Bunda Hati Kudus memiliki arti istimewa bagi setiap frater. Kalimat ini menjadikan saya berpikir, seistimewa apakah peran Bundaku ini dalam perjalanan panggilan sebagai religius pendidik jaman ini? Saya yakin bahwa dalam diri Maria, saya dapat menemukan pelajaran indah akan sosok pendidik yang membakar batin setiap hati dari insan-insan yang dipercayakan kepada karya kami sebagai frater. Kiranya inilah beberapa hal yang saya temukan dalam permenungan kesendirian saya bersama bunda.
Frater sebagai religius pendidik
Kongregasi Frater BHK didirikan demi pelayanan kaum muda teristimewa dalam bidang pendidikan. Setiap frater sejak awal sadar bahwa pendidikan menjadi bidang karya perutusan mereka. Sudah sejak awal, para frater kerap dipanggil dengan sebutan “Frater Guru”. Dari situasi dan konteks inilah secara nyata, bahwa para frater dapat dikatakan sebagai religius pendidik. Religius laikal yang membaktikan hidup bagi berkembangnya pendidikan anak-anak muda.
Kesucian pendidikan
Pendidikan itu suci dan luhur. Kesucian pendidikan terletak dalam usahanya untuk menghantar jiwa-jiwa muda mencapai kepenuhannya dalam Allah (bdk Yoh 10: 10). Jika setiap orang yang terlibat dalam pendidikan mengupayakan dengan keseluruhan diri dan kedalaman hati mereka, mereka telah mewujudkan kesucian dalam karya. St. Ireneus sendiri menyatakan bahwa kepenuhan hidup pribadi itu merupakan sesuatu yang luhur. Proses mendidik adalah proses “membentuk hati” naradidik yang didampingi. Maka usaha mendidik bukanlah usaha pekerjaan mencari nafkah belaka melainkan usaha yang suci dan luhur bila sungguh dipahami hakikatnya.
Mendidik yang benar dan sejati adalah mendidik dengan hati. Sebagaimana yang dikatakan St. Yohanes don Bosco “Ingatlah bahwa pendidikan adalah soal hati di mana Allah bertahta. Kita tak akan mencapai sesuatu bila Allah tidak mengajarkan seni-Nya dan menyerahkan kunci-Nya”. Mendidik itu merupakan proses mendampingi naradidik untuk dapat menemukan “guru” yang ada dalam batin mereka sendiri. Dari arti pentingnya pentingnya pendidikan, kita dapat menemukan betapa luhur dan sucinya mereka yang sungguh-sungguh terlibat dalam proses pendidikan yang mengedepankan hati.
Bunda Hati Kudus menjadi model dan teladan sebagai seorang pendidik
Bunda Hati Kudus menjadi model bagi setiap frater yang mengembangkan panggilan sebagai pendidik yang mengedepankan hati. Setiap frater BHK diundang untuk senantiasa merenungkan hidup Maria, karena dari hidupnya kita memperoleh inspirasi hidup yang kaya (konst. ps. 46). Inspirasi yang sangat relevanbagi para frater adalah seputar bagaimana menghidupi panggilannya sebagai pribadi yang mendidik Yesus yang adalah Putera Allah. Penyusun mengusulkan tiga dinamika indah hidup Maria Bunda Hati Kudus dalam perspektif sebagai pendidik. Tiga dinamika hidup tersebut adalah dari murid menjadi guru, dari guru menjadi murid dan dari murid menjadi pewarta.
1) Dari murid menjadi guru
Dinamika hidup Maria berawal dari keyakinannya sebagai “murid”. Murid adalah seorang yang memiliki hati terbuka akan segala hal yang membuatnya berkembang baik iman, kepribadian, ketrampilan dsb. Segala hal itu dapat datang dari mana saja sebab menjadi murid yang sejati adalah mereka yang sanggup menangkap masukkan yang dipandangnya bermanfaat bagi hidupnya. Peran Maria sebagai “murid” secara nyata kita temukan dalam teks awali hidup Maria, yakni ketika Maria menerima kabar dari malaikat Tuhan (bdk. Luk 1). Maria mendengarkan dengan hatinya sapaan malaikat kepadanya (Luk 1:29) yang sangat berbeda dengan cara Zakaria menerima kabar penuh keraguan dan ketakpercayaan (Luk 1:18). Maria dengan hatinya yang terbuka, memberikan ruang bagi karya Roh untuk bekerja dalam hidupnya. Seorang guru yang baik adalah mereka yang dapat menghayati peran bagaimana menjadi “murid” yang baik. Maria menunjukkan hal secara istimewa sekali.
