Oleh : Fr. M. Patrik Totok MArdianto, BHK
Pengantar:
Seorang kristiani yang
percaya akan Kristus sebagai Putra Allah akan senantiasa sadar untuk
melaksanakan apa yang diperintahkanNya (bdk. Yoh 14:12). Perintah Allah yang
utama tidak lain adalah untuk mengasihi Allah dengan seluruh totalitas diri
kita, dan mengasihi sesama sebagaimana kita mengasihi diri sendiri (bdk.Mat
22:37, 39). Panggilan senantiasa tidak pernah dilepaskan dari misi atau perutusan.
Dalam panggilan Petrus, nampak jelas ikatan
antara panggilan dan misi. Yesus memanggil Petrus dan saudaranya di
pinggir sungai saat menghela jala mereka. Dan pada akhir proses tersebut, Yesus
memberikan ‘misi’ kepada mereka sejak saat itu menjalankan misi untuk ‘menjala
manusia.’ (Luk 5:10). Perutusan mewartakan kasih itu membutuhkan ‘semangat’
membara; tidak bisa setengah-setengah.
Kisah pertapa dan muridnya
Alkisah ada seorang pemuda
yang ingin bertemu Tuhan. Ia tahu dari orang sekampungnya bahwa ada seorang
pertapa yg tinggal di pinggir sungai yang dapat membantunya karena Ia kerap
meditasi dan memiliki kerohanian yang mendalam. Keesokkan harinya pemuda itu
pergi ke pinggir sungai yang telah ditunjukkan orang kampungnya. Dari kejauhan
ia melihat pertapa itu duduk meditasi di pinggir sungai. Ia buru-buru
mendekatinya dan menyapanya. Guru itu bertanya,”Ada urusan apa engkau ke sini?”. Jawab pemuda itu,”Guru, ajari aku meditasi yang manjur!”.
Sahut sang guru,”untuk apa?”. Pemuda
itu membalas,”Aku ingin berjumpa dengan
Tuhan.” Tiba-tiba guru itu memegang lehernya, dengan cepat Ia
menenggelamkan kepala pemuda itu ke dalam sungai beberapa saat. Pemuda itu
meronta-ronta ingin melepaskan cengkeraman guru itu. Setelah beberapa saat,
guru itupun melepaskan cengkeraman pada leher pemuda itu. Pemuda itu langsung
bangkit, dengan basah kuyup ia memuntahkan air di mulutnya meski sebagian sudah
tertelan. Dan mencoba sekuat tenaga untuk menghirup nafas dalam-dalam. Setelah
lega, dengan penuh kemarahan, ia ingin memukul guru itu. Sebelumnya ia
bertanya, “kenapa kau buat itu? Hampir
mati aku!”. Jawab guru itu,”apa yang
kau cari”. Jawabnya,”Ingin ketemu
Tuhan”. Guru itu balik bertanya,”apa
yang kau rasakan saat di dalam air itu?”. Sahutnya dengan nada emosional,”Pokoknya ya kuat sekali dan ingin sekali untuk bernafas
karena susah sekali..”. Guru itu berdiri dan dengan tenang menepuk bahunya,”Adik.. jika semangatmu ingin bertemu Tuhan
berkobar-kobar seperti keinginanmu yang kuat untuk bernafas tadi; maka
datanglah esok hari. Tapi kalau setengah-setengah lebih baik jangan ke sini.”
Semangat Menyelamatan
jiwa-jiwa (Zelus Animarum), merupakan
keutamaan seorang misionaris untuk pergi kemana saja bahkan dalam
keadaan-keadaan yang sulit untuk mewartakan Kristus. St. Vinsensius mengatakan “Jika cinta Allah adalah api, maka semangat
menyelamatkan jiwa-jiwa adalah nyala api itu. Jika cinta itu matahari, maka
semangat menyelamatkan jiwa-jiwa adalah berkas cahayanya (SV XII, 307-308).
Semangat menyelamatkan jiwa merupakan wujud kasih. Marilah kita mencintai Tuhan
dengan menyingsingkan lengan baju dan dengan mengucurkan keringat. Kerap kali
orang mengatakan mencintai Tuhan, punya kehendak yang baik meskipun hal itu
baik dan patut dihargai, namun hal itu perlu dicurigai bila orang tidak sampai
pada praktek cinta yang efektif” (SV XI, 40)
Belajar dari
Simon Petrus: “Bertolaklah ke tempat yang dalam”
Marilah kita merenungkan dan memperdalam tema dengan
bertolak dari pengalaman panggilan Simon Petrus. Perikop panggilan Petrus di
ambil dari Lukas 5: 1-11 (Penjala ikan
menjadi penjala manusia).
1 Pada suatu kali
Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia
hendak mendengarkan firman Allah. 2
Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang
membasuh jalanya. 3 Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia
duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. 4 Setelah selesai
berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan
tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.“ 5 Simon menjawab: "Guru,
telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa,
tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.”
Dan setelah mereka melakukannya, mereka
menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. 7 Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang
lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka
bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. 8 Ketika Simon Petrus melihat hal
itu ia pun tersungkur di depan Yesus
dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang
berdosa.“ 9 Sebab ia
dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan
yang mereka tangkap; 10
demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman
Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau
akan menjala manusia.“ 11 Dan
sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan
segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.
1. Pengalaman hidup dan pergulatannya menjadi ‘sarana pertobatan’
“….sepanjang malam kami telah bekerja keras dan kami tak menangkap
apa-apa (Luk 5:4b)
a.
Orientasi hidup lama tak membawa ‘buah-buah’ kehidupan
Simon adalah seorang nelayan
ulung. Pekerjaan mencari ikan merupakan mata pencaharian yang utama baginya.
