Minggu, 13 Mei 2012

SEMANGAT MENYELAMATKAN JIWA-JIWA


 Oleh : Fr. M. Patrik Totok MArdianto, BHK

 
Pengantar:
Seorang kristiani yang percaya akan Kristus sebagai Putra Allah akan senantiasa sadar untuk melaksanakan apa yang diperintahkanNya (bdk. Yoh 14:12). Perintah Allah yang utama tidak lain adalah untuk mengasihi Allah dengan seluruh totalitas diri kita, dan mengasihi sesama sebagaimana kita mengasihi diri sendiri (bdk.Mat 22:37, 39). Panggilan senantiasa tidak pernah dilepaskan dari misi atau perutusan. Dalam panggilan Petrus, nampak jelas ikatan  antara panggilan dan misi. Yesus memanggil Petrus dan saudaranya di pinggir sungai saat menghela jala mereka. Dan pada akhir proses tersebut, Yesus memberikan ‘misi’ kepada mereka sejak saat itu menjalankan misi untuk ‘menjala manusia.’ (Luk 5:10). Perutusan mewartakan kasih itu membutuhkan ‘semangat’ membara; tidak bisa setengah-setengah.
Kisah pertapa dan muridnya
Alkisah ada seorang pemuda yang ingin bertemu Tuhan. Ia tahu dari orang sekampungnya bahwa ada seorang pertapa yg tinggal di pinggir sungai yang dapat membantunya karena Ia kerap meditasi dan memiliki kerohanian yang mendalam. Keesokkan harinya pemuda itu pergi ke pinggir sungai yang telah ditunjukkan orang kampungnya. Dari kejauhan ia melihat pertapa itu duduk meditasi di pinggir sungai. Ia buru-buru mendekatinya dan menyapanya. Guru itu bertanya,”Ada urusan apa engkau ke sini?”. Jawab pemuda itu,”Guru, ajari aku meditasi yang manjur!”. Sahut sang guru,”untuk apa?”. Pemuda itu membalas,”Aku ingin berjumpa dengan Tuhan.” Tiba-tiba guru itu memegang lehernya, dengan cepat Ia menenggelamkan kepala pemuda itu ke dalam sungai beberapa saat. Pemuda itu meronta-ronta ingin melepaskan cengkeraman guru itu. Setelah beberapa saat, guru itupun melepaskan cengkeraman pada leher pemuda itu. Pemuda itu langsung bangkit, dengan basah kuyup ia memuntahkan air di mulutnya meski sebagian sudah tertelan. Dan mencoba sekuat tenaga untuk menghirup nafas dalam-dalam. Setelah lega, dengan penuh kemarahan, ia ingin memukul guru itu. Sebelumnya ia bertanya, “kenapa kau buat itu? Hampir mati aku!”. Jawab guru itu,”apa yang kau cari”. Jawabnya,”Ingin ketemu Tuhan”. Guru itu balik bertanya,”apa yang kau rasakan saat di dalam air itu?”. Sahutnya dengan nada emosional,”Pokoknya ya  kuat sekali dan ingin sekali untuk bernafas karena susah sekali..”. Guru itu berdiri dan dengan tenang menepuk bahunya,”Adik.. jika semangatmu ingin bertemu Tuhan berkobar-kobar seperti keinginanmu yang kuat untuk bernafas tadi; maka datanglah esok hari. Tapi kalau setengah-setengah lebih baik jangan ke sini.”

Semangat Menyelamatan jiwa-jiwa (Zelus Animarum), merupakan keutamaan seorang misionaris untuk pergi kemana saja bahkan dalam keadaan-keadaan yang sulit untuk mewartakan Kristus. St. Vinsensius mengatakan “Jika cinta Allah adalah api, maka semangat menyelamatkan jiwa-jiwa adalah nyala api itu. Jika cinta itu matahari, maka semangat menyelamatkan jiwa-jiwa adalah berkas cahayanya (SV XII, 307-308). Semangat menyelamatkan jiwa merupakan wujud kasih. Marilah kita mencintai Tuhan dengan menyingsingkan lengan baju dan dengan mengucurkan keringat. Kerap kali orang mengatakan mencintai Tuhan, punya kehendak yang baik meskipun hal itu baik dan patut dihargai, namun hal itu perlu dicurigai bila orang tidak sampai pada praktek cinta yang efektif” (SV XI, 40)

Belajar dari Simon Petrus: “Bertolaklah ke tempat yang dalam”
Marilah kita merenungkan dan memperdalam tema dengan bertolak dari pengalaman panggilan Simon Petrus. Perikop panggilan Petrus di ambil dari  Lukas 5: 1-11 (Penjala ikan menjadi penjala manusia).


1 Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah.  2 Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. 3 Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. 4 Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.“  5 Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.”
Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak.  7 Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam.  8 Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.“  9 Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap;  10 demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.“  11 Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.


1.      Pengalaman hidup dan pergulatannya menjadi ‘sarana pertobatan’

“….sepanjang malam kami telah bekerja keras dan kami tak menangkap apa-apa (Luk 5:4b)

a.      Orientasi hidup lama tak membawa ‘buah-buah’ kehidupan
Simon adalah seorang nelayan ulung. Pekerjaan mencari ikan merupakan mata pencaharian yang utama baginya. Dia tahu bagaimana dan saat mana untuk mencari ikan dan kemungkinan untuk mendapatkannya. Dalam teks, kita jumpai Simon yang diliputi ‘kekecewaan’ ditambah lagi kelelahan karena semalaman tak memperoleh hasil. Orientasi hidupnya manusiawi, wajar yakni demi kebutuhan hidup, hasil melimpah; mengandalkan kekuatannya sendiri.
St. Vinsensius adalah pribadi yang manusiawi juga. Beliau pun mengalami pengalaman sebegaimana Simon alami. Orientasinya juga masih diliputi oleh pengaruh jamannya. Dia masih berorientasi pada ambisi-ambisinya, status hidupnya sebagai imam, keuntungan yang diperolehnya sebagai imam dapat membantu keluarganya yang adalah petani miskin. Vinsensius mengalami kegagalan, merasa hidup tiada arti, tiada hasil yang diperolehnya dengan usaha-usaha dan kepentingaannya itu.
Kita pun bisa mengalami hal yang sama. Orientasi hidup kita kerap keliru selama ini. Apa yang penting dan bermakna kerap kabur dalam hidup kita ini. Kerapkali kita berusaha dan berusaha seolah kita ini bisa mengatasi semua hal yang kita hadapi dan usahakan. Kita habiskan waktu, tenaga, beaya, relasi, perhatian demi hal yang kita pandang ‘paling penting’. Pada akhirnya kita kerap gagal, kecewa, lelah, nampak sia-sia karena kita hanya mengandalkan diri kita sendiri. Kita sama sekali tak menghadirkan Allah dalam hidup kita.

b.      Pertobatan: membuka hati untuk Allah bekerja
Simon dalam kelelahan dan keputusaan, meski hal itu biasa baginya sebagai seorang nelayan, Ia ‘membiarkan Yesus naik ke perahunya, melaksanakan permintaan Yesus untuk menolakkan perahunya agak jauh dari pantai’ dan yang paling penting juga ‘ikut Dia dalam satu perahu bersamaNya’. Kita tahu karakter Simon dalam kisah-kisah berikutnya yang ‘berpikiran sempit, emosional, kasar’, tapi dalam peristiwa ini nampak sekali ‘penurut’, tanpa mengeluh sedikitpun. Keistimewaan Lukas adalah Yesus bekerja dengan mengajar dan membuat mukjizat baru memilih murid-muridNya dan melanjutkan perutusanNya. Hal ini berbeda dengan Injil lain yang memilih murid-muridNya pertama baru berkarya. Pengalaman amat membentuk Simon sehingga dia ‘amat terbuka’ akan kehadiran Yesus.
Titik balik (turning point) terjadi dalam diri Vinsensius melalui membuka hatinya bagi Allah. Sebagaimana Simon, ketika membuka hati untuk Tuhan hadir, berarti membiarkan diri untuk memasuki relasi baru. Pertobataan akan terjadi dengan dimulainya untuk membuka hati untuk relasi baru bagi Allah. Pengalaman hidup apapun bernilai rohani, meski nampak biasa dan sederhana. Proses membiarkan diri Yesus ‘hadir dalam perahu hidup, menyerahkan kehendak, dan sadar selalu penyelenggaraanNya dalam hidup” merupakaan proses iman yang mengubah hidup Vinsensius menjadi lebih bermakna.
Hidup bersama Allah adalah menyangkut soal relasi. Sebagaimana relasi kita dengan sesama kita, relasi itu menyangkut hati kita. Hati kita menjadi dasar membangun kedalaman relasi kita baik dengan Allah dan sesama kita. Relasi tidak akan terbangun bila hati kita masih tertutup akan kehadiran saudara kita. Demikian dengan relasi yang kita bangun dengan  Allah. Allah senantiasa menawarkan relasi kasihNya dengan kita. Sebagaimana Yesus sendiri semasa kehidupanNya. Ia sanggup membuat berbagai macam mukjizat, namun Yesus tidak membuat ‘mukjizat’ mengubah hati orang yang tetap menutup akan tawaran kasihNya. 

