinya terinspirasi oleh keberhasilan Serikat Putri Kasih (PK ) yang didirikan oleh St. Vincent de Paul dan Luisa de Marillac pada tahun 1633 sebagai kongregasi/serikat biarawati pertama yang memperoleh kebebasan dan mampu menciptakan bentuk-bentuk hidup religius dimana penghayatan Karya Cinta Kasih di luar tembok biara diintegrasikan dengan devosi dan doa. Mgr. Schaepman ingin membuat hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Mgr. Swijsen.
Mgr. Schaepman tak sekedar mempunyai niat tapi dia punya visi akan pendirian sebuat komunitas baru. Apa yang direnungkan dan apa yang dipikirkan untuk menjawab kebutuhan jaman kemudian banyak didiskusikan dengan Mgr. Swijsen. Pilihan kepada Mgr. Swijsen sebagai rekan diskusi dalam rencana pendirian kongregasi sebagai sesuatu yang sangat tepat. Mgr. Schaepman telah lama mengenalnya terlebih ketika Schaepman menjadi Vikaris Jenderal bagi Mgr. Swijsen pada tahun 1858. Mgr. Swijsen pendiri dari 2 kongregsi ( Suster SCMM dan Frater CMM ) dikenalnya juga sebagai seorang Vinsensian dan salah seorang promotor belas kasih pada jamannya. Dari Mgr. Swijsen-lah pendiri Kongregasi Frater BHK banyak menerima masukan yang berkaitan dengan semua beban dan kesulitan yang berkaitan dengan pendirian sebuah kongregasi. Bagi Mgr. Schaepman sekali layar terkembang lautan luas pun diseberangi. Demi dan atas nama belas kasih kepada sesama dan Tuhan yang di abdinya serta bersandar pada kekuatan penyelenggaraan Allah, Mgr. Schaepman bertekat mendirikan kongregasi baru. Rekan diskusi dan penasehat yang bijaksana pun menyatakan mendukung rencana Mgr. Schaepman mendirikan kongregasi.
Untuk maksud pendirian kongregasi Mgr. Schaepman tidak hanya berdiskusi dengan penasehat bijaksana, ia juga minta di doakan komunitas suster-suster Cinta kasih yang ada di Utrecht, Arnhem, Swolle dan Groningen.
Bersandar pada bantuan Allah dan dukungan kaum rohaniwan yang ada di wilayah keuskupannya maka pada musim semi 1871, Mgr. Schaepman mengumumkan rencana pendirian kongregasi. Rencana pendirian ini mendapat sambutan baik dari para imam, biarawati maupun umat beriman.
Berkat jasa baik dari Mgr. Swijsen akhirnya Mgr. Schaepman mendapat bantuan pater de Beer ( Superior jenderal Frater CMM ) yang berjanji membina para anggota pertama untuk mendapat pembinaan di rumah induk Kongregasi Frater CMM di Tilburg.
Maka pada tahun 1871 dikirimlah para anggota pertama kongregasi ke rumah induk Frater CMM di Tilburg untuk memulai masa novisiatnya. Di novisiat ini para anggota pertama dibina dalam semangat belas kasih Kongregasi CMM.
Formasi religius bagi 3 calon pertama Kongregasi Frater BHK berakhir pada tahun 1873, jadi memakan waktu kurang lebih 2 tahun, tepatnya tanggal 13 Agustus 1873 Mgr. Schaepman memanggil Fr. Bonifacius, Fr. Gregorius dan Fr. Willibrordus ke Utrecht. Tanggal kedatangan mereka bertiga ke Utrecht inilah dianggap sebagai HARI LAHIRNYA KONGREGASI FRATER BUNDA HATI KUDUS.
Penulisan Peraturan Hidup
Proses perumusan peraturan hidup/konstitusi Frater BHK berkaitan langsung dengan perjalanan awali Frater BHK sebagai kongregasi.
Pada waktu kedatangan para Frater generasi pertama ke Utrecht pada tanggal 13 Agustus 1873, sang pendiri Mgr. Schaepman belum menyiapkan peraturan hidup untuk Kongregasinya. Maka sesuai dengan keinginan pendiri , para frater mengikuti peraturan biara dari Kongregsi Frater CMM yang disusun oleh Mgr. Swijsen ,kecuali itu para frater generasi awal juga ingin berpegang pada semangat dan kebiasaan-kebiasaan biara dari kongregsi Frater CMM seperti yang pernah mereka terima dan alami pada masa pembinaan awal di novisiat Tilburg. Kenyataan bahwa para frater sungguh menghidupi peraturan hidup Para Frater CMM ini diakui oleh Mgr. Schaepman dalam suratnya kepada Mgr. Swijsen pada tanggal 9 Februari 1874, begini petikan suratnya; …Saya sangat puas atas frater-fraterku, yang meresapi semangat Tilburg. Sekarang saya mempunyai lima frater dan sepuluh siswa guru. Segalanya bagus…
Setelah 6 tahun para frater generasi awal menjalani hidup sebagai biarawan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus maka dengan dipandu peraturan hidup dari Frater CMM, para Frater BHK mengadaptasi peraturan CMM tersebut untuk dijadikan/dibuat peraturan sendiri. Mgr. Schaepman tidak berkeberatan karena peraturan-peraturan Frater CMM yang disusun oleh Mgr. Swijsen pendirinya itu dianggap juga sesuai untuk Kongregasi Frater BHK yang didirikannya. Maka atas persetujuan Mgr. Schaepman pada bulan April 1879 para Frater BHK mencetak dan mempunyai peraturan sendiri.
Dari kenyataan ini sesungguhnya kita mengerti dari mana peraturan hidup atau yang sekarang disebut kontitusi kita itu berakar. Menelusuri akar konstitusi itu penting, setidak-tidaknya agar kita mengindahkan asal-usulnya, akarnya maupun tradisi spiritualnya kemudian mempelajarinya untuk mengetahui siapa kita ini dan bagaimana kita berkembang menjadi sebagaimana adanya kita sekarang ini.
Telah disinggung di atas bahwa para Frater generasi awal telah mengadaptasi peraturan Para Frater St. Perawan Maria , Bunda Yang Berbelaskasih ( CMM ) untuk dijadikan peraturan sendiri pada tahun 1879. Lebih lanjut kita akan menelusuri dari mana peraturan hidup Frater CMM.
Pada waktu pendirian Kongregasi CMM pada tahun 1844 oleh Mgr. Swijsen, kepada para Frater CMM belum diberikan peraturan sendiri. Para Frater CMM mengikuti “Peraturan Khusus” yang beliau susun untuk kongregasi yang lebih dahulu didirikannya yaitu para Suster Cinta Kasih dari Maria Yang Berbelaskasih ( SCMM ). Peraturan untuk Para Suster SCMM ini kemudian oleh Mgr. Swijsen diadaptasi untuk selanjutnya diberikan kepada Para Frater CMM sebagai “Peraturan Khusus” sendiri pada tahun 1857.
Sebelum mendirikan Kongregasi Frater-frater CMM, Mgr. Swijsen telah mendirikan Kongregasi Suster-suster SCMM pada tahun 1832. Pendiri 2 kongregasi ini mempelajari peraturan yang berspiritualitaskan Vinsensian yakni;Kanon Triest -Belgia ( Triest yang dimaksud adalah Petrus Josef Triest pendiri 4 kongregsi : Suster-suster Karitas, Bruder Karitas, Bruder-bruder dari Yohanes de Deo dan Suster-suster dari Kanak-kanak Yesus )dan Peraturan Munster yang disusun oleh Droste – Jerman ( Droste yang dimaksud adalah Clemen August Droste zu Vischering pendiri Kongregasi Suster-suster Perawat ). Dari 2 peraturan yang dipelajari itu akhirnya Mgr. Swijsen memilih Peraturan Munster untuk selanjutnya dipelajari dan diadaptasi bagi Peraturan Hidup Suster-suster SCMM pada tahun 1838.
Clemens August Droste Vischering adalah pendiri Kongregasi Suster Perawat yang kemudian dikenal dengan nama Suster-suster Belaskasih. Kegiatan suster-suster ini diarahkan untuk pelayanan orang sakit di Munster ( Jerman ), para susternya melaksanakan dalam semangat Puteri Kasih ( sebuah serikat yang didirikan oleh Vincent de Paul ). “Pendirian kongregasi oleh Droste diinspirasi oleh buku’Biography of St. Vincent de Paul”, dan sebuah booklet “L ‘esprit de St. Vincent de Paul”, demikian menurut Petrus Suparyanto. Lebih lanjut ia mengatakan: “Pada tahun 1833 Droste memberikan kepada Suster-suster , Peraturan Hidup tertulis, yang dikenal dengan “ verhaltungsregeln”. Peraturan Droste sangat dipengaruhi oleh Peraturan Vinsensius”.
Demikian kiranya dapat dijelaskan dari mana Konstitusi para Frater Bunda Hati Kudus berakar. Kalau diskemakan maka uraian di atas akan terlihat sebagai berikut:

Serikat Puteri Kasih (Vincent de Paul+Louisa de Marillac – Perancis)
I
Kongregasi Suster Perawat (Droste – Jerman)
I
Kongregasi Suster SCMM (Zwijen-Belanda)
I
Kongregasi Frater CMM (Zweijsen-Belanda)
I
Kongregasi Frater BHK (Schaepman-Belanda)
Pengakuan Resminya
Kongregasi Frater –Frater Bunda Hati Kudus sejak berdiri pada tahun 1873 hingga beberapa puluh tahun kemudian belum mendapat status wibawa hak pontifikal atau status wibawa hak diosesan. Namun keberadaan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus yang pasti telah disetujui Uskup Agung Utrecht pada waktu pendiriannya, karena beliau sendirilah yang mendirikannya. Kenyataan ini diperkuat dengan pengumuman pemberitahuan Pendirian Kongregasi Para Frater Bunda Hati Kudus oleh Mgr. Schaepman pada anggota Pre – Sinode Keuskupan Agung Utrecht pada tanggal 24 Desember 1873.
Mgr. Schaepman bukanlah orang yang arogan, pendiri adalah orang yang arif, orang yang tidak mau menerabas aturan main untuk mencapai suatu maksud. Meskipun maksud itu untuk sesuatu yang baik, pendiri tetap menghormati dan berpegang pada aturan main.
Enam tahun pertama sejak pendiriannya pada 13 Agustus 1873 jelas belum mungkin dimintakan pengesahan /pengakuan resmi dari otoritas gereja karena Kongregasi Frater BHK belum punya peraturan sendiri.
Selain itu pendiri juga sadar bahwa kongregasi BHK yang didirikan dan di dampinginya selama kurang lebih 9 tahun hingga ia wafat 19 September 1882, jumlah anggota masih terlalu sedikit untuk menyandang status wibawa hak diosesan.
“Untuk mendirikan suatu lembaga baru yang menyandang status wibawa hak diosesan, setidaknya harus ada jumlah anggota tidak kurang dari 40 orang, yang mayoritas diantaranya harus sudah mengucapkan kaul kekal. Jumlah yang relatif cukup besar ini dimaksudkan untuk menjamin tingkat stabilitas dan kelanggengan tertentu”. Demikian menurut Elias L. Ayuban,Jr,CMF.
Kenyataan lain yang perlu dipahami,fakta sejarah berbicara bahwa sejak berdirinya kongregasi hingga permulaan abad ke XX kondisi ekonomi untuk menjamin otonomi perekonomian kongregasi belum cukup.Kenyataan ini diperkuat, frater Willibrordus Hollak yang perlu meminta-minta untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari .
Masa sesudah Mgr. Schaepman meninggal, kongregasi masih disibukkan dengan urusan konsolidasi ke dalam yang berkaitan dengan karya, ketenagaan maupun kepemimpinan. Terkait dengan masalah kepemimpinan ini berpuncak dengan keputusan Fr. Bonifasius Vonk ( Pemimpin Umum Pertama ) yang meninggalkan kongregasi pada tahun 1891. Joos van Vugt lebih lanjut dalam penelitiannya mengatakan: Pada tahun 1891, Vonk dengan tenang meninggalkan kongregsi karena kedudukannya tidak dapat dipertahankan lagi. Akan tetapi, kepergiaannya yang tiba-tiba itu menjerumuskan kongregasi ke dalam keadaan krisis yang berlangsung beberapa tahun lamanya. Lebih lanjut Joos van Vugt juga mengatakan:” Jika dibandingkan dengan keempat kongregsi yang lain( CSA, FIC,CMM,MTB ) permulaan Kongregasi BHK-lah yang paling sulit”.
Memasuki dasa warsa kedua abad ke XX kongregasi mengalami perkembangan yang bagus baik dari segi karya maupun jumlah anggota. Fr. Stanislaus Glaudemans ( 1914-1930 ) sebagai Pemimpin Umum, menyadari kekurangan kongregasi yang dipimpinnya yakni belum adanya suatu akte/pendirian kanonik bagi Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus yang dipimpinnya. Menyadari pentingnya akte pendirian untuk mendapatkan hak mendasar kongregasi religius maka diupayakan pengakuan kanoniknya.
Usahanya ini berhasil dan akhirnya Mgr. Henricus van De Wetering( Uskup Agung Utrecht ) memberikan “decretum recognitiones” (dekrit pengakuan ) pada tanggal 6 Maret 1923 . Demikian bunyi petikan dekrit tersebut: “ ditetapkan bahwa sesudah merundingkannya dengan para Uskup yang lain dan kalau mereka ini paling sedikit tidak menentangnya , kepada kongregasi-kongregasi semacam ini diberikan sebuah “decretum recognitiones “, yang mempunyai kekuatan untuk memperbaiki kekurangannya berupa tidak adanya suatu pendirian kanonik, asal saja itu terjadi di masa lampau dan asal memang diperlukan: oleh karena itu, dengan dekrit resmi kami ini, bersama ini kami menyatakan telah didirikan dengan sah suatu kongregasi Religius berdasarkan Hukum Keuskupan, yaitu Kongregasi Para Frater Bunda Hati Kudus di Utrecht, Keuskupan Agung Utrecht”.
Melihat uraian di atas Sungguh suatu perjalanan yang panjang dan sarat makna, setelah 50 tahun sejak berdirinya 13 Agustus 1873 baru kemudian pada 6 Maret 1923 mendapatkan pengakuan status wibawa hak diosesan.
Malang, 19 September 2009
Peringatan ke- 127 wafat pendiri
SUMBER:
  1. Konstitusi Kongergasi Frater-frater Bunda Hati Kudus. Utrecht 1997
  2. Konstitusi Para Frater St. Perawan Maria, Bunda yang Berbelaskasih. Tilburg 1990
  3. Vught, Joos.P.A, Bruder-Bruder dan Karya Mereka. Yogjakarta : Kanisius ,2005
  4. Perdon, Kees dan Leo Ruiternberg. Sejarah Singkat Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus masa Awal
di Utreacht – negeri Belanda 1871 – 1891.Zeist 2008
  1. Suparyanto FIC, Petrus, Bertolak Dari Spiritualitas pendiri. Yogyakarta : Gunung Sopai , 2008
  2. Vught, Joos,P.A, Dengan Kepeduliaan & kesederhanaan. Yogyakarta: Kanisius, 2005
  3. Arsip Kongregasi, map 1, no 4. Decretum recognitiones. Utrecht 1923
  4. Berg,fr.Bertrandus van den ,”Historica XVII: Surat kedelapan Mgr. Schaepman kepada Mgr. Swijsen. Utrecht, 9 Februari 1874”,
dalam Onder Ons Januari 1963.
  1. L.Ayuban,Jr,CMF,Elias. Topik-Topik Kanonik Berkenaan dengan Tradisi Kehidupan Religius.Medan: Bina Media perintis,2008