Dia tahu bagaimana dan saat mana untuk mencari ikan dan kemungkinan untuk
mendapatkannya. Dalam teks, kita jumpai Simon yang diliputi ‘kekecewaan’
ditambah lagi kelelahan karena semalaman tak memperoleh hasil. Orientasi
hidupnya manusiawi, wajar yakni demi kebutuhan hidup, hasil melimpah;
mengandalkan kekuatannya sendiri.
St. Vinsensius adalah
pribadi yang manusiawi juga. Beliau pun mengalami pengalaman sebegaimana Simon
alami. Orientasinya juga masih diliputi oleh pengaruh jamannya. Dia masih
berorientasi pada ambisi-ambisinya, status hidupnya sebagai imam, keuntungan
yang diperolehnya sebagai imam dapat membantu keluarganya yang adalah petani
miskin. Vinsensius mengalami kegagalan, merasa hidup tiada arti, tiada hasil
yang diperolehnya dengan usaha-usaha dan kepentingaannya itu.
Kita pun bisa mengalami hal
yang sama. Orientasi hidup kita kerap keliru selama ini. Apa yang penting dan
bermakna kerap kabur dalam hidup kita ini. Kerapkali kita berusaha dan berusaha
seolah kita ini bisa mengatasi semua hal yang kita hadapi dan usahakan. Kita
habiskan waktu, tenaga, beaya, relasi, perhatian demi hal yang kita pandang
‘paling penting’. Pada akhirnya kita kerap gagal, kecewa, lelah, nampak sia-sia
karena kita hanya mengandalkan diri kita sendiri. Kita sama sekali tak menghadirkan Allah dalam hidup kita.
b.
Pertobatan: membuka hati untuk Allah bekerja
Simon dalam kelelahan dan
keputusaan, meski hal itu biasa baginya sebagai seorang nelayan, Ia ‘membiarkan Yesus naik ke perahunya,
melaksanakan permintaan Yesus untuk menolakkan perahunya agak jauh dari pantai’
dan yang paling penting juga ‘ikut Dia
dalam satu perahu bersamaNya’. Kita tahu karakter Simon dalam kisah-kisah
berikutnya yang ‘berpikiran sempit,
emosional, kasar’, tapi dalam peristiwa ini nampak sekali ‘penurut’, tanpa mengeluh
sedikitpun. Keistimewaan Lukas adalah Yesus bekerja dengan mengajar dan membuat
mukjizat baru memilih murid-muridNya dan melanjutkan perutusanNya. Hal ini
berbeda dengan Injil lain yang memilih murid-muridNya pertama baru berkarya.
Pengalaman amat membentuk Simon sehingga dia ‘amat terbuka’ akan kehadiran
Yesus.
Titik balik (turning point) terjadi dalam diri
Vinsensius melalui membuka hatinya bagi Allah. Sebagaimana Simon, ketika
membuka hati untuk Tuhan hadir, berarti membiarkan diri untuk memasuki relasi
baru. Pertobataan akan terjadi dengan dimulainya untuk membuka hati untuk
relasi baru bagi Allah. Pengalaman hidup apapun bernilai rohani, meski nampak
biasa dan sederhana. Proses membiarkan diri Yesus ‘hadir dalam perahu hidup,
menyerahkan kehendak, dan sadar selalu penyelenggaraanNya dalam hidup”
merupakaan proses iman yang mengubah hidup Vinsensius menjadi lebih bermakna.
Hidup bersama Allah adalah
menyangkut soal relasi. Sebagaimana relasi kita dengan sesama kita, relasi itu
menyangkut hati kita. Hati kita menjadi dasar membangun kedalaman relasi kita
baik dengan Allah dan sesama kita. Relasi tidak akan terbangun bila hati kita
masih tertutup akan kehadiran saudara kita. Demikian dengan relasi yang kita
bangun dengan Allah. Allah senantiasa
menawarkan relasi kasihNya dengan kita. Sebagaimana Yesus sendiri semasa
kehidupanNya. Ia sanggup membuat berbagai macam mukjizat, namun Yesus tidak
membuat ‘mukjizat’ mengubah hati orang yang tetap menutup akan tawaran
kasihNya.
c.
Perjumpaan yang mengubah
Setelah beberapa waktu hanya
mendengar tentang Yesus, kini Simon berjumpa langsung, dan bahkan Yesus
berkenan naik perahu dan mengajaknya turut dalam pengajaranNya. Perjumpaan
sederhana namun mengubah. Simon serasa dibaharui, tidak lagi diliputi ‘persoalannya’
seputar tak dapat ikan. Ada hal lain dari hidup yang bermakna selain hanya
mengejar ambisi, keinginan, dsb. Dia menjumpai pribadi karismatis. Pengalaman
perjumpaan itu menumbuhkan ‘daya dorong/gairah’ yang membuatnya sadar akan
orientasi hidupnya.
Vinsensius mengalami
pengalaman-pengalaman dimana Allah menyapanya secara istimewa. Peristiwa yang
amat menyentuhnya adalah pada saat membantu untuk memberikan pengakuan dosa dan
pendampingan rohani kepada salah seorang yang saleh di Folleville. Selanjutnya
dilanjutkan kotbah misinya yang pertama dimana setelah itu banyak orang miskin
datang untuk mengakukan dosanya. Pengalaman berikutnya di saat beliau sakit dan
dituduh mencuri uang, membekas pada dirinya akan arti kemiskinan dan kehadiran
Allah. Peristiwa lainnya, adalah disaat beliau membantu teolog yang sedang
mengalami krisis iman yang amat dalam. Vinsen kehilangan akal dan berdoa terus,
agar Tuhan berkenan memindahkan krisis
itu kepadanya. Tuhan mengabulkannya, orang itu sembuh dan meninggal,
namun Vinsen mengalami krisis yang hebat. Vinsen berjanji bila Tuhan berkenan
melewatkan ini semua, ia akan mempersembahkan hidup bagi Tuhan lewat orang
miskin. Vinsen pun sembuh. ‘Pengalaman perjumpaan’ yang dialami itu amat
mendalam baginya dan membuatnya bertobat. Vinsen bertobat bukan dari yang jahat menjadi baik, melainkan dari menjadikan Tuhan
pembantu untuk mengikuti cita-citanya sendiri, menjadi hidup sepenuhnya
berorientasi mengikuti panggilan dan kehendak Tuhan.
Selain peristiwa-peristiwa
tersebut dan peristiwa kegagalan demi kegagalannya, perjumpaan dengan
pribadi-pribadi penting (guru/pembimbing rohaninya) juga telah secara istimewa
menjadikan hidupnya mendalam. Vinsensius mengalami cinta Allah yang amat besar
sungguh dirasakannya dalam kehadiran Yesus PutraNya yang miskin dan terutama
hadir dalam mereka yang miskin. Salah satu wejangan gurunya yang menjadi
kekuatannya adalah St. Fransiskus de Sales, yakni :“Aku tidak akan mencintai, kalau Allah sendiri tidak lebih dahulu
mencintaiku”. Kobaran cinta itulah yang membara dalam hatinya. Pertobatan
awal merupakan titik balik bagi Vinsensius, namun itu baru menjadi awal.
Perjuangan dan penyerahan dirinya pada kehendakNya dalam pergulatan dan
penderitaan menjadikannya total hidup bagi Allah lewat orang-orang miskin yang
dilayani. Vinsen mengalami sendiri lewat perjuangannya jatuh bangun menyakini
bahwa,”Mutu seseorang bukan terletak pada
saat pertobatan atau beberapa waktu sesudahnya, melainkan ketika seseorang
mengalami godaan dan penderitaan (BDSV, 177)
Kita pun kiranya sejenak
‘istirahatkan’ hidup kita agar kita pun sanggup melihat secara lebih mendalam
hidup kita. Saat tenang dan hening, membantu kita untuk memaknai perjalanan
hidup kita selama ini. Belajar dari Simon dan Vinsensius, kita diundang untuk menemukan
makna hidup yang sementara kita jalani. Pengalaman perjumpaan dalam hidup
menjadi kesempatan istimewa melihat bagaimana peran Allah yang penuh cinta bagi
kita. Hanya dalam Allahlah hidup kita akan mendalam dan bermakna.
2. Misi kita adalah misi Yesus sendiri
“….
bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu.” (Luk 5:4)
a.
Taat kepada Kehendak Allah
Setelah mengajar di atas
perahu, Yesus meminta Simon untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan
jalanya. Simon tahu betul apa yang diminta Yesus itu seperti tidak biasa,
menangkap ikan siang hari. Jawabnya,”…
karena Engkau yang menyuruh, maka aku akan menebarkan jala juga”. Jawaban
ini bukanlah jawaban kemarahan, melainkan jawaban kepasrahan meski nampaknya
mustahil baginya. Dia sadar dia sekarang menebarkan jala, bukan karena
kebutuhannya, kemauannya sendiri; melainkan karena Yesus. Disposisi batin Simon
sebelumnya menjadikannya bertindak. Setelah menangkap ikan, Yesus memberikan
tugas menjadi penjala manusia. Simon meninggalkan jalanya dan mengikuti Yesus.
Simon sadar betul bahwa dengan mengikuti Yesus, Ia akan taat kepadaNya. Kelak,
melalui hidup bersama, bekerja bersamaNya dan bertindak seperti Dia
menjadikannya sadar bahwa semua itu demi ketaatan kepada kehendak Allah.
Misi utama Yesus adalah taat
total kepada kehendak BapaNya. KetaatanNya itu Ia wujudkan dengan menghadirkan
dan mewujudkan kehendakNya dalam seluruh dimensi hidupNya. Taat total kepada
kehendak Bapa itulah yang telah diteladankan Yesus kepada murid-muridNya
termasuk Simon Petrus. Apa yang dikatakanNya, dilakukannya dan dibuatnya;
semuanya adalah demi ketaatannya kepada kehendak BapaNya. Dengan ketaatan itu,
Yesus ingin kehendak Bapanya tidak hanya Ia taati dan terima melainkan terwujud
dalam realitas hidup kita manusia. Makananku adalah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku (Yoh 4:34).
Perumpamaan-perumpamaan, mukjizat-mukjizat yang dibuatNya, perhatianNya
kepada mereka yang sakit, cacat, terbuang, miskin. Pada akhirnya, seluruh
hidupNya sendiri sebagai persembahan dan perwujudan kehendak Allah dalam
peristiwa salib. Yesus senantiasa untuk beberapa saat menyediakan diri dan
waktunya untuk menyelaraskan agar kehendakNya selaras dengan kehendak Allah.
Vinsensius mengalami
pergulatan yang hebat dalam hidup berkaitan dengan pertobatannya. Orientasi
hidupnya berubah setelah mengalami pertobatan karena Allah sungguh menyentuh
hatinya yang terdalam, teristimewa melalui pengalaman hidup bersama orang
miskin. Hidup Vinsensius dibaktikan hanya demi ketaatannya kepada kehendak
Allah; dan hasrat untuk mewujudkan kehendakNya terutama dalam pelayanan kepada
orang-orang miskin. "Janganlah anda
merasa puas dengan berbuat baik saja, tetapi berbuatlah seperti yang
dikehendaki Allah, artinya melakukan semuanya sesempurna mungkin, dan jadilah
hamba kaum miskin yang layak."
(SV 19 Juli 1640) "Oh, betapa mudah untuk menjadi sangat kudus, yaitu melakukan kehendak Allah dalam segala hal." (SV II, 36)
(SV 19 Juli 1640) "Oh, betapa mudah untuk menjadi sangat kudus, yaitu melakukan kehendak Allah dalam segala hal." (SV II, 36)
b.
Semakin banyak orang, terutama mereka yang miskin dapat mengalami cinta
kasih Allah
Semasa hidupNya, Yesus pun
menunjukkan bagaimana menjadikan mereka yang ‘hilang’ kembali menemukan yang
bermakna. Beberapa teks tersebut adalah:
* Seorang gembala yang akan meninggalkan 99 ekor
dan mencari yang seekor domba yang hilang (Matius 18:12)
* Yesus mengampuni dosa orang tidak sekedar
menyembuhkan (Luk 5:24)
* Tergerak hati memberi perhatian mereka yang
kelaparan, kesusahan, kebingungan (Matius
9:36; Mat 15:32)
-
“Melihat
orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka,
karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.”
-
Matius 15:32 Lalu Yesus memanggil murid-murid-Nya
dan berkata: "Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak itu.
Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Aku
tidak mau menyuruh mereka pulang dengan lapar, nanti mereka pingsan di
jalan."
* Yesus
hadir dan mengangkat mereka yang berdosa, tersingkir
-
Zakheus
(Luk 19:1-10)
-
Perempuan
yang tertangkap berbuat zinah (Yoh 7:53 – 8:11); diurapi perempuan berdosa (Luk
7:36-50)
-
Bartimeus
-
Pemungut
cukai (berdosa) (Luk 5:27-32)
-
Sepuluh
orang kusta (Luk 5:12-16) dsb.
-
Luk 4:18-19
"Roh Tuhan ada pada-Ku,
oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada
orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk
membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan
telah datang."
c. c. Cinta kasih tidak dapat diam
Cinta
kasih tidak dapat diam, itulah yang ditangkap dan dihayati Vinsensius dari misteri
salib Tuhan kita Yesus Kristus. Perendahan diri Allah dan cinta kasihNya yang
tercurah sehabis-habisnya demi keselamatan kita, menjadi ‘api’ yang membakar
hatinya. Vinsensius sendiri memberikan wejangan sepada saudara-sauranya:“Mari kita melihat Putera Allah. Hati yang
begitu penuh kasih! Betapa cinta yang membara. Oh, Penyelamat kita! Sumber
cinta yang direndahkan di hadapan siksaan keji salib! Siapakah yang memiliki
cinta seperti Engkau? Saudara-saudaraku, jika kita memiliki sebagian dari cinta
itu, akankah kita diam dan menyilangkan tangan kita? Akankah kita membiarkan
mati segala hal yang bisa kita pelihara? Tidak, cinta kasih tidak dapat diam
berpangku tangan, melainkan menggerakkan kita untuk menyelamatkan dan menghibur
sesama.” Kobaran api cinta inilah yang membaharui hatinya dan membaharui
mereka yang dihibur dan dilayani; yakni orang-orang miskin. Kita ini milik Tuhan, dan menginginkan orang
lain juga menjadi milik Tuhan (SV IV, 399-1652). Tugas saya adalah bukan hanya
untuk mencintai Allah, melainkan supaya Allah dicintai (SV XII, 262). Jadi karena cinta, maka kita tak bisa diam.
Pengalaman cinta kasih tidak bisa diam, juga dialami Paulus. Dia mengalami
peneguhan dari Tuhan dalam pengalaman penglihatannya,”Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!” (Kis
18:9)
“Mision dan Charite” merupakan dua kata bahasa
perancis yang menunjukkan hal pokok dalam pelayanan terhadap orang miskin.
“Mision”, lahir dari pengalaman memberi pengakuan kepada orang saleh yang
enggan mengakukan dosa, dan pengalaman kotbah misi pertama di Follevile. Perhatian
dan menyelamat jiwa orang miskin untuk dapat memperoleh rahmat keselamatan dari
Allah lewat Yesus menjadi hal penting bagi kaum miskin. Carite, kata yang lahir
dari pengalaman di Cathillon, dimana Vinsensius memandang pelayanan perlu
ditata agar lebih efektif menyentuh dan membantu mereka yang menderita. Cinta
kasih yang afektif dan efektif. Memberikan
pelayanan kasih yang utuh, baik dari aspek batin dan jiwanya serta dari fisik
dan kebutuhan hidup. Hati Vinsensius amat berkobar melayani orang miskin di
manapun ia berada. Ia melayani orang-orang pedesaan, tersingkir, anak-anak yang
dibuang, pengemis, budak-budak dll.
Kita selalu diundang untuk
berani memilih sebagaimana Simon dan Vinsen, untuk ‘menebarkan jala’ dalam
konteks hidup dimanapun kita berada. Undangan ini adalah pilihan bagi kita
untuk memutuskan, bisa juga kita bertindak sebaliknya. Hidup kita akan menjadi
bermakna dan mendalam ketika ‘melaksanakan apa yang diperintahkanNya’, yakni
menghayati dan mewujudkan cinta dengan berusaha agar orang lain pun mengalami
cinta Tuhan. Apakah kita berani ‘menyentuh
hati yang terdalam’ dari murid-murid kita yang saat ini dikuasai oleh
budaya layar; perkembangan jaman yang melongsorkan penghayatan nilai? Apakah
kita berani untuk menebarkan jala untuk menyapa mereka yang merasakan
kekosongan hati karena kurang dicintai dan diperhatikan? Apakah kita berani
juga menebarkan jala untuk merengkuh mereka yang miskin dan tak sanggup untuk
berjuang untuk hidup? Apakah aku juga sedia hati untuk mereka yang terdekat, yang
aku cintai dengan memberikan apa yang apa yang mereka perlukan (keluarga)? Dan
masih banyak lagi, sebab kemiskinan memiliki banyak ‘wajah’. Muder Teresa
memberikan cahayanya, dia mengatakan bahwa kemiskinan yang paling mendasar dan
yang paling sulit diatasi adalah ketika seseorang mengalami penolakan, tidak diinginkan, diabaikan
dan tidak dicintai. Inilah pengalaman kemiskinan yang mencekam. Beranikah kita
menebarkan jala kita ke tempat demikian?
3. Berakar dalam iman
a.