c.       Perjumpaan yang mengubah
Setelah beberapa waktu hanya mendengar tentang Yesus, kini Simon berjumpa langsung, dan bahkan Yesus berkenan naik perahu dan mengajaknya turut dalam pengajaranNya. Perjumpaan sederhana namun mengubah. Simon serasa dibaharui, tidak lagi diliputi ‘persoalannya’ seputar tak dapat ikan. Ada hal lain dari hidup yang bermakna selain hanya mengejar ambisi, keinginan, dsb. Dia menjumpai pribadi karismatis. Pengalaman perjumpaan itu menumbuhkan ‘daya dorong/gairah’ yang membuatnya sadar akan orientasi hidupnya.
Vinsensius mengalami pengalaman-pengalaman dimana Allah menyapanya secara istimewa. Peristiwa yang amat menyentuhnya adalah pada saat membantu untuk memberikan pengakuan dosa dan pendampingan rohani kepada salah seorang yang saleh di Folleville. Selanjutnya dilanjutkan kotbah misinya yang pertama dimana setelah itu banyak orang miskin datang untuk mengakukan dosanya. Pengalaman berikutnya di saat beliau sakit dan dituduh mencuri uang, membekas pada dirinya akan arti kemiskinan dan kehadiran Allah. Peristiwa lainnya, adalah disaat beliau membantu teolog yang sedang mengalami krisis iman yang amat dalam. Vinsen kehilangan akal dan berdoa terus, agar Tuhan berkenan memindahkan krisis  itu kepadanya. Tuhan mengabulkannya, orang itu sembuh dan meninggal, namun Vinsen mengalami krisis yang hebat. Vinsen berjanji bila Tuhan berkenan melewatkan ini semua, ia akan mempersembahkan hidup bagi Tuhan lewat orang miskin. Vinsen pun sembuh. ‘Pengalaman perjumpaan’ yang dialami itu amat mendalam baginya dan membuatnya bertobat. Vinsen bertobat bukan dari yang jahat menjadi baik, melainkan dari menjadikan Tuhan pembantu untuk mengikuti cita-citanya sendiri, menjadi hidup sepenuhnya berorientasi mengikuti panggilan dan kehendak Tuhan.
Selain peristiwa-peristiwa tersebut dan peristiwa kegagalan demi kegagalannya, perjumpaan dengan pribadi-pribadi penting (guru/pembimbing rohaninya) juga telah secara istimewa menjadikan hidupnya mendalam. Vinsensius mengalami cinta Allah yang amat besar sungguh dirasakannya dalam kehadiran Yesus PutraNya yang miskin dan terutama hadir dalam mereka yang miskin. Salah satu wejangan gurunya yang menjadi kekuatannya adalah St. Fransiskus de Sales, yakni :“Aku tidak akan mencintai, kalau Allah sendiri tidak lebih dahulu mencintaiku”. Kobaran cinta itulah yang membara dalam hatinya. Pertobatan awal merupakan titik balik bagi Vinsensius, namun itu baru menjadi awal. Perjuangan dan penyerahan dirinya pada kehendakNya dalam pergulatan dan penderitaan menjadikannya total hidup bagi Allah lewat orang-orang miskin yang dilayani. Vinsen mengalami sendiri lewat perjuangannya jatuh bangun menyakini bahwa,”Mutu seseorang bukan terletak pada saat pertobatan atau beberapa waktu sesudahnya, melainkan ketika seseorang mengalami godaan dan penderitaan (BDSV, 177)
Kita pun kiranya sejenak ‘istirahatkan’ hidup kita agar kita pun sanggup melihat secara lebih mendalam hidup kita. Saat tenang dan hening, membantu kita untuk memaknai perjalanan hidup kita selama ini. Belajar dari Simon dan Vinsensius, kita diundang untuk menemukan makna hidup yang sementara kita jalani. Pengalaman perjumpaan dalam hidup menjadi kesempatan istimewa melihat bagaimana peran Allah yang penuh cinta bagi kita. Hanya dalam Allahlah hidup kita akan mendalam dan bermakna.

2.      Misi kita adalah misi Yesus sendiri

“…. bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu.” (Luk 5:4)

a.      Taat kepada Kehendak Allah
Setelah mengajar di atas perahu, Yesus meminta Simon untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jalanya. Simon tahu betul apa yang diminta Yesus itu seperti tidak biasa, menangkap ikan siang hari. Jawabnya,”… karena Engkau yang menyuruh, maka aku akan menebarkan jala juga”. Jawaban ini bukanlah jawaban kemarahan, melainkan jawaban kepasrahan meski nampaknya mustahil baginya. Dia sadar dia sekarang menebarkan jala, bukan karena kebutuhannya, kemauannya sendiri; melainkan karena Yesus. Disposisi batin Simon sebelumnya menjadikannya bertindak. Setelah menangkap ikan, Yesus memberikan tugas menjadi penjala manusia. Simon meninggalkan jalanya dan mengikuti Yesus. Simon sadar betul bahwa dengan mengikuti Yesus, Ia akan taat kepadaNya. Kelak, melalui hidup bersama, bekerja bersamaNya dan bertindak seperti Dia menjadikannya sadar bahwa semua itu demi ketaatan kepada kehendak Allah.
Misi utama Yesus adalah taat total kepada kehendak BapaNya. KetaatanNya itu Ia wujudkan dengan menghadirkan dan mewujudkan kehendakNya dalam seluruh dimensi hidupNya. Taat total kepada kehendak Bapa itulah yang telah diteladankan Yesus kepada murid-muridNya termasuk Simon Petrus. Apa yang dikatakanNya, dilakukannya dan dibuatnya; semuanya adalah demi ketaatannya kepada kehendak BapaNya. Dengan ketaatan itu, Yesus ingin kehendak Bapanya tidak hanya Ia taati dan terima melainkan terwujud dalam realitas hidup kita manusia. Makananku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku (Yoh 4:34). Perumpamaan-perumpamaan, mukjizat-mukjizat yang dibuatNya, perhatianNya kepada mereka yang sakit, cacat, terbuang, miskin. Pada akhirnya, seluruh hidupNya sendiri sebagai persembahan dan perwujudan kehendak Allah dalam peristiwa salib. Yesus senantiasa untuk beberapa saat menyediakan diri dan waktunya untuk menyelaraskan agar kehendakNya selaras dengan kehendak Allah.

Vinsensius mengalami pergulatan yang hebat dalam hidup berkaitan dengan pertobatannya. Orientasi hidupnya berubah setelah mengalami pertobatan karena Allah sungguh menyentuh hatinya yang terdalam, teristimewa melalui pengalaman hidup bersama orang miskin. Hidup Vinsensius dibaktikan hanya demi ketaatannya kepada kehendak Allah; dan hasrat untuk mewujudkan kehendakNya terutama dalam pelayanan kepada orang-orang miskin. "Janganlah anda merasa puas dengan berbuat baik saja, tetapi berbuatlah seperti yang dikehendaki Allah, artinya melakukan semuanya sesempurna mungkin, dan jadilah hamba kaum miskin yang layak."
(SV 19 Juli 1640) "Oh, betapa mudah untuk menjadi sangat kudus, yaitu melakukan kehendak Allah dalam segala hal." (SV II, 36)


b.      Semakin banyak orang, terutama mereka yang miskin dapat mengalami cinta kasih Allah
Semasa hidupNya, Yesus pun menunjukkan bagaimana menjadikan mereka yang ‘hilang’ kembali menemukan yang bermakna. Beberapa teks tersebut adalah:
*  Seorang gembala yang akan meninggalkan 99 ekor dan mencari yang seekor domba yang hilang (Matius  18:12)
*  Yesus mengampuni dosa orang tidak sekedar menyembuhkan (Luk 5:24)
*  Tergerak hati memberi perhatian mereka yang kelaparan, kesusahan, kebingungan (Matius  9:36; Mat 15:32)
-        “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.”
-        Matius  15:32 Lalu Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata: "Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di jalan."
*  Yesus hadir dan mengangkat mereka yang berdosa, tersingkir
-        Zakheus (Luk 19:1-10)
-        Perempuan yang tertangkap berbuat zinah (Yoh 7:53 – 8:11); diurapi perempuan berdosa (Luk 7:36-50)
-        Bartimeus
-        Pemungut cukai (berdosa) (Luk 5:27-32)
-        Sepuluh orang kusta (Luk 5:12-16) dsb.
-        Luk 4:18-19
"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."

c.       c. Cinta kasih tidak dapat diam
Cinta kasih tidak dapat diam, itulah yang ditangkap dan dihayati Vinsensius dari misteri salib Tuhan kita Yesus Kristus. Perendahan diri Allah dan cinta kasihNya yang tercurah sehabis-habisnya demi keselamatan kita, menjadi ‘api’ yang membakar hatinya. Vinsensius sendiri memberikan wejangan sepada saudara-sauranya:“Mari kita melihat Putera Allah. Hati yang begitu penuh kasih! Betapa cinta yang membara. Oh, Penyelamat kita! Sumber cinta yang direndahkan di hadapan siksaan keji salib! Siapakah yang memiliki cinta seperti Engkau? Saudara-saudaraku, jika kita memiliki sebagian dari cinta itu, akankah kita diam dan menyilangkan tangan kita? Akankah kita membiarkan mati segala hal yang bisa kita pelihara? Tidak, cinta kasih tidak dapat diam berpangku tangan, melainkan menggerakkan kita untuk menyelamatkan dan menghibur sesama.” Kobaran api cinta inilah yang membaharui hatinya dan membaharui mereka yang dihibur dan dilayani; yakni orang-orang miskin. Kita ini milik Tuhan, dan menginginkan orang lain juga menjadi milik Tuhan (SV IV, 399-1652). Tugas saya adalah bukan hanya untuk mencintai Allah, melainkan supaya Allah dicintai (SV XII, 262). Jadi karena cinta, maka kita tak bisa diam. Pengalaman cinta kasih tidak bisa diam, juga dialami Paulus. Dia mengalami peneguhan dari Tuhan dalam pengalaman penglihatannya,”Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!” (Kis 18:9)

 “Mision dan Charite” merupakan dua kata bahasa perancis yang menunjukkan hal pokok dalam pelayanan terhadap orang miskin. “Mision”, lahir dari pengalaman memberi pengakuan kepada orang saleh yang enggan mengakukan dosa, dan pengalaman kotbah misi pertama di Follevile. Perhatian dan menyelamat jiwa orang miskin untuk dapat memperoleh rahmat keselamatan dari Allah lewat Yesus menjadi hal penting bagi kaum miskin. Carite, kata yang lahir dari pengalaman di Cathillon, dimana Vinsensius memandang pelayanan perlu ditata agar lebih efektif menyentuh dan membantu mereka yang menderita. Cinta kasih yang afektif  dan efektif. Memberikan pelayanan kasih yang utuh, baik dari aspek batin dan jiwanya serta dari fisik dan kebutuhan hidup. Hati Vinsensius amat berkobar melayani orang miskin di manapun ia berada. Ia melayani orang-orang pedesaan, tersingkir, anak-anak yang dibuang, pengemis, budak-budak dll.

Kita selalu diundang untuk berani memilih sebagaimana Simon dan Vinsen, untuk ‘menebarkan jala’ dalam konteks hidup dimanapun kita berada. Undangan ini adalah pilihan bagi kita untuk memutuskan, bisa juga kita bertindak sebaliknya. Hidup kita akan menjadi bermakna dan mendalam ketika ‘melaksanakan apa yang diperintahkanNya’, yakni menghayati dan mewujudkan cinta dengan berusaha agar orang lain pun mengalami cinta Tuhan. Apakah kita berani ‘menyentuh hati yang terdalam’ dari murid-murid kita yang saat ini dikuasai oleh budaya layar; perkembangan jaman yang melongsorkan penghayatan nilai? Apakah kita berani untuk menebarkan jala untuk menyapa mereka yang merasakan kekosongan hati karena kurang dicintai dan diperhatikan? Apakah kita berani juga menebarkan jala untuk merengkuh mereka yang miskin dan tak sanggup untuk berjuang untuk hidup? Apakah aku juga sedia hati untuk mereka yang terdekat, yang aku cintai dengan memberikan apa yang apa yang mereka perlukan (keluarga)? Dan masih banyak lagi, sebab kemiskinan memiliki banyak ‘wajah’. Muder Teresa memberikan cahayanya, dia mengatakan bahwa kemiskinan yang paling mendasar dan yang paling sulit diatasi adalah ketika seseorang  mengalami penolakan, tidak diinginkan, diabaikan dan tidak dicintai. Inilah pengalaman kemiskinan yang mencekam. Beranikah kita menebarkan jala kita ke tempat demikian?


3.      Berakar dalam iman
a.      Semangat menyelamatkan jiwa-jiwa berakarkan iman
Beriman bukan sekedar kalau kita sudah pergi ke gereja setiap minggu atau telah memberikan kolekte dan sumbangan APP. Beriman juga bukan dengan mengucapkan “aku percaya” sudah dikatakan beriman. Juga beriman tidak sebatas bahwa kita telah mentaati seluruh aturan dan perintahkan sebagai orang katolik.
Beriman berarti menemukan Tuhan sebagai dasar dan tujuan hidup, yang kemudian diungkapkan kepada Allah dengan penyerahan total kepada Allah bukan karena terpaksa melainkan secara sukarela. Iman merupakan hubungan pribadi dengan Allah dan mungkin lahir karena rahmat Allah. Dalam iman inilah, manusia bertemu dengan Allah dan menyerahkan diri seutuhnya pada Sabda-sabdaNya. Penyerahan diri ini menyangkut kepatuhan akal budi dan kehendak kepada Allah.
Pertobatan radikal Vinsensius melalui pengalaman perjumpaan itu telah menjadi titik puncak iman sekaligus awal dari peziarahan imannya dalam penyerahan diri total kepada Allah melalui pembaktian kepada orang miskin. Seperti halnya Simon yang tanpa banyak bicara mengikuti perintah Yesus, pasrah, demikian pula santo kita ini. Vinsensius menyerahkan hidup kepada Yesus yang sungguh menjadi pokok hidup. Di dalam Dialah Vinsensius menemukan orientasi hidupnya yang paling utama.
Buah dari keheningan adalah doa,
Buah dari doa adalah iman
Buah dari iman adalah kasih
Buah dari kasih adalah pelayanan
Dan buah dari pelayanan adalah damai
Muder Teresa kalkuta
Percaya – melakukan pekerjaanNya
Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu” (Yoh 14:12)


b.      Menerima apa yang diberikan Allah
Tuhan memberikan kepada kita sesuai dengan keperluan yang kita perlukan, meski jalan yang ditempuhNya tidak dapat kita mengerti. Simon memperoleh ikan secara berlimpah meski cara yang diberikan Yesus tidak masuk dalam benaknya. Perahunya hampir tidak dapat menampung ikan yang didapatnya. Semuanya itu adalah pemberian dari Sang Guru, Tuhan. Dalam kaca mata iman, Vinsensius memberikan teladan iman untuk secara bebas dalam hati untuk ‘menerima apa yang diberikan Allah’ dengan suka cita. “Apa yang Allah berikan kepada kita adalah yang terbaik bagi kita, meskipun tidak menyenangkan kodrat kita dan bertentangan dengan harapan kita.”
(SV VII, 241 – 24 Agustus 1658)
. Pengalaman kalah untuk mendapatkan tanah bengkok di St Lazare, menjadikan Vinsen merasa kosong, kecewa, kehilangan. Namun sikapnya amat mendalam,”Apa saja yang dilakukan Tuhan pasti itulah yang terbaik. Kehilangan tanah itu pun menguntungkan kita, karena pengalaman ini pun berasal dari Allah. ”(SV VII, 251-252). Sikap iman ini juga terasa bergaung amat lantang lewat pilihan hidup Muder Teresa. Beliau menyatakan bahwa hal yang membedakan kita dengan pekerja sosial adalah pada ‘sikap menerima apa yang diberikan Allah’. Dengan sikap ini, kita membuka lebar atas segala pengalaman dalam kaca mata kehendak Allah sendiri yang terlaksana, meski pemberian Allah itu nampaknya masih terasa gelap, misteri, atau belum kita mengerti secara tuntas. Tanpa sikap ini kita akan mudah melayani orang lain sebatas memberi perhatian atas kemauan kita sendiri.
Apa yang diberikan Allah ini adalah segala hal dalam hidup kita. Pemberian Allah itu seperti pengalaman suka maupun derita (kegagalan, kehilangan, kekecewaan dll), pergulatan demi pergulatan hidup. Semua kita pandang secara baru, dalam kaca mata iman. Keutamaan ‘menerima’ ini memang tidaklah selalu mudah untuk kita hayati. Namun itulah panggilan kita. Melalui hidup St Vinsensius pun kita dapat belajar bagaimana kita juga ‘berusaha’ menerima diri dengan segala kerapuhan.  Sikap iman ini menjadikan kita menyediakan hati agar kehendak Allah sendiri hadir dan terlaksana atas hidup dan pelayanan kita.

c.       Percaya pada penyelenggaraan Allah

“…..Jangan takut..mulai sekarang engkau akan menjala manusia” (Luk 5:11)

Kalimat yang diucapkan Yesus kepada Simon, pada akhir kisah dengan,”jangan takut …mulai sekarang engkau akan menjala manusia”, merupakan kalimat yang amat meneguhkan hati. Yesus amat memahami bahwa untuk melaksanakan tugas yang diberikanNya, Simon akan mengalami banyak tantangan dan kesulitan dari dalam maupun dari luar dirinya. Secara manusiawi siapapun mengalami pergulatan bila ada yang mengatakan,”jangan takut”, pasti akan merasa tidak sendirian. Meski sebagai pengalaman awal, Simon mengalami dipercaya karena mendapat ‘misi menjala manusia’ sekaligus mengalami bahwa dia tidak sendiri. Ada Yesus yang sebelumnya telah menunjukkan kuasaNya; Dia pula akan menemaninya.  Simon memercayakan dirinya dan hidupnya kepada Tuhan Yesus. Hal ini tidaklah selalu mudah. Dalam pergulatan hidupnya kelak, nampak bagaimana Simon ini bertumbuh kepercayaannya akan penyelenggaraan Allah dalam hidupnya. Seorang beriman akan memberi ruang dalam hidupnya untuk sejenak membiarkan Allah sendiri turut ambil bagian dalam hidup kita.
Ada seorang bapak yang kerap ‘grusah-grusuh’ tidak sabaran terhadap segala sesuatu dan mudah menghakimi orang lain. Suatu kali ia ingin bertobat supaya dapat berguna bagi sesamanya, dengan mulai dari yang paling dekat. Ia dengar ada seorang yang saleh di tetangga desanya dan kerap manjur wejangannya. Ia ke sana dengan berjalan kaki, sore harinya sampai dan ia pun langsung menjumpainya. Setelah basa-basi sejenak, bapak ini menyampaikan maksudnya. Orang saleh itu tersenyum mendengar pertanyaannya. Tanyanya,’bapak, ajari saya jurus jitu supaya saya dapat melayani orang lain dan merasa bahagia; katanya punya jurus 7 langkah hebat?”.  Lalu guru saleh itu sambil tersenyum, menyampaikan,”sederhana saja. Namanya jurus 7 langkah sederhana.” Bapak itu menyahut,”sekarang ya…puasa berapa hari, meditasi berapa hari dst…”. Guru saleh menjawan,”bila mengalami persoalan berat, cobalah untuk sejenak hening, selanjutnya langkahkan kaki 7 langkah ke belakang, lalu 7 langkah ke depan”. “Gampang itu…” sahut bapak itu sambil berdiri memperagakan. “Kok hanya ini sih …” jawab bapak itu penuh ragu. Sang guru yang saleh,”lakukan itu tujuh puluh kali, dan bila itu terlaksana engkau akan bahagia”. “Beres…begitu saja tidak bisa, tutup mata juga bisa guru, nenek saya saja juga bisa”, sahut bapak itu sambil meminta ijin untuk pulang dan mengucapkan terima kasih.

Selama di perjalanan, bapak ini terus bergumam,” apa pengaruhnya ilmu ini. Hanya maju dan mundur saja kok ilmu hemmm. Jauh-jauh pergi jalan kaki, kok jurusnya hanya jalan 7 langkah, ada mundur segala. Ini saya sudah jalan berapa ratus langkah, berarti sudah hebat dan sakti saya ini ha ha ha…” demikianlah gumamnya.  Ia tiba malam hari di rumahnya dan masuk tanpa mengetuk pintu. Tiba-tiba, seperti disambar petir atau gempa bumi. Dia menyaksikan ada sandal lain/baru di depan pintu kamar tidurnya, dimana isterinya tidur. Darahnya sudah mendidih. Ia membuka pintu, sontak kaget bukan main, isterinya tidur dengan orang lain. Dia mundur keluar pintu penuh dengan segunung emosi, ia mengambil parang dan kembali ke kamar itu dan berhenti di depan pintu. Gumamnya “Aku akan bunuh dia, kurang ajar dst…”. Sejenak halus, dalam hatinya teringat jurus 7 langkah. Ia mau mencoba jurus itu, apa benar dan manjur. Ia mulai menghitung mundur 7 langkah,”satu, dua, tiga, empat dst.” Lalu kemudian dia menghitung yang sama 7 langkah maju. Sejenak ia diam, dan ia ingat kata guru saleh itu,”buatlah itu 70  puluh kali..”. Dengan berat ia meneruskan dan terus ….  Belum sampai yang ke 70, ada orang keluar dari kamar itu dengan daun sirih di mulutnya yang merah menyapa,”mat malam Di..lagi apa kamu?”. Bapak itu kaget setengah mati, dengan tersipu malunya dan tangan ke belakang menyembunyikan parang menjawab mertuanya dengan gugup,”oh ibuk …tiba kapan? He he ..enggak ..abis abis e..bersih gudang”. Kurdi langsung bersembunyi dan cekikikan karena bersyukur tidak marah. “Aduh… betul juga jurus 7 langkah tadi”, demikianlah Kurdi akhirnya insyaf melalui pengalaman tadi.
(“Tujuh Langkah Kebahagiaan”)

Sikap iman Vinsensius yang mendalam mengajak kita hidup secara baru, yakni meletakkan kebahagiaan hanya kepada Yesus. Hal ini juga sejalan pula dengan apa yang dihayati St. Thomas Aquinas yang mengatakan, “Hendaknya kita tidak meletakkan kebahagiaan kita pada hal yang mudah berubah”. Kebahagiaan biasanya digantungkan kepada ambisi; setelah itu terpenuhi tetaplah kita mencari. Kepada materi, tetaplah kita tidak akan pernah merasa puas. Harga diri kerap dikejar mati-matian, namun setelah orang mendapatkannya; orang merasa belum puas bahkan merasa tidak damai, gelisah. Kebahagiaan hanya dapat kita dapatkan pada Yesus. Dia yang tak akan pernah berubah. Dengan meletakkan kebahagiaan kepadaNya, kegelisahan dan ketakutan kita disirnakan. Buah yang kita alami ialah damai sebagaimana dijanjikan Yesus sendiri. “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Jangan gelisah dan gentar hatimu”. (Yoh 14:27) Kita yakin dan percaya bahwa Yesus tak akan pernah meninggalkan kita, Dia akan tetap menyertai pergulatan hidup kita. Maka “Jangan menginjak tumit (mendahului) Penyelenggaraan Ilahi, ikuti saja langkahNya” (al SVP I,68,241:II.137)


