Selasa, 24 November 2009

POSISI HIDUP BAKTI SEBAGAI "BROEDER" DALAM GEREJA


Kutipan dari tulisan Br. Rene Stockman FC, PhD – Pimpinan Umum Kongregasi Bruder Karitas di Roma. Dari buku Beliau yang berjudul : MAY I CALL YOU BROHTER? Hak cipta pada Br. Rene Stockman FC Karena ini terjemahan, boleh jadi terjadi kekurangan di sana sini.

POSISI HIDUP BAKTI SEBAGAI "BROEDER" DALAM GEREJA

Tujuan kami adalah untuk memposisikan hidup bakti para Broeder dalam Gereja masa kini, sebaiknya kami berangkat dari Dokumen / Konstitusi dogmatik dan dekrit yang dihasilkan Konsili Vatikan II dimana Konstitusi Dogmatis mengenai Gereja, juga dikenal dengan “Lumen Gentium”disingkat LG. LG mendapat tempat pusat karena mendefinisikan kembali mengenai Gereja sebagai Umat Allah. Dahulu, hirarki Gereja diutamakan dan para awam dianggap orang Kristiani kelas dua. Kelompok religius mendapat alokasi tempat kira-kira diantarakeduanya (cf. Paus Pius XII dalam “Provida Mater Ecclesia”: kelompok religius sebagai penengah antara hirarki dan para awam). Konsili dalam LG menegaskan bahwa Umat Allah adalah semua orang beriman yang berpartisipasi dalam imamat umum Kristus.