Semangat menyelamatkan jiwa-jiwa berakarkan iman
Beriman bukan sekedar kalau
kita sudah pergi ke gereja setiap minggu atau telah memberikan kolekte dan
sumbangan APP. Beriman juga bukan dengan mengucapkan “aku percaya” sudah
dikatakan beriman. Juga beriman tidak sebatas bahwa kita telah mentaati seluruh
aturan dan perintahkan sebagai orang katolik.
Beriman berarti menemukan
Tuhan sebagai dasar dan tujuan hidup, yang kemudian diungkapkan kepada Allah
dengan penyerahan total kepada Allah bukan karena terpaksa melainkan secara
sukarela. Iman merupakan hubungan pribadi dengan Allah dan mungkin lahir karena
rahmat Allah. Dalam iman inilah, manusia bertemu dengan Allah dan menyerahkan
diri seutuhnya pada Sabda-sabdaNya. Penyerahan diri ini menyangkut kepatuhan
akal budi dan kehendak kepada Allah.
Pertobatan radikal Vinsensius melalui pengalaman
perjumpaan itu telah menjadi titik puncak iman
sekaligus awal dari peziarahan imannya dalam penyerahan diri total
kepada Allah melalui pembaktian kepada orang miskin. Seperti halnya Simon yang
tanpa banyak bicara mengikuti perintah Yesus, pasrah, demikian pula santo kita
ini. Vinsensius menyerahkan hidup kepada Yesus yang sungguh menjadi pokok
hidup. Di dalam Dialah Vinsensius menemukan orientasi hidupnya yang paling
utama.
Buah dari keheningan adalah doa,
Buah dari doa adalah iman
Buah dari iman adalah kasih
Buah dari kasih adalah pelayanan
Dan buah dari pelayanan adalah damai
Muder
Teresa kalkuta
Percaya –
melakukan pekerjaanNya
Sesungguhnya
barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang
Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu” (Yoh 14:12)
b.
Menerima apa yang diberikan Allah
Tuhan
memberikan kepada kita sesuai dengan keperluan yang kita perlukan, meski jalan
yang ditempuhNya tidak dapat kita mengerti. Simon memperoleh ikan secara
berlimpah meski cara yang diberikan Yesus tidak masuk dalam benaknya. Perahunya
hampir tidak dapat menampung ikan yang didapatnya. Semuanya itu adalah
pemberian dari Sang Guru, Tuhan. Dalam kaca mata iman, Vinsensius memberikan
teladan iman untuk secara bebas dalam hati untuk
‘menerima apa yang diberikan Allah’ dengan suka cita. “Apa yang Allah
berikan kepada kita adalah yang terbaik bagi kita, meskipun tidak menyenangkan
kodrat kita dan bertentangan dengan harapan kita.”
(SV VII, 241 – 24 Agustus 1658). Pengalaman kalah untuk mendapatkan tanah bengkok di St Lazare, menjadikan Vinsen merasa kosong, kecewa, kehilangan. Namun sikapnya amat mendalam,”Apa saja yang dilakukan Tuhan pasti itulah yang terbaik. Kehilangan tanah itu pun menguntungkan kita, karena pengalaman ini pun berasal dari Allah. ”(SV VII, 251-252). Sikap iman ini juga terasa bergaung amat lantang lewat pilihan hidup Muder Teresa. Beliau menyatakan bahwa hal yang membedakan kita dengan pekerja sosial adalah pada ‘sikap menerima apa yang diberikan Allah’. Dengan sikap ini, kita membuka lebar atas segala pengalaman dalam kaca mata kehendak Allah sendiri yang terlaksana, meski pemberian Allah itu nampaknya masih terasa gelap, misteri, atau belum kita mengerti secara tuntas. Tanpa sikap ini kita akan mudah melayani orang lain sebatas memberi perhatian atas kemauan kita sendiri.
(SV VII, 241 – 24 Agustus 1658). Pengalaman kalah untuk mendapatkan tanah bengkok di St Lazare, menjadikan Vinsen merasa kosong, kecewa, kehilangan. Namun sikapnya amat mendalam,”Apa saja yang dilakukan Tuhan pasti itulah yang terbaik. Kehilangan tanah itu pun menguntungkan kita, karena pengalaman ini pun berasal dari Allah. ”(SV VII, 251-252). Sikap iman ini juga terasa bergaung amat lantang lewat pilihan hidup Muder Teresa. Beliau menyatakan bahwa hal yang membedakan kita dengan pekerja sosial adalah pada ‘sikap menerima apa yang diberikan Allah’. Dengan sikap ini, kita membuka lebar atas segala pengalaman dalam kaca mata kehendak Allah sendiri yang terlaksana, meski pemberian Allah itu nampaknya masih terasa gelap, misteri, atau belum kita mengerti secara tuntas. Tanpa sikap ini kita akan mudah melayani orang lain sebatas memberi perhatian atas kemauan kita sendiri.
Apa yang diberikan Allah ini
adalah segala hal dalam hidup kita. Pemberian Allah itu seperti pengalaman suka
maupun derita (kegagalan, kehilangan, kekecewaan dll), pergulatan demi
pergulatan hidup. Semua kita pandang secara baru, dalam kaca mata iman.
Keutamaan ‘menerima’ ini memang tidaklah selalu mudah untuk kita hayati. Namun
itulah panggilan kita. Melalui hidup St Vinsensius pun kita dapat belajar
bagaimana kita juga ‘berusaha’ menerima diri dengan segala kerapuhan. Sikap iman ini menjadikan kita menyediakan
hati agar kehendak Allah sendiri hadir dan terlaksana atas hidup dan pelayanan
kita.
c.
Percaya pada penyelenggaraan Allah
“…..Jangan
takut..mulai sekarang engkau akan menjala manusia” (Luk 5:11)
Kalimat
yang diucapkan Yesus kepada Simon, pada akhir kisah dengan,”jangan takut …mulai sekarang engkau akan menjala manusia”,
merupakan kalimat yang amat meneguhkan hati. Yesus amat memahami bahwa untuk
melaksanakan tugas yang diberikanNya, Simon akan mengalami banyak tantangan dan
kesulitan dari dalam maupun dari luar dirinya. Secara manusiawi siapapun
mengalami pergulatan bila ada yang mengatakan,”jangan takut”, pasti akan merasa tidak sendirian. Meski sebagai
pengalaman awal, Simon mengalami dipercaya karena mendapat ‘misi menjala manusia’ sekaligus mengalami bahwa dia tidak sendiri.
Ada Yesus yang sebelumnya telah menunjukkan kuasaNya; Dia pula akan
menemaninya. Simon memercayakan dirinya
dan hidupnya kepada Tuhan Yesus. Hal ini tidaklah selalu mudah. Dalam
pergulatan hidupnya kelak, nampak bagaimana Simon ini bertumbuh kepercayaannya
akan penyelenggaraan Allah dalam hidupnya. Seorang beriman akan memberi ruang
dalam hidupnya untuk sejenak membiarkan Allah sendiri turut ambil bagian dalam
hidup kita.
Ada
seorang bapak yang kerap ‘grusah-grusuh’
tidak sabaran terhadap segala sesuatu dan mudah menghakimi orang lain. Suatu
kali ia ingin bertobat supaya dapat berguna bagi sesamanya, dengan mulai dari
yang paling dekat. Ia dengar ada seorang yang saleh di tetangga desanya dan
kerap manjur wejangannya. Ia ke sana dengan berjalan kaki, sore harinya sampai
dan ia pun langsung menjumpainya. Setelah basa-basi sejenak, bapak ini
menyampaikan maksudnya. Orang saleh itu tersenyum mendengar pertanyaannya.
Tanyanya,’bapak, ajari saya jurus jitu
supaya saya dapat melayani orang lain dan merasa bahagia; katanya punya jurus 7
langkah hebat?”. Lalu guru saleh itu
sambil tersenyum, menyampaikan,”sederhana
saja. Namanya jurus 7 langkah sederhana.” Bapak itu menyahut,”sekarang ya…puasa berapa hari, meditasi
berapa hari dst…”. Guru saleh menjawan,”bila
mengalami persoalan berat, cobalah untuk sejenak hening, selanjutnya langkahkan
kaki 7 langkah ke belakang, lalu 7 langkah ke depan”. “Gampang itu…” sahut bapak itu sambil berdiri memperagakan. “Kok hanya ini sih …” jawab bapak itu
penuh ragu. Sang guru yang saleh,”lakukan
itu tujuh puluh kali, dan bila itu terlaksana engkau akan bahagia”.
“Beres…begitu saja tidak bisa, tutup mata juga bisa guru, nenek saya saja juga
bisa”, sahut bapak itu sambil meminta ijin untuk pulang dan mengucapkan
terima kasih.
Selama
di perjalanan, bapak ini terus bergumam,”
apa pengaruhnya ilmu ini. Hanya maju dan mundur saja kok ilmu hemmm. Jauh-jauh
pergi jalan kaki, kok jurusnya hanya jalan 7 langkah, ada mundur segala. Ini
saya sudah jalan berapa ratus langkah, berarti sudah hebat dan sakti saya ini
ha ha ha…” demikianlah gumamnya. Ia
tiba malam hari di rumahnya dan masuk tanpa mengetuk pintu. Tiba-tiba, seperti
disambar petir atau gempa bumi. Dia menyaksikan ada sandal lain/baru di depan
pintu kamar tidurnya, dimana isterinya tidur. Darahnya sudah mendidih. Ia
membuka pintu, sontak kaget bukan main, isterinya tidur dengan orang lain. Dia
mundur keluar pintu penuh dengan segunung emosi, ia mengambil parang dan
kembali ke kamar itu dan berhenti di depan pintu. Gumamnya “Aku akan bunuh dia, kurang ajar dst…”. Sejenak halus, dalam
hatinya teringat jurus 7 langkah. Ia mau mencoba jurus itu, apa benar dan
manjur. Ia mulai menghitung mundur 7 langkah,”satu,
dua, tiga, empat dst.” Lalu kemudian dia menghitung yang sama 7 langkah
maju. Sejenak ia diam, dan ia ingat kata guru saleh itu,”buatlah itu 70 puluh kali..”.
Dengan berat ia meneruskan dan terus …. Belum
sampai yang ke 70, ada orang keluar dari kamar itu dengan daun sirih di mulutnya
yang merah menyapa,”mat malam Di..lagi
apa kamu?”. Bapak itu kaget setengah mati, dengan tersipu malunya dan
tangan ke belakang menyembunyikan parang menjawab mertuanya dengan gugup,”oh ibuk …tiba kapan? He he ..enggak ..abis
abis e..bersih gudang”. Kurdi langsung bersembunyi dan cekikikan karena
bersyukur tidak marah. “Aduh… betul juga
jurus 7 langkah tadi”, demikianlah Kurdi akhirnya insyaf melalui pengalaman
tadi.
(“Tujuh Langkah Kebahagiaan”)
Sikap iman Vinsensius yang mendalam mengajak
kita hidup secara baru, yakni meletakkan kebahagiaan hanya kepada Yesus. Hal
ini juga sejalan pula dengan apa yang dihayati St. Thomas Aquinas yang
mengatakan, “Hendaknya kita tidak meletakkan kebahagiaan kita pada hal yang mudah
berubah”. Kebahagiaan biasanya digantungkan kepada ambisi; setelah itu
terpenuhi tetaplah kita mencari. Kepada materi, tetaplah kita tidak akan pernah
merasa puas. Harga diri kerap dikejar mati-matian, namun setelah orang
mendapatkannya; orang merasa belum puas bahkan merasa tidak damai, gelisah.
Kebahagiaan hanya dapat kita dapatkan pada Yesus. Dia yang tak akan pernah
berubah. Dengan meletakkan kebahagiaan kepadaNya, kegelisahan dan ketakutan
kita disirnakan. Buah yang kita alami ialah damai sebagaimana dijanjikan Yesus
sendiri. “Damai sejahtera Kutinggalkan
bagimu. Damai sejahtera kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak
seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Jangan gelisah dan gentar hatimu”.
(Yoh 14:27) Kita yakin dan percaya bahwa Yesus tak akan pernah meninggalkan
kita, Dia akan tetap menyertai pergulatan hidup kita. Maka “Jangan menginjak tumit (mendahului) Penyelenggaraan Ilahi, ikuti saja
langkahNya” (al SVP I,68,241:II.137)
4. Relasi yang mendalam dengan Allah menjadi penyubur
"Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku
ini seorang berdosa.“ (Luk 5:8)
a.
Doa: relasi hati
Simon datang kembali kepada Yesus
setelah mendapatkan banyak ikan di perahunya. Caranya datang kepada Yesus
dengan tersungkur sambil menyampaikan isi hatinya menandakan keterbukaannya
akan kahadiran Yesus. Simon tidak segan dan malu menyampaikan pengakuannya
sebagai orang yang berdosa. Sebuah relasi akan mendalam bila hati disertakan
dalam relasi itu. Semakin dalam Simon mengenal Yesus, semakin mendalam pula ia mengenal
dirinya dihadapan Yesus. Sejak awal panggilannya Simon menemukan bahwa relasi
dengan Yesus itu amat penting, karena menguatkan panggilannya. Sikap iman
inilah yang menjadikannya tetap mampu ‘kembali’ kepada Yesus meski telah telah
mengecewakanNya.
Berdoa merupakan pengalaman berelasi dengan Tuhan. Doa
kita akan menjadi semakin mendalam bila menyertakan hati kita. St. Vinsensius
kerap menggunakan istilah hati. Allah adalah Allah dari hati (XI, 156),
“kekasih hati kita” (XI,102;145-147). Doa bagi Vinsensius mengikuti dinamika
gerak inkarnasi. Allah yang berkenan hadir dalam dunia kita, dalam hati kita,
bahkan terutama dalam hati mereka yang miskin. Dengan dorongan Roh Kudus, kita
didorong untuk menemukan Yesus dalam hati kita, menemukan kehendakNya. Dan oleh
Roh yang sama kita dihantar untuk berjumpa dengan Dia dalam diri saudara kita
yang paling miskin. Suatu kesatuan yang utuh dalam membangun relasi kasih dengan
Tuhan. Semakin doa mendalam, semakin kita akan mengenal kepada siapa kita berdoa, apa yang kita
doakan dan siapakah diri kita. Vinsensius hatinya terluka karena cinta Kristus.
Dengan hati yang terluka itu pula, hatinya berkobar untuk memberikan cinta kepada
mereka yang haus dan lapar. Bila kita membangun hidup doa kita sebagaimana
Vinsensius teladankan, maka kita akan dapat melakukan segalanya dalam nama
Tuhan. Benarnya ungkapan Vinsensius:“Berikanlah
aku seorang pendoa, maka ia akan melakukan segalanya”.
Engkau, ya Allahku…
Engkau telah mengasihi aku…
Namun kasih-Mu justru melukai aku.
Engkau telah melukai dan menembus hatiku dengan panah-panah bernyala.
Engkau telah melemparkan api yang suci ini ke dalam hatiku.
Dan api itu membawaku kepada kematian demi cinta.
Oh. Terberkatilah untuk selamanya.
Ya Penyelamatku…, Engkau telah melukai hatiku.
(DBSV V, 281)
Engkau telah mengasihi aku…
Namun kasih-Mu justru melukai aku.
Engkau telah melukai dan menembus hatiku dengan panah-panah bernyala.
Engkau telah melemparkan api yang suci ini ke dalam hatiku.
Dan api itu membawaku kepada kematian demi cinta.
Oh. Terberkatilah untuk selamanya.
Ya Penyelamatku…, Engkau telah melukai hatiku.
(DBSV V, 281)
b.
Takjub/kagum akan Allah
Salah unsur penting dalam
hidup rohani, hidup yang terarah kepada Allah adalah rasa takjub/kagum akan
Allah. Relasi yang mendalam dua pribadi akan menjadi baru dan mendalam bila
pribadi tersebut memiliki kekaguman/takjub akan pribadi yang lain. Buah-buah kekaguman/takjub dalam hidup
rohani adalah sebagai berikut:
1)
Aku
bahagia, gembira, sukacita karenaNya, di dalamNya, bagiNya
2)
Aku lebih
‘tergila-gila” untuk mencariNya, menemuiNya, mendekatiNya, mengenaliNya,
melekatiNya
3)
Kesetiaanku
padaNya terus terasa terpelihara makin kuat dan mesra
4)
Relasiku
dengan Dia senantiasa teralami baru (indah dan berdaya)
5)
Aku
mengalami dibuat gampang untuk menemuiNya dan bersatu denganNya (melaui apa dan
siapapun)
6) Aku selalu dipacu untuk ‘membela Dia’: a) Aku mewartakan Dia. b) Hatiku gembira
jika orang mendekati. c) Hatiku prihatin jika orang anti Dia,menjauhi Dia. d)
Aku mengutamakan, memperjuangkan Dia nomor 1 di atas segalanya, maka:
AKU akan TULUS,CEPAT,CEMBIRA,TEPAT untuk KURBANKAN DIRI, LUPAKAN DIRI
(Luk 9:24)
BAGI KEPENTINGANNYA
7)
Kadang
disertai cucuran air mata karena cinta kepadaNya
8)
Kadang
menumbuhkan segar dan kuatnya raga. (meringankan lelah/sakit fisik, mengurangi
lelah/sakit fisik, menyembuhkan lelah/sakit fisik)
9)
Bisa
memperlambat proses penuaan.
10)
Meringankan
beban hidup bahkan menghalau beban hidup.
11)
Memunculkan
dan sekaligus menambah energi dan kehendak yang kuat untuk mencintaiNya dengan
tindakan konkret.
12)
Mengalirkan
inspirasi-inspirasi baru, pencerahan, penerangan untuk makin hidup bagiNya.
13) Dapat melahirkan “inner beauty” dan “beraura
cerah”
14)
Dan
rahmat-rahmat lainnya.
c. Senantiasa membaharui hati
Vinsensius amat menaruh
perhatian kepada pembaharuan hati. Pembaharuan hati tersebut dilakukan dengan
senantiasa bertobat dan belajar. Bertobat menjadi sebuah kebutuhan
terus-menerus. Belajar menjadi sarana memperkaya jiwa dan sarana menuju Allah.
Belajar dapat dilakukan dengan studi dari gagasan orang lain; atau juga melalui
‘buku kehidupan’ saudara kita yang miskin. Disinilah perjumpaan menjadi
‘momen/saat’ yang penuh daya transformatif.
5. Berani menjadi ‘berbeda’ :
a.
Cinta Allah menjadi kekuatan dalam bermisi
Semangat dasar yang
mengobarkan hati kita tidak ada lain adalah cinta Allah yang amat besar yang
boleh kita alami dan rasakan. Hanya dengan cintaNya, hati kita akan
berkobar-kobar untuk mencintai sebagaimana Allah sendiri mencintai kita dan
orang-orang miskin.
b.
Menjadikan karya kita bersifat rohani
St. Vinsensius mengajak kita
menjadikan apa yang kita lakukan; terutama pelayanan kasih kepada saudara kita
yang miskin sebagai jalan untuk berjumpa dan melayani Kristus sendiri. “Di dalam melayani orang miskin, anda melayani Yesus
Kristus sendiri. Anda melayani Kristus dalam pribadi orang miskin.” (SV IX,
252 – 13 Pebruari 1646) “Usahakanlah sekuat tenaga agar anda semakin berkenan baik
di hadapan Tuhan maupun di hadapan orang miskin.”
(SV VI, 42 – 25 Juli 1656)
(SV VI, 42 – 25 Juli 1656)
c.
Menghantar orang lain kepada yang ‘paling dalam’
Masuk kekedalaman pribadi
dan bersatu dengan Tuhan; dengan yang paling agung dan bermakna dalam hidup
merupakan pilihan. Menjadikan orang sampai pada pengalaman yang sama adalah
pilihan yang ‘amat berbeda’. Inilah kebahagiaan otentik dari murid-murid Yesus.
d.
Berani memasuki kesunyian
Seorang yang berkobar
hatinya untuk menyelamatkan jiwa-jiwa adalah mereka yang sedia dan berani
memasuki kesunyian. Kesunyian merupakan konsekuensi yang harus kita terima
sebagai orang beriman, bukan untuk dihindari. Kita sadar bahwa kehendak kita
tidak selalu sejalan dan selaras dengan kehendakNya. Maka dalam usaha
menyelaraskan kehendak kita dengan kehendakNya, kita akan memasuki suasana
batin yang sunyi dalam pencaharian kehendakNya. Sebagaimana Muder Teresa yang
mengalami kesunyian yang mendalam, demikian juga St Vinsensius mengalaminya;
demikian pula sebagai orang beriman kita diundang untuk senantiasa berteman
dengan kesunyian. Dengan kesunyian itulah kita dihantar pada pengalaman iman
seorang kristiani yang sejati. Karena justru pada keadaan itulah, kita diundang
untuk menggantungkan sepenuhnya kepada penyelenggaraan Allah.
Bagi orang tak beriman,
kesunyian menjadikan diri mereka ‘lari’ dan mencari pemenuhan dalam hal-hal
yang mereka pandang dapat memenuhi kesepian mereka. Mereka dapat mencari dalam
kesibukan, barang-barang, uang, jabatan, harta milik, relasi dll. Muder Teresa
mengajarkan,”penderitaan memang dapat
menghantar pada kesunyian. Namun janganlah meninggalkan penderitaan sebab
justru dengan tetap di dalamnya, kita akan menemukan jawaban dan kekuatan.”
e.
Senantiasa memiliki harapan akan kehadiran Allah
Kebijaksanaan Layang-layang dan kendi. Dalam
arus hidup yang sedemikian kuat menyeret hidup kita bisa saja terbawa angin,
diombang-ambingkan. Namun seperti halnya layang-layang, meski terombang-ambing,
justru menggunakan deru angin untuk tetap hadir konsisten, tetap berpegang pada
yang ‘empunya’ layang-layang yang memegang talinya. Senantiasa hadir dan
terlibat dalam hidup yang serba berubah tanpa kehilangan Yesus sebagai pegangan
hidup. Kendi yang diisi untuk memberikan diri sampai habis. Kita pun membagi
hidup seraya memasrahkan segalanya pada kehendak Tuhan sendiri. Biarlah Allah
sendiri yang ‘mengisi’ kekosongan diri kita. Allah tetap bekerja sampai saat
ini dan senantiasa menemani kita.
f.
Mau direpotkan oleh orang miskin
Cinta kasih itu kreatif. Orang
yang dibakar oleh cinta kasih tak akan pernah diam. Bila kita diundang untuk
itu, maka tidaklah boleh kita menghindar sebab untuk itulah kita dipanggil.
Kita akan bersuka cita dan bersyukur karena diperkenankan ambil bagian dalam
cara Yesus menghadirkan DiriNya. Kita akan sediakan seluruh diri kita hanya
demi segalanya menjadi baik, terutama dalam diri saudara kita.
g.
Senantiasa terbuka akan kerjasama
Cinta
kasih itu menyatukan hati. Kita akan berani hadir secara ‘berbeda’ karena kita
terbuka akan persaudaraan dengan siapa saja demi pelayanan kasih ini semakin
efektif bagi saudara kita yang miskin