4.      Relasi yang mendalam dengan Allah menjadi penyubur
"Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.“ (Luk 5:8)
a.      Doa: relasi hati
Simon datang kembali kepada Yesus setelah mendapatkan banyak ikan di perahunya. Caranya datang kepada Yesus dengan tersungkur sambil menyampaikan isi hatinya menandakan keterbukaannya akan kahadiran Yesus. Simon tidak segan dan malu menyampaikan pengakuannya sebagai orang yang berdosa. Sebuah relasi akan mendalam bila hati disertakan dalam relasi itu. Semakin dalam Simon mengenal Yesus, semakin mendalam pula ia mengenal dirinya dihadapan Yesus. Sejak awal panggilannya Simon menemukan bahwa relasi dengan Yesus itu amat penting, karena menguatkan panggilannya. Sikap iman inilah yang menjadikannya tetap mampu ‘kembali’ kepada Yesus meski telah telah mengecewakanNya.
Berdoa merupakan pengalaman berelasi dengan Tuhan. Doa kita akan menjadi semakin mendalam bila menyertakan hati kita. St. Vinsensius kerap menggunakan istilah hati. Allah adalah Allah dari hati (XI, 156), “kekasih hati kita” (XI,102;145-147). Doa bagi Vinsensius mengikuti dinamika gerak inkarnasi. Allah yang berkenan hadir dalam dunia kita, dalam hati kita, bahkan terutama dalam hati mereka yang miskin. Dengan dorongan Roh Kudus, kita didorong untuk menemukan Yesus dalam hati kita, menemukan kehendakNya. Dan oleh Roh yang sama kita dihantar untuk berjumpa dengan Dia dalam diri saudara kita yang paling miskin. Suatu kesatuan yang utuh dalam membangun relasi kasih dengan Tuhan. Semakin doa mendalam, semakin kita akan mengenal  kepada siapa kita berdoa, apa yang kita doakan dan siapakah diri kita. Vinsensius hatinya terluka karena cinta Kristus. Dengan hati yang terluka itu pula, hatinya berkobar untuk memberikan cinta kepada mereka yang haus dan lapar. Bila kita membangun hidup doa kita sebagaimana Vinsensius teladankan, maka kita akan dapat melakukan segalanya dalam nama Tuhan. Benarnya ungkapan Vinsensius:“Berikanlah aku seorang pendoa, maka ia akan melakukan segalanya”.

Engkau, ya Allahku…
Engkau telah mengasihi aku…
Namun kasih-Mu justru melukai aku.
Engkau telah melukai dan menembus hatiku dengan panah-panah bernyala.
Engkau telah melemparkan api yang suci ini ke dalam hatiku.
Dan api itu membawaku kepada kematian demi cinta.
Oh. Terberkatilah untuk selamanya.
Ya Penyelamatku…, Engkau telah melukai hatiku.
(DBSV V, 281)

b.      Takjub/kagum akan Allah
Salah unsur penting dalam hidup rohani, hidup yang terarah kepada Allah adalah rasa takjub/kagum akan Allah. Relasi yang mendalam dua pribadi akan menjadi baru dan mendalam bila pribadi tersebut memiliki kekaguman/takjub akan pribadi yang lain. Buah-buah kekaguman/takjub dalam hidup rohani adalah sebagai berikut:
1)      Aku bahagia, gembira, sukacita karenaNya, di dalamNya, bagiNya
2)      Aku lebih ‘tergila-gila” untuk mencariNya, menemuiNya, mendekatiNya, mengenaliNya, melekatiNya
3)      Kesetiaanku padaNya terus terasa terpelihara makin kuat dan mesra
4)      Relasiku dengan Dia senantiasa teralami baru (indah dan berdaya)
5)      Aku mengalami dibuat gampang untuk menemuiNya dan bersatu denganNya (melaui apa dan siapapun)
6)      Aku selalu dipacu untuk ‘membela Dia’: a) Aku mewartakan Dia. b) Hatiku gembira jika orang mendekati. c) Hatiku prihatin jika orang anti Dia,menjauhi Dia. d) Aku mengutamakan, memperjuangkan Dia nomor 1 di atas segalanya, maka:

     AKU    akan TULUS,CEPAT,CEMBIRA,TEPAT  untuk KURBANKAN DIRI, LUPAKAN DIRI 
                                                                                              (Luk 9:24)
                                                                                              BAGI KEPENTINGANNYA
7)      Kadang disertai cucuran air mata karena cinta kepadaNya
8)  Kadang menumbuhkan segar dan kuatnya raga. (meringankan lelah/sakit fisik, mengurangi lelah/sakit fisik, menyembuhkan lelah/sakit fisik)
9)      Bisa memperlambat proses penuaan.
10)      Meringankan beban hidup bahkan menghalau beban hidup.
11)      Memunculkan dan sekaligus menambah energi dan kehendak yang kuat untuk mencintaiNya dengan tindakan konkret.
12)      Mengalirkan inspirasi-inspirasi baru, pencerahan, penerangan untuk makin hidup bagiNya.
13)      Dapat melahirkan “inner beauty” dan “beraura cerah”
14)      Dan rahmat-rahmat lainnya.

c.   Senantiasa membaharui hati
Vinsensius amat menaruh perhatian kepada pembaharuan hati. Pembaharuan hati tersebut dilakukan dengan senantiasa bertobat dan belajar. Bertobat menjadi sebuah kebutuhan terus-menerus. Belajar menjadi sarana memperkaya jiwa dan sarana menuju Allah. Belajar dapat dilakukan dengan studi dari gagasan orang lain; atau juga melalui ‘buku kehidupan’ saudara kita yang miskin. Disinilah perjumpaan menjadi ‘momen/saat’ yang penuh daya transformatif.

5.      Berani menjadi ‘berbeda’ :
a.      Cinta Allah menjadi kekuatan dalam bermisi
Semangat dasar yang mengobarkan hati kita tidak ada lain adalah cinta Allah yang amat besar yang boleh kita alami dan rasakan. Hanya dengan cintaNya, hati kita akan berkobar-kobar untuk mencintai sebagaimana Allah sendiri mencintai kita dan orang-orang miskin.

b.      Menjadikan karya kita bersifat rohani
St. Vinsensius mengajak kita menjadikan apa yang kita lakukan; terutama pelayanan kasih kepada saudara kita yang miskin sebagai jalan untuk berjumpa dan melayani Kristus sendiri. “Di dalam melayani orang miskin, anda melayani Yesus Kristus sendiri. Anda melayani Kristus dalam pribadi orang miskin.” (SV IX, 252 – 13 Pebruari 1646) “Usahakanlah sekuat tenaga agar anda semakin berkenan baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan orang miskin.”
(SV VI, 42 – 25 Juli 1656)

c.       Menghantar orang lain kepada yang ‘paling dalam’
Masuk kekedalaman pribadi dan bersatu dengan Tuhan; dengan yang paling agung dan bermakna dalam hidup merupakan pilihan. Menjadikan orang sampai pada pengalaman yang sama adalah pilihan yang ‘amat berbeda’. Inilah kebahagiaan otentik dari murid-murid Yesus.

d.      Berani memasuki kesunyian
Seorang yang berkobar hatinya untuk menyelamatkan jiwa-jiwa adalah mereka yang sedia dan berani memasuki kesunyian. Kesunyian merupakan konsekuensi yang harus kita terima sebagai orang beriman, bukan untuk dihindari. Kita sadar bahwa kehendak kita tidak selalu sejalan dan selaras dengan kehendakNya. Maka dalam usaha menyelaraskan kehendak kita dengan kehendakNya, kita akan memasuki suasana batin yang sunyi dalam pencaharian kehendakNya. Sebagaimana Muder Teresa yang mengalami kesunyian yang mendalam, demikian juga St Vinsensius mengalaminya; demikian pula sebagai orang beriman kita diundang untuk senantiasa berteman dengan kesunyian. Dengan kesunyian itulah kita dihantar pada pengalaman iman seorang kristiani yang sejati. Karena justru pada keadaan itulah, kita diundang untuk menggantungkan sepenuhnya kepada penyelenggaraan Allah.

Bagi orang tak beriman, kesunyian menjadikan diri mereka ‘lari’ dan mencari pemenuhan dalam hal-hal yang mereka pandang dapat memenuhi kesepian mereka. Mereka dapat mencari dalam kesibukan, barang-barang, uang, jabatan, harta milik, relasi dll. Muder Teresa mengajarkan,”penderitaan memang dapat menghantar pada kesunyian. Namun janganlah meninggalkan penderitaan sebab justru dengan tetap di dalamnya, kita akan menemukan jawaban dan kekuatan.”

e.      Senantiasa memiliki harapan akan kehadiran Allah
Kebijaksanaan Layang-layang dan kendi. Dalam arus hidup yang sedemikian kuat menyeret hidup kita bisa saja terbawa angin, diombang-ambingkan. Namun seperti halnya layang-layang, meski terombang-ambing, justru menggunakan deru angin untuk tetap hadir konsisten, tetap berpegang pada yang ‘empunya’ layang-layang yang memegang talinya. Senantiasa hadir dan terlibat dalam hidup yang serba berubah tanpa kehilangan Yesus sebagai pegangan hidup. Kendi yang diisi untuk memberikan diri sampai habis. Kita pun membagi hidup seraya memasrahkan segalanya pada kehendak Tuhan sendiri. Biarlah Allah sendiri yang ‘mengisi’ kekosongan diri kita. Allah tetap bekerja sampai saat ini dan senantiasa menemani kita.

f.        Mau direpotkan oleh orang miskin
Cinta kasih itu kreatif. Orang yang dibakar oleh cinta kasih tak akan pernah diam. Bila kita diundang untuk itu, maka tidaklah boleh kita menghindar sebab untuk itulah kita dipanggil. Kita akan bersuka cita dan bersyukur karena diperkenankan ambil bagian dalam cara Yesus menghadirkan DiriNya. Kita akan sediakan seluruh diri kita hanya demi segalanya menjadi baik, terutama dalam diri saudara kita.

g.      Senantiasa terbuka akan kerjasama
Cinta kasih itu menyatukan hati. Kita akan berani hadir secara ‘berbeda’ karena kita terbuka akan persaudaraan dengan siapa saja demi pelayanan kasih ini semakin efektif bagi saudara kita yang miskin