Buah dari kemuridannya yang amat dalam adalah kesanggupannya menjadi guru bagi Yesus Sang Putra Allah. Kesanggupannya yang dinyatakannya dalam fiat dan magnifikatnya menjadikan Maria secara total menjalankan kehendak Allah yang masih suram baginya. Maria harus merawat bayi lemah yang lahir dari rahimnya yang Ia yakini betul sebagai Immanuel. Meskipun pengalaman imannya tidak bisa terima dengan daya pikir manusiawinya, Maria tetap melaksanakan apa yang menjadi fiatnya. Teks injil tidak mengisahkan masa kanak-kanak sampai usia sebelum Yesus tampil ke publik. Setelah peristiwa Yesus ditemukan di bait Allah, Yesus tinggal dalam asuhan Yusuf dan Maria di Nazareth (bdk Luk 2: 51). Itulah masa gelap (tak diketahui). Saya teringat akan masa gelap yang ada dalam hidup saya dari sharing rekan imam.
Satu kesempatan, rekan saya ini menghampiri suster yang bekerja di BKIA dekat pastoran. Ia meminta kalau ada kesempatan ibu melahirkan di BKIA, suster diminta untuk memanggil romo tersebut. Suatu kali kesempatan itu tiba. Pagi – pagi dini hari suster tsb mendatangi pastoran dan memberitahukan kalau ada seorang ibu yang baru melahirkan. Romo tsb langsung bergegas menuju BKIA dan langsung ke kamar bayi. Dia tertegun memandangi bayi yang baru lahir tersebut dan termenung. Dia baru meyakini memang bahwa Ia tidak bisa mengingat masa-masa awali itu bersama ibunya. Masa itu seperti gelap tak mampu diingat sama sekali. Perjumpaan pagi itu membuatnya tersadar akan “gelap itu” adalah masa dimana kemampuan ingatan belum berjalan. Pesan inspiratif baginya adalah ternyata Tuhan memang “menyembunyikan” masa itu. Nampaknya biasa saja, namun sebenarnya itulah saat emas dimana peran ibu sungguh amat penting. Peran mendampingi, menyertai penuh cinta dan kesabaran yang mendalam.
“Masa gelap” Maria bersama Yesus tak tersentuh banyak insan. Masa itu diisi dengan hal-hal biasa nampaknya yakni mendampingi Yesus kecil tumbuh dari waktu ke waktu. Maria menjadi “guru” bagi Yesus melalui peristiwa manusiawi biasa. Tapi bila kita sejenak melihat pengalaman romo tadi, kita akan setuju bahwa “masa gelap” itulah Maria tampil dalam kesederhanaan ibu yang mendidik dengan hatinya. Maria merajut hati Puteranya dari waktu ke waktu. Banyak pengalaman iman Maria bersama Yesus yang tidak sanggup ia pikirkan. Maria hanya menjalani proses rajutan hati yang terus-menerus yang ia usahakan. Ia menjadi guru dan pendidik Yesus yang adalah Allah tampil dalam kelemahan manusiawi di hadapan Maria. Maka tepatlah pujian yang dilambungkan orang-orang Yahudi terhadap Ibu Yesus, "Berbahagialah ibu yang telah mengandung Engkau dan susu yang telah menyusui Engkau."(Luk 11:27). Bersama Maria, setiap kita diundang untuk mendidik dengan hati, meskipun usaha kita itu nampaknya sederhana dan tidak banyak memberikan sensasi dan prestasi besar.
2) Dari guru menjadi murid
Maria memang ibu dari Yesus yang lahir dari Roh Kudus. Selain sebagai manusia, Yesus adalah Allah sendiri yang hadir di tengah-tengah manusia. Maria sadar akan hal tersebut. Berhadapan dengan kenyataan ini, Maria hanya mampu tunduk merendahkan diri, menyelami kehendak Bapa dalam diri PuteraNya. Perikop kitab suci yang menyajikan proses dinamika tersebut adalah pada saat Yesus pertama kali tampil di depan umum melalui mukjijat pertama di Kana (bdk Yoh 2:1-12). Memang proses Maria menjadi “murid” Yesus sudah dirasakannya ketika di Bait Allah, dimana Yesus menyapaikan komentarnya ketika ibu dan bapa mencariNya (bdk Luk 2:49). Peristiwa pesta di Kana itulah Maria sungguh menyelami hati PuteraNya. Maria adalah “murid” paling pertama bagi Yesus. Dialah yang senantiasa menyertai Puteranya. Pergulatan yang berat baginya adalah pergulatan menerima dan mengikuti Yesus yang ia imani sebagai perwujudan kehendak Bapa; di saat yang sama, secara manusiawi, Ia-lah yang turut membentuk hati Puteranya. Pernyataan Yesus yang menegaskan bahwa Maria ibunya sebagai murid adalah ketika Ia dicari saudara-saudaraNya. Yesus menjawab, “Ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku ialah mereka, yang mendengarkan firman Allah dan melakukannya." (Luk 8:21). Selanjutnya, Maria mengalami peristiwa – demi peristiwa yang menunjukkan betapa Ia harus belajar dari Putranya. Pendidik yang sejati adalah ketika ia sanggup menjadi guru sekaligus murid bagi naradidik yang ia dampingi.
3) Dari murid menjadi pewarta
Bunda Maria senantiasa hadir dalam setiap gerak hidup Yesus Puteranya. Kesetiaannya mengikuti kehendak Allah Bapa yang secara nyata dalam puteraNya dijalani Maria. Maria sadar bahwa Yesus adalah anak yang lahir dari rahimnya. Namun Maria juga sadar akan siapa Yesus. Sebagaimana Ia merasakan itu dan menyimpannya dalam hati. Sebagai Putra Allah yang hadir, Maria belajar dari PuteraNya. Ia berusaha menyelami kehendak Allah dalam diri Puteranya. Hal ini juga sangat ia pahami juga ketika Yesus harus menempuh jalan salibNya. Maria turut seperjalanan di jalan salib Puteranya bersama murid yang dikasihiNya. Peristiwa di bawah salib secara nyata menunjukkan bagaimana Maria sungguh setia kepada Putra yang dikasihinya sekaligus guru karena Dia adalah Allah. Dalam peristiwa salib itulah Maria mendapatkan penyerahan murid sebagai wakil Gereja dari Yesus, sekaligus Maria diserahkan kepada muridNya yang dikasihi (Bdk Yoh 21). Kehadiran Maria di bawah salib menandakan sebuah sikap iman kemuridan. Sebagai murid, Maria mengajak kita untuk senantiasa memandang salib Yesus dalam kehidupan kita. Maria menjadi murid pertama yang mewujudkan secara total panggilan Yesus: “Ikutlah Aku” (bdk. Mat 4:19; 8:22; 9:9; 19:21).
Peran Maria sesudah wafat puteranya adalah meneruskan pesan Yesus dengan tinggal bersama para rasul. Maria menjadi Bunda dari para rasul, terutama di saat-saat penantian Roh Kudus. Maria mendampingi dalam doa bersama para rasul. Maria senantiasa mendampingi para rasul dan Gereja dalam meniti peziarahannya. Seluruh hidup Maria sungguh menghadirkan cinta Allah sendiri secara manusiawi. Sebagaimana juga para frater diundang untuk senantiasa merenungkan hidupnya, sebab dari hidupnya kita menemukan bahwa “Maria, Bunda Hati Kudus, mengilhami kita untuk dalam kesederhanaan hati mengungkapkan cinta dan kebaikan Allah” (bdk. Konst Ps 52). Maria Bunda Hati Kudus telah membentuk hati Puteranya, sekaligus Maria juga menjadi pewarta hati terkudus Yesus kepada semua orang yang mencintainya. Menjadi pendidik yang berkarakter adalah menjadi pribadi yang sanggup memancarkan kedalaman hati sehingga sanggup menginspirasi hidup orang lain. Dengan hati pendidik demikian, setiap pendidik akan berperan mengarahkan hati naradidik kepada kesejatian; yakni kepada Allah sendiri yang adalah kasih.
Saya termenung- menung sendiri dan amat mengagumi Maria. Beliau mengajari saya untuk mendidik siapapun yang dipercayakan kepada saya dengan hati. Hal ini berarti saya dan siapapun yang mau terlibat sebagai pendidik diundang untuk berkarya dalam “Holy Ground”, yakni hati masing-masing naradidik. Bila sungguh saya terbuka hati seperti Maria, berarti saya amat tersanjung dan dianugerahi Allah karena diperkenankan menemani hati setiap insan untuk mencapai kepenuhan. Maka saya terkadang merasa malu mengapa saya ketika “mengajar” masih merasa malas kurang semangat, hitung-hitung, emosional dan mencampuradukkan permasalahan rumah/komunitas dengan proses pembelajaran. Anak-anak mohon maaf ya.. Ijinkan saya bersemangat lagi mendampingi. Terima kasih Bunda Maria, Bunda Hati Kudus. Berkah Dalem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar