Kamis, 27 Oktober 2011

Rekoleksi 7: Ingkar diri menjadikan kita "man of God and man for others"


Oleh: Fr. m. patrik totok mardianto,bhk

Tema : Ingkar diri menjadikan kita”man of God and man for the others”
Konstitusi pasal 72
Ingkar diri mengharapkan:
Bahwa kita hidup tidak hanya untuk diri kita sendiri,
Tidak menjadikan diri kita pusat perhatian,
Tetapi mencari harga diri dan pengembangan diri
Di dalam pengabdian diri kepada Allah
Dalam karya penciptaanNya;
Dimana tak ada sesuatu atau seorangpun yang kita anggap remeh.
 

Hidup dalam perjalanan mengikuti Yesus merupakan pilihan hidup dalam paradoks. Kita mengikuti pola hidup Yesus yang “melawan” arus dari arus dunia yang berkembang. Yesus sendiri telah lebih dahulu menjalaninya semasa hidupNya. Ditengah arus masyarakat yang mengedepankan sekat-sekat berdasarkan agama, golongan, kelompok; Yesus hadir menawarkan persaudaraan yang dibangun atas dasar iman akan Allah dan SabdaNya (Mat 12:5). Di tengah dinamika hidup orang hanya mencari selamat sendiri; memutlakkan aturan demi keselamatan sendiri dan gengsi, Yesus menghadirkan penghayatan aturan secara baru. Di tengah masyarakat yang mengedepankan gengsi, penindasan, mentalitas cari aman, Yesus hadir di tengah orang-orang terpinggirkan dan disingkirkan.  Yesus sendiri menyampaikan “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku”.( Mat 10:37-38)

Hidup Yesus adalah hidup yang dipenuhi dengan INGKAR DIRI. Keutamaan ini menjadi keutamaan hidupNya yang menjadikan Yesus total dalam pemberian diri kepada kehendak Allah BapaNya. Maka hal yang sama akan ditularkan bagi mereka yang ingin mengikuti jalanNya (para muridNya dan kita sekalian). Yesus memanggil para muridNya, “Mari ikutilah Aku..”(bdk. Mat 4:19; 8:22; 9:9; 19:21). Selanjutnya Yesus menyampaikan prasyarat untuk dapat mengikutiNya yakni melalui INGKAR DIRI seperti yang dijalaniNya. ”Setiap orang yang mau  mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku”(Mat 16:24). BagiNya, jika ingin mengikuti Dia maka menempuh jalan yang juga ditempuhNya sendiri. Misi utama hidupNya adalah terwujudnya Kerajaan Allah di dunia; dengan “melupakan diriNya” agar semakin besarlah kemuliaan Allah BapaNya. Yesus melupakan diriNya sampai sehabis-habisnya agar hidupNya menjadi persembahan yang berarti bagi BapaNya demi keselamatan kita manusia yang amat dicintaiNya. Ia sendiri menasehatkan,”Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya”.(Mat 10:39)
 

Konstitusi kita mengarahkan kita sebagai frater untuk meniti perjalan yang juga ditempuh oleh Yesus Sang Guru kita. Ingkar diri menjadi “penanda/CIRI” semangat yang hendak kita hayati. Dengan Ingkar diri, kita mau hidup bagi orang lain (man for others), tidak terpusat pada diri (tidak egois), meningkatkan harga diri dan pengembangan diri dalam pengabdian kepada Allah (man of God) (bdk konst. Pasal 72). Dengan keutamaan tersebut kita hendak mewujudkan kemuridan kita. Sejatinya, jalan hidup terbaktikan dalam pilihan hidup kita ini merupakan jalan pelupaan diri kita. Hal ini berarti kita mencoba untuk tidak terlekat dengan diri kita sendiri. Sebab jika tidak (bila masih terlekat) , perjalanan kita akan menjadi semakin berat dan tidak berfokus. Kita tidak lagi mencari Kehendak Allah dalam pengabdian kita, justru kita mencari diri kita sendiri. Sebuah pilihan paradoks; semakin kita mau dekat dengan kehendak Allah semakin kita diminta melupakan diri. Kita diundang untung mengosongkan diri sehingga membiarkan Allah sendiri yang mengisi relung batin kita.
Rasanya hal di atas seperti hal yang amat sulit untuk kita wujudkan. Yesus sendiri telah lebih dahulu menempuh itu dan meyakinkan kita bahwa hal itu mungkin. Kita akan sungguh mampu demikian bila kita sendiri mencari kepenuhan hidup dalam Allah sendiri (Yoh 10:10). Bila mengalami kepenuhan dalam Allah (man of God) kita akan terdorong untuk mengutamakan kehendakNya, sanggup memberikan diri seutuhnya bagi saudara-saudara yang kita layani demi semakin besarlah kemuliaanNya bukan kemuliaan kita sendiri.  Hal ini telah nyata dihidupi pendiri kita Mgr. Schaepman dan Bunda Hati Kudus, Bunda penyerta kita pada Hati Kudus Puteranya.
Bila kita telaah lebih teliti praksis hidup kita, banyak kita menemukan kejatuhan kita terutama dalam hidup bersama, perutusan dan penghayatan panggilan kita. Sikap mau menang sendiri, sulit mengalah, sulit mendengarkan, membuat konflik, hitung menghitung dalam membantu orang lain, pilih-pilih pekerjaan, pemberian diri setengah-setengah, mencari pemuasan diri, “memakai nama Yesus” hanya demi diri diri sendiri dan masih banyak lagi. Marilah kita sejenak merenung perjalanan hidup terbaktikan kita. Apa yang salah dalam penghayatan kita? Apa yang salah dalam pemberian diri kita?
 

Refleksi Diri.
1.      Dalam keheningan, coba temukanlah di saat-saat mana; pengalaman mana aku ternyata masih belum mampu untuk INGKAR DIRI di hadapanNya. Aku masih egois; berpusat pada DIRI SENDIRI dan mencari kemuliaan sendiri? Tulislah secara konkret satu persatu!
2.      Apa yang menyebabkan aku selama ini sulit INGKAR DIRI?
3.      Bersyukurlah kepada Allah, akan pengalaman-pengalaman Anda sanggup INGKAR DIRI demi pilihan kehendakNya semakin terlaksana? Pengalaman atau saat-saat mana itu?

Doa

BIARLAH TANGAN INI TERASA KASAR

Yesus sahabatku ….
Syukur atas teladan kasih yang telah Engkau hadirkan dalam hidupMu
Untaian nada kasih yang Kau lambungkan menyejukkan hidupku.
Terima kasih dan syukur karena aku Engkau panggil sahabat.
Sahabat yang amat berarti bagiMu.
Malu rasanya hati ini, serasa tak pantas
Mengingat rajutan – demi rajutan kesalahan
dan kelemahan yang menempel di hatiku.
Namun Engkau tetap mengasihiku dan membuatku merasa berharga dimataMu.

Yesus sahabatku …
Ijinkan aku membalas kasihMu itu melalui
Doaku yang terajut erat dalam tangan renta meraba, merajut, menepuk
Kehidupan yang penuh dengan onak duri kegalauan.
Ijinkan tanganku yang jelek tak terurus ini menjadi kasar
Karena bertemu dengan aneka bentuk kehidupan.
Biarlah tangan ini menjadi berkeringat, kasar sebagai bagian dari
Perwujudan hatiku yang terucap syukur atas kasih
Yang boleh aku alami.

Yesus sahabatku …
Ijinkan aku tidak hanya puas dengan romantika doa melayang;
Melainkan dengan rintihan perih dari kasarnya telapakku yang
Mulai melepuh dan kasar karena melayaniMu
Setiap hari dalam diri setiap hati yang meminta kehadiranku.

Rekoleksi 6: Matiraga merupakan salah satu ciri penanda kita sebagai Frater BHK

Oleh : fr. M. Patrik Totok Mardianto, BHK

Matiraga merupakan salah satu ciri penanda kita
sebagai Frater Bunda Hati Kudus


”Barangsiapa ingin mengikuti Aku, ia harus menyangkal diri dan
 memikul salibnya setiap hari (Mat16:24).


A.   Hakikat Matiraga

      Sabda Yesus di atas diucapkan dan ditujukan secara kepada para muridNya.  Dari sabda tersebut dapat kita temukan dua hal penting dan mendasar dalam konteks ”usaha” mengikuti Yesus;-menjadi muridNya.
Pertama, jalan utama yang harus dilalui untuk menjadi murid tidak lain dan tidak bukan adalah menyangkal diri.  Inilah arti pertama dan utama akan matiraga. Menyangkal diri tidak lain adalah menyangkut penyangkalan atas penilaian diri sendiri, kehendak kita sendiri, menyangkal kesukaan inderawi kita sendiri, menyangkal (tidak terlekat/terikat) famili dan keluarga kita sendiri. Yesus sendiri telah menghidupi sabdaNya itu. Dalam kitab suci kita menjumpai peristiwa-peristiwa hidup dimana Yesus sungguh bermatiraga/ingkar diri.  Dalam peristiwa pencobaan di gurun, kita menemukan bahwa sejak awal karya hidupnya, semua semata-mata bukan untuk dirinya sendiri. Yesuspun tidak terlekat pada hubungan / ikatan manusiawi kekeluargaan, namun justru menawarkan ikatan rohani dalam Allah. Hal ini nampak jelas ketika diriNya dikunjungi ibuNya. Yesus juga tidak terlekat pada materi. Dia sanggup meninggalkan segala-galanya, bahkan Yesus tidak memiliki apa-apa. Tempat untuk sekedar menaruh kepalaNya pun tidak. PuncakNya adalah ketidaklekatannya pada hidup yang dimilikinya sendiri. Yesus menyerahkan seluruhNya kepada umat pendosa sebagai tebusan. Kita dapat mencari sendiri apa saja yang lain seputar matiraga/ingkar diri Yesus.

Kedua, matiraga adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Matiraga adalah suatu usaha olah hidup dimana hal itu dilakukan sebagai suatu sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.  Yesus sendiri mengalami sendiri akan matiraga dalam hidupNya sebagai jalan untuk semakin dekat dengan Allah BapaNya.  Empat puluh hari lamanya Yesus berpuasa, selama masa itu Yesus dicobai setan tiga kali dan Yesus pun sanggup teguh akan gerak hatiNya untuk semakin dekat dengan Allah BapaNya.

B.    Tujuan Matiraga

Tujuan dari matiraga tidak lain adalah bahwa segala hal yang kita lakukan dan jalankan hanya untuk mencintai Allah, untuk menyesuaikan keputusan kita pada Allah, menyerahkan kehendak kita kepada Dia yang harus kita taati.

Untuk mencintai Allah
Finalitas atau tujuan akhir hidup pembaktian kita tidak lain adalah kebersatuan dengan Allah sendiri yang mencintai kita lebih dahulu. Maka dalam konteks ini, salah satu tujuan dari usaha matiraga kita adalah bukan untuk kepentingan ragawi namun semata-mata demi mencintai Allah yang memanggil. Hanya dengan alasan inilah matiraga yang kita lakukan mampu menampilkan makna rohani.

Untuk menyesuaikan keputusan kita pada Allah
Keotentikan kita dalam menghayati panggilan kristiani dan religius adalah sejauhmana kita membuat keputusan/pilihan atas hidup kita. Hidup kita akan menjadi semakin dewasa dan berkembang bukan semata-mata hanya menuruti segala keinginan semata, sebab tidak semua keinginan harus kita lakukan dan wujudkan. Hidup dan panggilan kita pertama-tama merupakan pilihan. Maka dengan matiraga, kita berusaha agar kita mampu menyesuikan keputusan kita pada Allah yang telah memulai penggilan kita.

Untuk menyerahkan kehendak kita kepada Dia yang harus kita taati.
Akhirnya, karena panggilan kita pertama-tama merupakan insiatif dari Allah sendiri,maka sebagai yang terpanggil kita menyerahkan kehendak kita kepada Dia yang harus kita taati. Dengan matiraga/ingkar diri kita didorong untuk secara batin berserahdiri kepada kehendakNya. Yesus sendiri telah memberikan teladan dalam hidupNya, misalnya pada saat-saat terakhir menjelang penyaliban. Yesus berdoa di taman Getsemani. Dalam doaNya Yesus menyerahkan secara total kepada kehendakNya. ”Murid pertamaNya”, yakni Bunda Maria telah mewujudkan semangat yang sama. Bunda Maria telah memberikan teladan, misalnya kesediaannya mengandung Sang Putra Allah.

C.   Urgensi / pentingnya Matiraga untuk Hidup Panggilan dan Rohani

Bertolak dari sabda Yesus di atas, nampak sekali terdapat penekanan khusus  Yesus . Dalam sabdaNya terucap kata “harus” dan “setiap hari” untuk senantiasa menyangkal dan memanggul salib mengikutiNya. Kata ”harus” mengandung makna : suatu ungkapan penekanan khusus, tidak seperti biasa, ada unsur kewajiban, perintah. Sedangkan kata ”setiap hari” mengandung maksud bahwa sikap dan tindakan tersebut dilakukan secara serius, tidak ditunda-tunda, mempunyai intensitas, kedalaman. Jadi kedua sikap tersebut merupakan ”prasyarat” yang diajukan Yesus bagi siapa saja yang ingin mengikutiNya.  Karena sebagai prasyarat maka konsekuensinya apabila tidak terpenuhi maka pengikut tersebut tidak akan mampu memenuhi harapan Dia yang memanggil; Allah dalam diri Yesus

Selain itu, matiraga menjadi olah lahir yang perlu dilakukan untuk memasuki kerohanian yang mendalam. Berabad-abad lamanya dalam tradisi monastik, matiraga menjadi cara hidup yang harus dilakukan demi tercapainya sebuah kematangan rohani. Pada masa-masa itu matiraga bukan dalam pengertian positif; namun sebatas menyesah tubuh/raga atau membuat raga ”mati”.  Seolah-olah raga ini jelek, buruk dan menghalangi hidup rohani. Jadi pada masa itu aspek raga dipandang sebagai kenyataan negatif dan hal inilah yang masih ditekankan. Pandangan kerohanian terbaru mengemukakan, bahwasannya kita memiliki kesatuan tubuh-jiwa yang tak tepisahkan. Kenyataan yang satu dan tak terpisahkan. Sekarang ini lebih banyak menggunakan istilah ”ingkar diri”; dimana istilah tersebut tidak semata-mata bersifat ragawi semata. Dengan ingkar diri tersebut (dari kelekatan keinginan diri, kepentingan diri, kehendak diri, keinginan ragawi, keluarga) kita terbantu untuk semakin terarah kepada dimensi kerohanian kita. Hal ini sangat cocok dengan hakikat kita  sebagai makhluk spiritual / rohani.

Dengan ingkar diri kita terodong untuk rendah hati di hadapan Allah sendiri sebagai penyelenggara hidup. Sebab dengan semangat kerendahan hati itu kita mampu menemukan Dia dan memahami kehendakNya atas hidup kita. Keutamaan ini mengandaikan keberanian kita untuk ”MENGIKIS CINTA DIRI” yang negatif. Cinta diri yang negatif berarti kita terlekat pada keegoan diri yang tinggi yang membuat kita tidak peka bahkan buta akan kenyataan di luar diri kita. Padahal dalam kenyataan itulah hadir sapaanNya dan kehadiranNya terutama dalam diri sesama kita.  


D.   Matiraga adalah salah satu ciri penghayatan hidup kita

 “Ingkar diri mengharapkan bahwa kita hidup tidak hanya untuk diri kita sendiri, tidak menjadikan diri kita pusat perhatian, tetapi mencari harga diri dan pengembangan diri di dalam pengabdian kepada Allah dalam karya ciptaanNya dimana tidak ada sesuatu seorangpun yang kita anggap remeh.”
Konstitusi Ps. 72

Konstitusi kita secara jelas mengangkat salah satu ciri penanda penghayatan kita adalah ingkar diri/matiraga. Dengan sikap dan keutamaan itu kita : Tidak menjadikan diri kita pusat perhatian melainkan kita semakin terdorong kepada penghayatan “HIDUP UNTUK ORANG LAIN”-  a man for others. Hal ini menjadi penanda bahwa kita adalah pribadi-pribadi yang dibaktikan kepada Allah dan sesama. Semangat dan keutamaan ini sangat sejajar dengan penghayatan Maria Bunda Hati Kudus (versi III) yang terbuka tangannya satu terarah pada hati Yesus yang terlukai namun menyembuhkan, sedangkan tangan yang lain kepada sesama, berarti menjadi saluran rahmat dan kasih Allah sendiri. Hidup bakti kita pertama-tama bukan demi  kesenangan diri kita sendiri melainkan untuk sesama terutama yang paling membutuhkan. Menurut Paulus, “Kristus juga tidak mencari kesenanganNya sendiri” (Rm 15:3).


Dengan matiraga/ingkar diri, seorang frater BHK akan mengusahakan harga diri yang sehat. Harga diri yang sehat berarti bahwa kita pertama-tama kita menyadari secara penuh bahwa kita memiliki keunikan dan keluhuran sebagai anugerah cinta kasih Allah sendiri. Dan anugerah itu sedemikian istimewanya sehingga mau-tidak mau akan terdorong untuk mensyukuri dan mengembangkannya. Pemahaman yang keliru akan mengarahkan ketidaksadaran kita akan kenyataan itu. Selanjutnya, hidup kita akan terseret pada penghayatan yang hanya sekedar ingin ”mendapatkan’ pengakuan, penghargaan, sanjungan, pemuasan, penerimaan dari orang lain. Penghayatan seperti ini nampak dalam pribadi yang sekedar ”menikmati” hal-hal yang dilihatnya dan hanya sekedar didorong oleh keinginan-keinginan semu. Buah dari ketidakmampuan mensyukuri harga diri ini adalah kesunyian, keterasingan, ketakutan, kebingungan, kesendirian, ketidakbebasan.

Sanggupkah aku mewujudkan keutamaan tersebut yang tidak lain adalah penanda dari seorang religius frater BHK ?
Seperti pejelasan sebelumnya, menyangkal diri tidak lain adalah menyangkut penyangkalan atas penilaian diri sendiri, kehendak kita sendiri, menyangkal kesukaan inderawi kita sendiri, menyangkal (tidak terlekat/terikat) famili dan keluarga kita sendiri. Beberapa aspek dari matiraga/ingkar diri tersebut nampaknya kerap memunculkan pertanyaan bagi kita sebagai anggota tarekat frater BHK. Salah satunya adalah Mungkinkah itu semangat / keutamaan matoraga diwujudkan dalam diri masing-masing pribadi atau secara komunal/kebersamaan ? Jawaban atas pertayaan tsb hanya ada dalam hati kita masing-masing.

Kenyataan masyarakat dimana kita hidup dan hadir saat ini tidak dapat kita abaikan begitu saja. Religius jaman sekarang (termasuk Frater BHK) tidak dapat berperan hanya sebagai ”Kuda berkaca mata penarik pedati”. Kuda penarik pedati itu tidak tahu keadaan luar, yang dia tahu hanya yang ada di depan matanya, pandangannya. Dia memiliki rasa minder akan dirinya karena tidak memakai celana dan malu sehingga tidak mau bergerak dan sulit memahami keadaan sekelilingnya.  Sebagai religius kita tidak bisa hanya diam dan hanya tahu isi rumah saja tanpa tahu dan memahami keadaan lingkungan dan masyarakat. Masyarakat kita sekarang sudah sedemikian kompleksnya dinamikanya. Banyak hal negatif yang mengenakkan kita, meninabobokan kita dan memanjakan kita. Tidak mengherankan bila kita sulit menghayati keutamaan ingkar diri. Bila kita berani memilih itu berarti kita berani menentang arus. Namun bila kita berani menentang arus dengan menyangkal diri berarti kita ambil bagian dalam misi Yesus Kristus. Dengan ingkar diri kita semakin dapat mendengarkan jeritan masyarakat yang kerap tidak didengar oleh kaum tuli. Dengan ingkar diri kita semakin dimampukan untuk semakin dekat dengan orang miskin dan menangkap kehadiran Yesus di dalam hidup mereka.

Bila pilihan kita jatuhkan kepada ketidakpedulian akan sangkal diri, maka kita terarah kepada penghayatan kering dan semu. Apa yang kita lakukan kelihatan baik dan suci namun kerap dibalik itu semua, kita sekedar mencari diri kita sendiri. Kita akan mudah memaafkan diri dan kurang mencintai diri secara sehat. Allah memperoleh urutan kesekian di belakang. Kita dengan gampang akan terlekat pada kelekatan-kelekatan kebutuhan psikologis, kelekatan pada keluarga yang tidak sehat bahkan menghancurkan, kesukuan, ketidakpedulian terhadap orang miskin. Ujung-ujungnya penghayatan religius kita semata-mata hanya mencari kepentingan diri sendiri. Kita jauh dari harapan Yesus yang memanggil kita, ” Barangsiapa ingin mengikuti Aku, dia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari.”  Sudikah kita kembali menegaskan apa yang yang menjadi ciri khas kita ?

Bahan refleksi pribadi
  1. Poin apa dari bahan refleksi ini yang menyentuhku dan menggugah penghayatan panggilanku ? mengapa ?
  2. Sudahkah aku berusaha mewujudkan salah satu ciri khas keutamaan kongregasi ”matiraga/ingkar diri” ? mengapa ?
  3. Pengalaman konkret apa yang sekiranya aku pandang sebagai wujud atau  latihanku  dalam ingkar diri ? (bila memang ada)
  4. Kalau memang sulit ingkar diri; apa alasannya aku sulit ingkar diri ?
  5. Kalau memang matiraga/ingkar diri masih sulit; apa yang menggerakkan dan mendasari  aku dalam bertindak selama ini ?
  6. Pengalaman konkret apa yang menunjukkan bahwa aku sulit / tidak ingkar diri ? 




Selamat Rekoleksi

Rekoleksi 5: Doa - Momen emas untuk mengenal diri, orang lain dan Allah


 Oleh: Fr. M. Patrik Totok Mardianto,BHK

Tema :
DOA: MOMEN EMAS UNTUK MENGENAL DIRI, ORANG LAIN DAN ALLAH
AKU MEMINTA

Aku meminta Allah mengangkat kesombonganku
Dan Allah menjawab, ”Tidak.”
Ia berkata bukan bagian-Nya untuk mengangkat hal itu,
Tetapi bagianku untuk menyerahkannya.

Aku meminta agar Allah menyembuhkan anakku yang cacat
Tetapi Ia berkata ”Tidak.”
Ia berkata bahwa rohnya utuh dan sempurna
Tubuh hanya sementara

Aku meminta Allah untuk memberikanku kesabaran
Dan Allah berkata ”Tidak.”
Ia katakan kesabaran adalah hasil dari tantangan dan pencobaan
Hal itu tidak diberikan, tetapi diperoleh dengan usaha

Aku meminta Allah untuk memberikanku kebahagiaan
Dan Allah berkata ”Tidak.”
Ia katakan Ia memberikan berkat
Tetapi kebahagiaan tergantung pada diriku sendiri

Aku meminta agar Allah menghindarkan aku dari kepedihan
Dan Allah berkata ”Tidak.”
Ia katakan, penderitaan menjauhkanku dari kesenangan dunia
Dan mendekatkanku pada-Nya

Aku meminta pada Allah untuk menumbuhkan rohku
Dan Allah berkata ”Tidak.”
Ia katakan, aku harus belajar bertumbuh sendiri
Tetapi Ia akan membersihkan rantingku dan membuatku berbuah.

Aku bertanya pada Allah apakah Ia mengasihiku
Dan Allah berkata “Ya.”
Ia berikan Anak-Nya yang tunggal untuk mati bagiku
Dan aku akan berada di surga suatu hari nanti.
Karena... aku percaya

Aku meminta agar Allah menolongku mengasihi orang lain
Seperti Ia mengasihiku
Dan Allah berkata,
”Ah, akhirnya engkau mengerti...”

Dalam berdoa, lebih baik memakai hati tanpa kata – kata
daripada dengan kata – kata tanpa hati”
- John Bunyan (1628 – 1688)
DOA adalah relasi kasih kita dengan Allah dalam cinta
.
DOA / hidup rohani merupakan relasi kita dengan Allah dalam cinta. Relasi yang mendalam mensyaratkan keikutsertaan hati kita. Selanjutnya, hati merupakan ekspresi dari keseluruhan diri kita, maka bila berdoa dengan hati, berarti kita berdoa – berelasi dengan ALLAH dengan seluruh diri kita, bukan hanya dengan kata-kata manis; dengan pikiran kita saja. Kerapkali kita memperoleh pengertian tentang doa sebaai kegiatan keagamaan, kegiatan dengan symbol tertentu, dengan mengucapkan tertentu. Maka tidak jarang bila orang tidak bisa bicara dan enggan berkegiatan maka enggan pula untuk datang dan berdoa. Doa perlu disadari kembali sebagai suatu relasi personal dengan Allah dalam cinta. Doa yang otentik dan berdaya untuk hidup adalah doa dengan hati; dengan seluruh diri dan pergulatan kita. Bila tidak menyertakan HATI, kerap doa sebatas hanya kata-kata, kurang terasa dan mudah bosan dan ingin selalu menantikan hasil. Doa yang demikian kerap menjadikan orang malas dan tidak peduli dengan doa tersebut.

Doa sebagai relasi hati dengan Allah dalam cinta memiliki aspek personal dan kontinue. Personal berarti relasi tersebut amat pribadi, yakni hatiku dengan segala dinamikanya, baik sedih, sudah, duka, gembira kuhaturkan dan kupersembahkan kepadaNya. Relasi yang personal merupakan relasi yang mendalam. Seperti halnya kalau kita memiliki relasi dengan sahabat, kita akan terbuka. Demikian pula dengan Allah, dalam doa kita akan berani untuk “transparan” di hadapanNya karena Dia amat mengerti keadaan hidup kita. Dengan sikap ini pribadi akan menjadi amat dekat dan bertumbuhkembang dalam Tuhan. Doa dengan hati juga membutuhkan kontinuitas/kelangsungan terus-menerus. Doa yang mendalam dibangun bukan karena kalau kita butuh/perlu atau sedang susah; atau sebaliknya bila berdoa menunggu kalau tidak sibuk; atau menunggu bila tak ada masalah. Keberlangsungan doa yang terus-menerus menujukkan KERINDUAN yang menjadi aspek penting RELASI dalam CINTA. Apakah aku selama ini amat personal dan berkelanjutan dalam doa? Atau masih kalau ada perlu saja?

Daya kekuatan doa
DOA merupakan relasi komunikasi hati kita dengan Allah. Relasi yang terbangun secara mendalam dalam doa menjadikan kita mengalami daya Transformasi hidup dalam Allah. Pada tahap awal hidup doa kerap masih sebatas berdoa untuk ‘menyampaikan sesuatu, memohon, memuji dst’. Arahnya dari bawah / kita menuju Allah. Pada tahap doa yang lebih mendalam, hati kita diubah oleh Allah sendiri. Dalam RohNya, kita diundang semakin memahami kehendakNya dalam hidup kita, atas pribadi kita. Semakin dekat relasi yang kita bangun menjadikan kita semakin merasa dekat, memahami pribadi yg kita ajak berelasi. Demikian jugalah relasi dengan Allah. Kita dapat belajar dari Bunda Maria yang menyeraahkan hidup pada kehendakNya denan fiatnya, “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku, menurut perkataanmu” (Bdk Luk 1:38), atau juga sperti pengalaman doa Samuel yang dituntun oleh Guru Eli untuk mendengarkan kehendakNya, “berbicaralah, sebab hambaMu ini mendengarkan” (bdk. 1 Sam 3:10). Keterbukaan seperti inilah yang menjadikan hati kita DIUBAH oleh Allah sendiri. Bagaimana dengan aku dalam doaku?

Dengan berdoa kita akan semakin dihantar pada “penemuan diri” kita. Diri kita merupakan misteri. Kita tak akan pernah selesai mampu mengerti diri kita sepenuhnya. Sebagai pribadi yang senantiasa diundang untuk semakin menyempurnakan diri di tengah kealpaan kita. Semakin menjadalam doa yang kita bangun, memampukan kita untuk ke kedalaman jati diri kita yang mendalam. Selalu ada saja hal yang dapat kita temukan dari diri kita bila kita sungguh berdoa dengan hati kita dan bukan sekedar kata-kata. St. Vinsensius pun memiliki keyakinan akan kekuatan doa, maka beliau pun berdoa,”Ya Allah, berikanlah kami hati seorang pendoa sebab dengan itu akan sanggup melakukan segalanya.” . Sahabat pendoa menyatakan, salah satu hambatan kita berdoa karena kita kurang berani berhadapan dengan diri kita sendiri dalam doa. Akhirnya yang terjadi, kerap kita tidak nyaman dalam doa, dalam keheningan.
Dalam doa dengan hati kita selalu diundang dalam kebebasan untuk kembali ke dalam hati kita, menemukan diri kita, bersyukur atas kehadiranNya. Selanjutnya berbuah dengan sanggup “menerima” saudara dalam relasi cinta. Dan kehadiran Allah sungguh amat nyata kita rasakan dalam hati kita, dalam perjumpaan dan dalam keheningan. Doa yang lahir dari hati berdaya ubah atas hidup kita. Sudikah kita kembali “merajut’ dan melatih membangun relasi hati ini?

Praksis hidup rohani/doa
·   Doa yang otentik adalah doa yang menyuburkan hidup dan hidup itu pulalah yang menjadi bahan atau isi doa kita. Hidup eksistensial dan doa kita merupakan satu kenyataan bukan dua yang terpisah. Maka kerap beberapa pribadi merasa bahwa ketika memperhatikan kerja dan pelayanan maka doa dapat diganti; bahkan disisihkan. Hal yang kurang tepat.
·   Banyak halangan yang membuat kita enggan berdoa. Ada yang menyatakan karena ada masalah, kurang serius, malas, kurang konsentrasi, hanya diam dan lain – lain. Doa yang baik adalah doa yang lahir dari hati kita. Ini berarti seluruh dinamika hidup kitalah, baik sedih, gembira, susah, derita, gelap, terang dll menjadi isi doa kita. Ketika kita memahami doa sebatas hadir dan mengucapkan kata-kata (kurang mengikutsertakan hati dengan segala yang ada), maka kerap doa menjadi doa yang kering. Apakah aku berani membawa seluruh diriku dalam doa?
·   Doa juga menjadi kurang bermakna atau kurang nyaman bagi orang tertentu Karena dengan doa orang dihantar pada penemuan diri sendiri. Bila seseorang memiliki sikap “kurang mampu menerima keadaan diri” kerap doa ditinggalkan dan jatuh pada formalism dan rasionalisasi pembenaran diri.

Refleksi Pribadi
1.       Apa yang tengah terjadi dalam pergulatan hidup doaku selama ini?
2.       Bagaimana pengaruh hidup doa/rohaniku dengan perjalanan iman, panggilan, pengenalan akan diriku? Mengapa demikian?
3.       Buatlah ekpresi tertentu sebagai buah dari permenungan tema hidup doa anda. Ekspresi bisa berbentuk tulisan singkat, renungan, refleksi, penemuan diri, puisi, gambar dll.