Umat Allah

“Lumen Gentium” bersifat mutlak: “Semua orang dipanggil untuk turut serta menjadi Umat Allah yang baru. (LG no. 13) “Maka sudah jelas bagi semua, bahwa semua orang yang beriman terhadap Kristus dengan status apapun, terpanggil untuk memenuhi kehidupan Kristiani dan penyempurnaan karya kasih; melalui kekudusan inilah suatu cara kehidupan yang lebih manusiawi akan maju dalam masyarakat duniawi.” (LG, no.40). “Akhirnya semua yang beriman pada Kristus, apapun kondisi, tugas dan keadaan dalam kehidupan mereka dan tentu saja sehubungan dengan semua ini, akan dari hari ke hari bertambah dalam kekudusan, bil mereka menerima semua hal dengan iman dari Bapa surgawi dan apabila mereka sama dengan keinginan ilahi. Dalam pelayanan duniawi ini, mereka akan memanifestasikan bagi semua orang kasih yang diberikan oleh Tuhan kepada seluruh dunia.” (LG, no.41) “Oleh karena itu, semua yang beriman terhadap Kristus diundang untuk berjuang untuk mencapai kekudusan dan kesempurnaan dari keberadaan mereka. Tentu saja mereka mempunyai kewajiban untuk berjuang.” (LG, no.42)
Kutipan-kutipan di atas menentukan arah yang diinginkan. Pesan inti yang ingin disampaikan adalah bahwa semua orang beriman terpanggil untuk menjalankan hidup yang penuh kekudusan. Konsili ingin menegaskan gagasan yang telah dikemukakan oleh St. Fransiskus dari Sales dalam tulisannya berjudul “Perkenalan dengan hidup yang Beriman - /Introductino to the devout life” yang diterbitkan pada tahun 1608. Semua orang yang beriman diharapkan untuk menjadi semakin kudus setiap hari, bukan hanya pastur-pastur dan anggota kelompok religius (biarawan-wati) , tetapi juga ibu-ibu rumah tangga, tentara, petani, anak muda dll.
“Waktu Tuhan menciptakan Dunia Ia memerintahkan tiap pohon untuk menghasilkan buah sesuai dengan jenisnya; sejalan dengan itu Ia memerintahkan kaum Kristiani, - pohon hidup dari GerejaNya, - untuk menghasilkan buah dari ketaatan/devosi masing-masing sesuai dengan jenis dan karyanya. Penerapan ketaatan yang berbeda diperlukan dari masing-masing orang – kaum bangsawan, para ahli, pramuwisma, pangeran, seorang gadis dan seorang istri; lebih dari itu penerapan tersebut harus disesuaikan dengan kekuatan, panggilan, dan kewajiban dari tiapindividu. Adalah kekeliruan, bahkan lebih dari itu, bila orang mengesampingkan kehidupan beriman dari barak tentara, bengke, ruang istana, sekolah, pasar atau rumah tangga. Tentu saja kehidupan kontemplatif beriman yang murni seperti kelompok religius dan membiara, tidak dapat diterapkan dalam lingkungan dan karya seperti itu, tetapi ada berbagai jenis pengabdian lain yang dapat mengarahkan mereka yang panggilan hidupnya bersifat sekuler kearah kesempurnaan. Pastikan agar dimanapun panggilan hidup kita, kita dapat dan harus menuju kepada hidup beriman yang sempurna” (Introduction to the devout life, bab III).
Berdasarkan hal itu maka kita harus mempertimbangkan “tingkat dan status” daripada umat yang beriman kepada Kristus seperti tertera dalam LG no. 40. Orang seringkali merancukan konsep-konsep tersebut yang mengakibatkan salah tafsir mengenai posisi seorang biarawan (Broeder). “Lumen Gentium” memaparkan dua tingkatan: awam dan imam. Disamping itu ada pembedaan antara tiga status dalam kehidupan, yaitu: awam, imam, dan religius. Kesulitan timbul setiap kali pertanyaan mengenai “tingkatan” seorang religius diutarakan.
“Dari sudut pandang struktur hirarki Gereja yang kudus, kehidupan dalam kelompok religius (Broder dan Suster) bukanlah suatu keadaan diantara imam dan awam. Tetapi orang yang beriman terhadap Kristus terpanggil oleh Tuhan dari kedua kehidupan ini agar mereka dapat menikmati berkat ini dalam kehidupan Gerejani sedemikian hingga masing-masing dengan caranya sendiri, dapat memberi kontribusi terhadap misi penyelamatan Gereja.” (LG, no. 43)
Sudut pandang ini juga dipertegas oleh the Code of Canon Law (CCL) / Kitab Hukum Kanonik (KHK): “Pada intinya, kehidupan terkonsekrasi bukanlah bersifat imamat ataupun awam” (CCL, no. 558). Meskipun CCL mempertegas bahwa kehidupan terkonsekrasi bukanlah imamat maupun awam, tidak ada penjelasan atau pembedaanselanjutny a. Justru sebaliknya yang ada adalah pembedaan antara lembaga hidup bakti imamat di satu pihak dan lembaga hidup bakti awam di pihak lainnya: “Bahwa sebuah lembaga dianggap imamat berdasarkan tujuan atau rancangan yang dimaksudkan oleh pendiri atau berdasarkan tradisi yang kuat, dan dikelola oleh para imam, menerapkan dan menjalankan tahbisan suci dan diakui sedemikian oleh otoritas Gereja. Bahwa sebuah lembaga dianggap awam bila diakui sedemikian oleh otoritas Gereja dan oleh karena inti, sifat dan tujuan yang ditetapkan oleh pendirinya atau tradisi yang kuat, tanpa mencakup pelaksanaan tahbisan suci.” (CCL, no. 588).
Sebelum lebih mendalami hal ini, kami ingin lebih mengupas definisi dari ketiga status seperti dimuat dalam dokumen konsili. Definisi tersebut memberi suatu interpretasi dari kehidupan kudus (Gerejani) dari kaum awam, imam dan kelompok religius.
“Tetapi kaum awam, atas dasar karyanya, mencari kerajaan Allah dengan melaksanakan tugas-tugas duniawi dan menyusunnya sesuai dengan rencana Tuhan. Mereka hidup di dunia, yakni dalam setiap pekerjaan dan profesi sekuler. Mereka hidup dalam keadaan biasa seperti keluarga dan kehidupan sosial, dari mana kehidupan mereka terbentuk. Mereka telah terpanggil oleh Tuhan sehingga dengan menjalankan karya dan tugas mereka dan dibimbing oleh semangat Injil mereka dapat bekerja dan mengembangkan kekudusan dunia dari dalam Gereja.” (LG, no. 31) Hal ini merupakan definisi yang jelas dan inspiratif yang dapat mendorong kaum awam untuk berusaha mencapai kekudusan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam profesi mereka masing-masing. Ada beberapa kemiripan antara definisi kaum awam religius (Broeder dan Suster) yang bekerja sama dengan kaum awam pada umumnya. Mereka juga terpanggil untuk menjadi pendorong.

Kesamaan misi antara kaum awam dan biarawan (Broeder) ini diperjelas secara menarik dalam suatu publikasi dari Komisi Jenderal Superior mengenai Lembaga Broeder Religius Awam berjudul “Para Broeder Dalam Lembaga Religius Awam.” (1991) “Profesi atau pekerjaan yang dikerjakan secara serius membawa Broeder/Biarawan ke dalam “kota duniawi” dan menuntut dari mereka kompetensi, tanggung jawab, dedikasi dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku didalamnya, sama halnya dengan kaum awam pada umumnya. Kita berbicara mengenai keberadaan Gereja dalam dunia, yang termasuk kedekatan dan solidaritas yang nyata antara kaum religius dan awam yang memiliki tujuan yang sama yaitu: ‘berdirinya Kerajaan Allah,’ meskipun mereka menghidupinya dengan dua bentuk status hidup yang berbeda dan dengan demikian memiliki titik tolak yang berbeda.
Biarawan menghidupi dedikasi religiusnya berdasarkan dedikasinya sebagai anggota lembaga religius, dan berdasarkan karisma lembaganya; kaum awam menunjukkan keunikan sifat keawaman mereka dengan mendapatkan kedudukan dalam dunia. Kesaksian kaum awam mengingatkan seorang Broeder bahwa dedikasi religiusnya harus membuat dia memperhatikan keselamatan umat manusia maupun kemajuan dunia seperti yang diinginkan oleh Tuhan dan berpegang pada Kristus. Kesaksian para Broeder mengingatkan kaum awam bahwa penyelamatan dunia bukan hanya karya manusiawi, bahwa kemajuan bukanlah tujuan dalam sendirinya dan pembangunan ‘kota duniawi’ harus selalu berawal dari Tuhan.”
Kedudukan profesi seorang imam juga dijelaskan secara lugas dalam “Lumen Gentium” sebagai suatu tugas kesanggupan melayani. “Untuk melayani dan mengembangkan berkesinambungan dari rakyat Tuhan, Tuhan Yesus Kristus melembaga dalam GerejaNya beberapa wadah pelayanan (ministries) , yang bekerja demi kebaikan keseluruhan Tubuh Gereja. Karena pelayan-pelayan tersebut, yang diberkati dengan wewenang sakral, melayani saudara-saudara mereka, agar semua Umat Allah menikmati martabat Kristiani sejati, dan bekerja demi tujuan bersama dan dengan tertib, akan tiba pada penyelamatan” (LG, no. 18). Diantara wadah-wadah pelayanan tersebut ada pembedaan antara: para Uskup, Imam dan diakon. Mengenai pastur dikatakan bahwa mereka telah “dikonsekrasikan untuk mengajarkan Injil dan menggembalai umatberimn dan merayakan Misa” (LG, no. 28)

Akhirnya, kelompok religius didefinisikan dalam “Lumen Gentium” sebagai Umat Allah yang terpanggil untuk menjalani kehidupan kudus selayaknya terjadi dalam semua orang Kristen, dan yang menunjukkan rahmat yang didapat dari Pembaptisan yang diterima oleh semua orang Kristen. “Tentu saja melalui Pembaptisan seseorang akan mati terhadap dosa dan dikonsekrasikan terhadap Tuhan. Tetapi, agar dia sanggup mengambil buah yang lebih banyak dari rahmat Pembaptisannya, dia berniat, melalui pengakuannya atas nasehat injil dalam Gereja, untuk membebaskan dirinya dari hambatan-hambatan tersebut, yang mungkin mengalihkannya dari semangat amal kasih dan kesempurnaan. Dengan mengikuti nasehat-nasehat injil, religius (a.l. Broder) akan lebih intim terkonsekrasi terhadap pelayanan kudus.” (LG, no. 44).
Dekrit “Perfectae Caritatis” lebih memperjelas lagi mengenai identitas kaum religius. Dokumen ini didasarkan atas anggapan bahwa baik kaum awam maupun imam dapat merasa terpanggil untuk memilih kehidupan religius sebagai jalan hidup. Hal ini merupakan sudut pandang yang lebih menerangkan yang, bersamaan dengan itu, memberi suatu perspektif lain untuk mempelajari kehidupan religius. Bertolak belakang dengan ini adalah pembedaan tradisional lembaga-lembaga kontemplatif dan apostolic dan antara lembaga imamat dan awam, seperti tertera baik dalam “Perfectae caritatis”(PC, no. 7 dan 8) dan Kitab Hukum Kanonik (Code of Canon Law) (CCL, no. 586).
Bagi para Broeder religius, nomor 10 sangatlah penting.: “Kehidupan religius yang dianut kaum awam, baik pria maupun wanita, adalah penegasan terhadap petunjuk-petunjuk injil yang lengkap seutuhnya. Sambil menjunjung tinggi kehidupan ini yang sangat berguna pada misi imamat gereja dalam pendidikan kaum muda, merawat orang sakit dan karya-karya lain dalam pelayanan lain, sinode suci mengkonfirmasikan religius dalam karyanya dan menganjurkan mereka untuk menyesuaikan cara hidup mereka dengan keperluan-keperluan modern” (PC, no. 10).
Sehubungan dengan intinya, kita harus mengacu kepada nomor yang terdahulu dimana digambarkan misi dari kongregasi apostolik. (Lembaga yang bersifat imamat maupun awam).
“Dalam komunitas-komunitas ini kegiatan apostolik (kerasulan) dan amal merupakan sifat dasar dari kehidupan religius, melihat bahwa hal ini merupakan pelayanan kudus dan sifat pekerjaan berdasarkan kasih, yang dipercayakan kepada mereka oleh Gereja untuk dijalankan atas Gereja. Oleh sebab itu, kehidupan religius secara keseluruhan harus diinspirasi oleh semangat kerasulan dan segala kegiatan kerasulan dibentuk dengan semangat iman keagamaan. Karena itu agar anggota-anggotanya pertama harus sejalan dengan karyanya untuk mengikuti Kristus dan melayaniNya dan anggota-anggotaNya, kegiatan kerasulan mereka harus mengalir dari suatu kesatuan erat denganNya. Sehingga cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama bertambah” (PC, no.8).
Dalam dokumen konsili, Boeder religius yang menjadi bagian dari Umat Allah yang, seperti semua orang lain, terpanggil untuk menjalani kehidupan yang kudus. Dia berasal dari Umat, dari berbagai perhimpunan orang awam, dan telah memilih untuk menghidupi kekudusannya sebagai anggota kelompok religius. Dia akan menjalankan ini berdasarkan ketaatannya pada petunjuk-petunjuk injil yang merupakan penjelmaan dari rahmat pembaptisan. Berdasarkan devosi tulusnya terhadap Tuhan, ia akan memasuki dunia, dimana dia akan bersama dan dibantu oleh para awam untuk melayani Kristus di tengah-tengah umatNya. (cf. 1. Co. 6, 15).
Perkembangan Pemikiran Mengenai Broeder Religius
Pada tahun 1971, Paus Paulus VI menerbitkan ensiklik apostolik berjudul “Evangelica tertificatio” yang membahas masalah inovasi kehidupan religius sesuai dengan garis pedoman Konsili Vatikan Kedua. Sekali lagi kehidupan religius dalam dokumen tersebut digambarkan sebagai suatu pengalaman radikal dari rahmat pembaptisan melalui ketaatan terhadap petunjuk-petunjuk injil. Meskipun ada beberapa unsur yang ditambahkan, tidak ada yang disinggung langsung mengenai Broeder religius. Tetapi tujuan dari dokumen tersebut jelas: bahwa inovasi yang sesungguhnya harus dimulai dari dalam dan harus lebih dari hanya adaptasi dari beberapa adat istiadat dan kebiasaan.

Dokumen berikut diterbitkan pada tahun 1983 oleh Kongregasi Lembaga Kehidupan Terkonsekrasi dan Masyarakat Kehidupan Rasuli (Congregation for Institutes of Consecrated Life and Societies of Apostolic Life). Dari judulnya sudah jelas: “Unsur-unsur Esensiil Dalam Ajaran Gereja Mengenai Kehidupan Religius” (“Essential Elements in the Church’s Teaching on Religious Life”). Tahun berikutnya, Paus Yohanes Paulus II menerbitkan Ensiklik “Redemptoris donum” dalam rangka Tahun Penebusan. Kehidupan religius dipelajari dari sudut pandang peniruan / meneladan terhadap Kristus dan panggilan untuk menjadi sempurna. Dalam dokumen ini, Sri Paus mengutarakan penghargaan tinggi beliau terhadap para religius yang menjadi saksi kasih Tuhan melalui pelayanan spesifik mereka. Ketiga dokumen tersebut mengembangkan pandangan-pandangan yang memperjelas Dokumen Vatikan II dan menyarankan pandangan-pandangan tersebut dapat berakar dan tumbuh dalam kehidupan sehari-hari kita. Tetapi semua itu tidak mengandung suatu hal yang istimewa mengenai Broeder religius.

Pada tahun 1991, USG (Unione Superiori Generali/Perhimpuna n Superior General) atas inisiatif Komisi Superior General untuk Lembaga Religius Awam (Commission of The Superior Generals on the Lay Religious Institutions) menerbitkan dokumen dengan judul “Brothers in lay religious institutes” (“Para Broeder Dalam Lembaga Awam Religius). Untuk pertama kali, sebuah usaha dilakukan untuk memperjelas identitas dari Broeder religius.
Dokumen tersebut mengandung sudut pandang yang jelas yang dirumuskan sebagai berikut pada akhir dokumen: “Meskipun para Broeder menjalani kehidupan religius secara tetap dan meskipun cara hidup mereka merupakan ketaatan dari petunjuk Injil, namun demikian mereka termasuk kaum awam, meskipun kenyataannya mereka menjalankan hidup mereka berbeda dengan kaum awam biasa. Bila diamati dari status keawaman mereka, mereka adalah pria terkonsekrasi yang terpilih dan terpanggil untuk mengikuti Yesus dan diharapkan untuk menjadi inspirasi bagi dunia.” Kemudian pernyataan ini disanggah oleh beberapa penulis yang mengacu kepada “Lumen Gentium” dimana pembedaan yang jelas dibuat bagi ketiga status hidup dalam Gereja Katolik, yaitu; awam, imamat dan religius. Definisi dari kaum awam dalam dokumen yang tersebut sebelumnya tidak dapat direkonsiliasikan / memasukkan kaum religius dalamnya. Tetapi dokumen ini mewakili usaha yang layak dalam usaha merenungkan lebih dalam mengenai identitas dari Broeder religius.
Dalam Ensiklik pasca sinode “Christefidelis Laici” (CL), Paus Yohanes Paulus II juga memberi perhatian terhadap keberadaan kehidupan yang lain dan kenyataan bahwa keberadaan-keberada an tersebut saling terkait.
“Dalam Komunitas Gereja keberadaan kehidupan yang berturutan saling terkait satu dengan yang lain. Mereka berbagi dalam satu pengertian dasar: yakni cara menjalani hidup berdasarkan martabat Kristiani bersama dan panggilan universal pada kekudusan dalam menyempurnakan kasih. Berbeda tetapi saling melengkapi, dalam konteks bahwa masing-masing memiliki sifat dasar yang unik yang membedakan keduanya, tetapi bersamaan dengan itu masing-masing dipandang sehubungan dengan lainnya dan dapat saling melayani.”
Maka keberadaan hidup awam memiliki keistimewaan dalam sifat sekulernya. Ia memenuhi pelayanan Gerejani serta memberi kesaksian serta dengan caranya sendiri mengingatkan bari para imam, pria dan wanita religius kepentingan dari kenyataan duniawi dalam rencana penyelamatan Tuhan. Pada gilirannya, pelayanan imamat mewakili pada berbagai waktu dan tempat jaminan permanen kehadiran sakral dari Kristus Sang Penebus. Keberadaan religius memberi kesaksian akan keyakinan atas kehidupan abadi (eschatological character) Gereja, yakni usaha menuju Kerajaan Allah yang telah dinanti-nantikan dan telah diramalkan kedatangannya dan dialami sekarang juga melalui kemurnian, kemiskinan dan kepatuhan” (CL, no. 55).

Dokumen ini juga memperjelas keberadaan kehidupan dimana kaum awam mempertahankan status keawaman mereka:
“Keberagaman dalam Gereja lebih jauh tercermin dari dalam tiap keberadaan kehidupan. Maka dalam keberadaan hidup awam bermacam ‘karya’ terdapat, dalam arti banyak jalur dalam kehidupan spirituil dan pelayanan yang dipilih oleh anggota kaum awam beriman. Dalam bidang karya awam yang ‘diminati bersama’ karya awam ‘istimewa’ berkembang subur. Dalam bidang ini kita juga dapat mengingat pengalamanspirituil dari berkembangnya berbagai bentuk lembaga sekuler yang timbul aknir-akhir ini didalam Gereja. Karya-karya ini memberi kesempatan kaum awam beriman, danbahkan imam kemungkinan untuk menerapkan petunjuk injil dalam hal kemiskinan, kemurnian dan kepatuhan melalui kaul atau janji, sambil mempertahankan keberadaan awam atau imamat umum mereka sepenuhnya. Dalam hal ini Bapak-bapak Sinode berkomentar, ‘Roh Kudus menunjukkan bentuk-bentuk lain pemberian diri dimana orang yang sepenuhnya tetap berada dalam status awam mengabdikan diri mereka’” (CL, no. 56).
Sudah jelas disini tidak ada pembahasan mengenai Broeder religius, tetapi tentu saja membahas mengenai mereka yang bergabung dalam lembaga awam. Meski dalam jenis kehidupan terkonsekrasi kaum awam tetap awam dalam arti kata yang sesungguhnya. Dalam Sinode Uskup mengenai kehidupan beragama di tahun 1994 penerangan baru diberikan mengenai identitas para Broeder religius. Dalam no.32 “Instrumentum laboris” (IL), para uskup menuntut perhatian bagi “lembaga awam dan para Broeder awam”.
“Perhatian khusus diberikan kepada karya dan misi dari para Broeder awam dalam lembaga sekuler, imamat dan lembaga-lembaga dimana kedua jalan hidup dilaksanakan.
Orang sering mengabaikan bahwa hidup terkonsekrasi, pada intinya bukanlah imamat maupun awam, atau seperti halnya di Timur pada masa lalu dan bahkan sekarang juga pada awalnya berasal sebagian besar dari kaum awam. Akibat dari itu adalah pandangan bahwa hidup bakti seorang Broeder dipandang sebagai tidak lengkap karena tidak adanya status imamat” (IL, no. 32).

Sinode diminta untuk menegaskan pentingnya dan pengertian dari kaum “awam religius” dan untuk menginterpretasikan ciri-ciri yang beragam dalam kehidupannya: keterbukaan para Broeder dengan Kristus, partisipasi dalam pelayanan untuk Gereja, tanda kehadiran Kerajaan Allah dan nilai-nilai yang lebih penting dari nilai-nilai duniawi. Suatu permohonan juga diutarakan untuk membentuk formasi para Broeder yang lengkap dan juga timbul pertanyaan apakah seorang Broeder diperbolehkan menjadi anggota pimpinan dari lembaga imamat atau tarekat campuran yang anggotanya ada imam dan broeder.

Akhirnya, kongregasi awam diminta untuk menemukan cara untuk berbagi spiritualitas, solidaritas, kerjasama mereka dengan para awam yang berhubungan dengan mereka. Dalam alinea lain berjudul “Consecrated Christifideles” (Pengabdi Kristus yang Terkonsekrasi) , hal berikut tertulis mengenai Broeder religius: “Pada mulanya bentuk historis dari kehidupan religius memiliki ciri keawaman dibandingkan dengan cirri imamat. Bahkan, dimasa kinipun banyak anggota kehidupan terkonsekrasi atau perhimpunan kehidupan pelayanan adalah mereka yang terkonsekrasi atau kaum awam yang diikutsertakan meskipun mereka bukan awam seperti orang lain yang hidup dalam dunia. Karena pengabdian mereka, mereka memiliki, dibanding dengan awam yang lain, sedikit dari sifat-sifat awam tradisional, yaitu kehidupan yang dijalankan ditengah-tengah dunia atau keterlibatan dalam masalah-masalah duniawi. Tetapi sifat awam tersebut timbul sesuai dengan sifat dasar, daya tarik dan sifat-sifat lain yang cocok tepat bagi kaum awam dan sesuai dengan jenis kehidupan yang mereka jalankan dan jenis pelayanan yang mereka penuhi dalam Gereja dan dalam masyarakat, juga sesuai dengan lembaga atau kongregasi mereka.” (IL, no. 69).

Dalam teks ini juga, pertentangan antara keberadaan religius dan tetap menjadi kaum awam menjadi sangat jelas. Suatu keistimewaan dari misi tersebut juga disebutkan. “Suster dan Broeder awam yang terkonsekrasi yang tergabung dalam kongregasi kehidupan pelayanan dapat, karena misi khusus mereka, berpengaruh secara efektif demi pembaharuan dunia dalam semangat kebahagiaan surgawi.”
Saat Sinode gagasan-gagasan tersebut lebih diperjelas dan dalam ajakan “Vita Consecrata” (Hidup Bakti) (VC), suatu alinea yang panjang mengupas khusus mengenai Broeder religius. Pertama-tama diulang lagi, bahwa berdasarkan sifat dasarnya, keberadaan kehidupan terkonsekrasi bukanlah imamat maupun awam. “Oleh karena itu ‘konsekrasi awam’ baik untuk pria maupun wanita merupakan suatu keberadaan dimana dalam pengabdian terhadap petunjuk Injil adalah lengkap dalam dirinya” (VC, no. 60).

Tetapi beberapa keberatan diutarakan saat sinode terhadap istilah “lembaga awam” “Menurut terminologi yang sekarang digunakan, lembaga-lembaga yang, dikarenakan tujuan pendiri atau tradisi yang kuat, memiliki ciri dan tujuan yang tidak mencakup menjalankan Perintah-perintah Kudus (Holy Orders) disebut ‘Lembaga Awam’. Meskipun demikian menunjukkan bahwa terminologi demikian tidak cukup mengungkapkan jenis karya anggota-anggota Lembaga Religius tersebut. Nyatanya meskipun mereka banyak mengerjakan karya kaum awam beriman, mereka melakukannya sejalan dengan konsekrasi mereka, dan karenanya mengekspresikan pemberian diri secara menyeluruh bagi Kristus dan Gereja, sesuai dengan kepribadian mereka. Karena itulah Bapak-bapak Sinode, untuk menghindari ketidak jelasan dan kebingungan antara keberadaan kaum awam beriman yang sekuler, mengajukan istilah ‘Lembaga para Broeder Religius” (VC, no. 60).

Maka suatu istilah baru diperkenalkan: lembaga para Broeder religius (Religious Institute of Brothers). Yang sangat memperkaya dan inovatif adalah penjelasan lebih jauh istilah “Broeder” dari pidato Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 22 February 1995. “Kaum religius ini telah terpanggil untuk mejadi saudara laki-laki Kristus sendiri, ‘putra sulung dari banyak saudara laki-laki’ (Rm. 8,29). Saudara laki-laki satu dengan yang lain, dalam kasih sesama dan bekerja bersama dalam Gereja demi kebaikan bersama. Saudara laki-laki bagi semua orang, sebagai saksi kasih Kristus untuk semua, terutama yang terendah, yang termiskin; saudara laki-laki yang membangun persaudaraan lebih erat dalam Gereja. Dengan menghidupi aspek ini, dimana kehidupan Kristiani dan kehidupan terkonsekrasi memiliki banyak kesamaan, secara khusus ‘para Broede rreligius’ mengingatkan para imam dengan jelas aspek dasar persaudaraan ini dalam Kristus, yang harus dihidupi antara pria dan dengan setiap pria dan wanita. Lebih dari itu, mereka memproklamirkan suara Tuhan bagi semua: “Dan engkau adalah semua bersaudara’ (Mt. 23, 8).”

Empat interpretasi mengenai arti menjadi seorang Broeder religius yang mencakup unsur dasar kehidupan religius (keagamaan): contemplatio, communio dan missio. (kontemplatif, persatuan dan misi). Lebih dari itu ada misi khusus untuk membantu mengembangkan rasa persaudaraan dalam Gereja dan dunia. Gagasan bahwa para Broeder, seharusnya, memiliki pesan khusus bagi para imam adalah sungguh-sungguh baru. Lebih jauh dalam naskah tersebut pertanyaan yang juga diajukan dalam “Perfectae caritatis” juga diulas. Kita mengacu pada pertanyaan apakah seorang Broeder sebaiknya ditahbiskan sebagai imam agar bisa merayakan misa dalam rumah mereka sendiri? Tidak ada argumentasi yang kuat melawan hal ini, tetapi dalam dokumen ini dengan pasti dijelaskan bahwa hal tersebut secara eksplisit tidak dianjurkan karena sangat diharapkan bagi para Broeder religius untuk tetap setia terhadap karya dan misi aslinya. Untuk pertanyaan yang diajukan dalam “Instrumentum labori”, mengenai apakah Broeder religius berhak menjabat suatu fungsi administratif dalam suatu intitusi imamat, jawabannya adalah “tidak”, paling tidak dalam “Vita Consecrata”. “Dalam lembaga-lembaga tersebut para imam merupakan bagian penting dari lembaga tersebut dan menentukan sifat, tujuan dan semangat” (VC, no. 60).

Dalam hal lembaga campuran (tarekat yang anggotanya imam dan bruder), tertera dalam dokumen bahwa semua kaum religius memiliki hak dan tugas yang sama, suatu komisi khusus akan dibentuk jika ada masalah yang timbul. Hal ini menambahkan satu bab baru kepada buku “The Religious Institute of Brothers” (Lembaga Para Broeder Religius) dan memberi wewenang bagi para Broeder sendiri untuk lebih memperjelas identitas mereka.
Awam atau Religius
Tetapi sebelum melanjutkan permenungan kita mengenai identitas ini, saya ingin lebih mendalami sifat-sifat awam dari lembaga religius dari para Broeder. Dokumen-dokumen konsili menggaris bawahi karakter atau sifat kaum awam dari lembaga itu sendiri dan para Broeder. Br. Michel Sauvage f.s.c. membahas pilihan ini dan masalah-masalah yang timbul darinya dalam kontribusinya berjudul “La vie religieuse laique” (kehidupan para awam religius) dalam “Vatikan II, l’adaptation et la renovation de la vie religieuse” (Vatikan II, penyesuaian dan pembaruan dalam kehidupan religius). Ia menemukan kekurang jelasan dan mereka yang tergabung dalam lembaga awam sudah tidak memenuhi kriteria seperti tertera dalam “Lumen Gentium” agar dapat dianggap sebagai kaum awam yakni sebagai orang yang hidup dalam dunia. Tetapi karena istilah “kaum awam” atau “orang awam” digunakan dalam setiap dokumen, ia masih setuju untuk menggunakan istilah tersebut. Ia mengacu pada Congar yang menyatakan, dalam suatu naskah membahas teologi dari kaum awam, bahwa religius, seperti halnya dengan orang awam, berpartisipasi dalam kehidupan imamat sebagai tindak lanjut dari rahmat pembaptisan (cf. Jalons pour une théologie du laïcat, p. 366).

Kehidupan imamat diambil sebagai titik tolak dan pusat orientasi yang lazim. Memang benar bahwa kaum awam dan religius tidak berbeda dalam hal itu. Tetapi, alangkah baiknya untuk tetap mengingat pada saat seseorang dibaptis, orang tersebut telah terpanggil untuk menjadi raja, imam dan nabi. Karena devosi terhadap rahmat pembaptisan diakui bahwa seseorang yang telah dibaptis adalah raja dirinya sendiri sudah tidak lagi menjadi hamba dari dosa, imam dalam kesatuan dengan Allah Bapa dan Imam Tertinggi, Kristus, dan bahwa dia, karena telah dikaruniai Roh Kudus sanggup untuk beribadat kepada Tuhan, berperan sebagai nabi, penyebar Injil Tuhan, serta mengerti dan memproklamirkannya. Rahmat pembaptisan memberi orang kebebasan murni (raja), kekudusan (imamat) dan kebenaran (nabi). Dalam konteks tersebutlah kaum imamat secara umum harus dimengerti dan penunjukkan dari rahmat pembaptisan harus dapat terlihat. Dengan pengertian itu, kaum religius adalah dan tetap seorang penganut Kristiani yang menjalankan hidup secara eksklusif berdasarkan rahmat pembaptisan yang telah diterimanya dan dalam cahaya kebangkitan. Bila kita menelaah istilah “awam” dari sudut pandang tersebut tidak ada lagi ketegangan antara kaum religius dan awam. Tetapi jika kita mengartikan istilah “awam” berdasarkan definisi “Lumen Gentium”, perbedaan tidak dapat disangkal karena bersifat dasar: karena berada dalam dunia, umat Kristiani yang bukan imam maupun religius dibagi kedalam tiga keberadaan kehidupan yaitu: awam, imamat dan religius.
Dalam perjalanan sinode mengenai karya dan misi umat awam, Broeder religius tidak dipanggil dalam kapasitas mereka sebagai kaum awam tetapi dalam kapasitas mereka sebagai religius. Dalam naskah-naskah tersebut karya pelayanan seorang religius dianggap melengkapi karya pelayanan kaum awam karena mereka aktif dibidang atau lapangan yang sama. Pada tanggal 12 October 1987, Mgr. Corecco, ketua dari Consociatio Internationalis Studio Iuris Conoci Promovendo (Asosiasi Internasional Untuk Penelitian Hukum Kanonik Promovendo) menempatkan kaum awam ditengah-tengah proses sekulerisasi (secularization) . “Kehidupan imamat sekuler terdiri dari kenyataan yang memiliki konsekuensi teologis, bahwa kaum awam terpanggil untuk memberikan kontribusi penebusan kepada dunia dengan menerima tanggung jawab untuk kondisi kehidupan terstruktur yang dimiliki semua orang. Hal ini diinterpretasikan dengan kurang meyakinkan dan dijelmakan dalam ketiga bentuk lembaga hukum alamiah: kepemilikan, pernikahan dan kebebasan untuk mengatur kehidupan sendiri.”
Karena seorang religius memilih untuk mentaati nasehat Injil maka ia tidak memperoleh barang-barang milik (property), dan ia tidak menikah dan setuju untuk diatur hidupnya oleh atasannya. Naskah tersebut selanjutnya mengupas konsekuensi dari kehidupan religius. “Sifat sekuler dihilangkan dengan konsekrasi melalui yang menunjukkan petunjuk Injil, meskipun dari lembaga sekuler.”

Mgr. Fagiolo yang waktu itu menjabat sebagai sekretaris dari Congregation for Institutes of Consecrated Life and Societies of Apostolic Life (Kongregasi Lembaga Kehidupan Terkonsekrasi / Lembaga Hidup Bakti dan Perhimpunan Kehidupan Pelayanan, memiliki pandangan yang sama dan menambahkan bahwa pandangan teologis, dimana ada suatu pembedaan jelas antara kaum awam dan religius, sebaiknya dijadikan dasar dari semua diskusi yang lain, baik yang bersifat kanonis maupun imamat (cf. 6 Maret 1987 dimuka Komisi dari 16 anggota U.S.G).
Berbicara secara teologis, umat beriman Kristiani terdiri dari dua kelompok: kaum awam dan yang terkonsekrasi. Berdasarkan hal itulah Vatikan II mencapai pada pemisahan menjadi tiga kelompok berbeda dalam “Lumen Gentium”: imam, kaum awam yang bukan imam maupun religius, dan religius. Hal ini juga menjadi dasar bagi Hukum Kanonik (Canon Law) bagi gagasan bahwa kehidupan religius berdasarkan sifatnya bukanlah imamat maupun awam (cf. CCL, no. 588). Tetapi beberapa religius dapat ditahbiskan sebagai imam, dan hal ini memberi dimensi baru kepada kehidupan religius. Berdasarkan gagasan ini kita mungkin dapat merumuskan gagasan berikut: dengan memasuki kehidupan religius, penganut Kristiani meninggalkan status awamnya dan menjadi religius yang menjadi status barunya. Gagasan itulah yang ditetapkan oleh sinode mengenai kehidupan terkonsekrasi. Dengan sadar “Broeder awam” dan “lembaga sekuler” ditinggalkan dan diganti dengan “Broeder religius” dan “lembaga para broeder religius”. Penekanan berada pada konsekrasi, pada “Vita Consecrata”, yang merupakan cara hidup yang dapat dipilih penganut Kristiani (baik awam maupun imam). Dan mengenai lembaga para broeder religius, anggota-anggotanya telah membuat pilihan secara sadar untuk tidak ditahbiskan sebagai imam. Mereka tetap menjadi religius dalam bentuk yang paling murni.

--
Antonius Sad Budianto CM
Giriya Samadi Vinsensius (GSV)
Raya Ngemplak 2, Prigen 67157
Pandaan, Jatim

Tidak ada komentar: