Jumat, 01 Oktober 2010

MARIA BUNDA HATI KUDUS DALAM PERSPEKTIF KEUTAMAAN KONGREGASI cinta kasih, kesederhanaan, ketaatan, dan ingkar diri)

Para frater secara historis dan dari waktu ke waktu mewariskan keutamaan khas kongregasi, yakni sebagai penanda setiap frater BHK. Keutamaan tersebut adalah cinta kasih, kesederhanaan, ketaatan dan ingkar diri (konst. ps. 69). Keempat keutamaan tersebut menjadi wujud penghayatan konkret hidup rohani dari ciri khas sebagai frater agar menjadikan mereka sanggup mendekati orang miskin. Melalui keutamaan tersebut pula, orang miskin dapat merasa diakui, dihargai, dicintai di tengah-tengak kita sebagai frater. Hidup Maria Bunda Hati Kudus sangat mewarnai dan menjadi inspirasi dalam menampilkan ciri khas kongregasi terutama berkaitan dengan upaya hadir dan melayani orang miskin.


1) Bunda Hati Kudus menampilkan cinta kasih Allah secara manusiawi

Cinta kasih sebagai keutamaan teologal yang menjadi keutamaan kristiani yang perlu dihayati oleh setiap umat kristiani. Melalui cinta kasih pula, para frater diundang untuk menjadi saksi cinta kasih Allah untuk setiap orang. Melalui usaha belas kasih kita, setiap pribadi diajak untuk mengalami kebaikan Allah sendiri (konst. ps. 70). Maria sungguh menampilkan cinta kebaikan Allah secara manusiawi. Dimensi keibuan Maria menunjukkan betapa Ia membagi hidupnya semata-mata demi terwujudnya kehendakNya. KehendakNya tiada lain adalah semua orang mengalami cintaNya. Dan Maria mewujudkan itu dalam sikap dan tindakan kemanusiawiannya (bdk. konst ps.48).

Cinta kasih yang ditunjukkan Maria secara manusiawi bersifat mengabdi. Totalitas pengabdian Maria merupakan perwujudan cintanya kepada Bapa yang berkehendak atas hidupnya. Cinta kasih yang total dalam pengabdian Maria mengajarkan kepada kita akan arti cinta kasih yang amat mendalam. Cinta kasih yang sejati adalah bukanlah kita yang telah mengasihi, melainkan Allahlah yang lebih dahulu mengasihi kita (bdk 1 Yoh 4:10.19). Kita akan sungguh sanggup mengasihi orang lain terlebih mereka yang membutuhkan kalau kita sendiri sungguh merasa “dikasihi”. Cinta kasih yang ditunjukkan Maria secara manusiawi itu bersifat “mengabdi” (bdk Konst ps. 45.47-48). Dimensi keibuan Maria yang mengabdi Allah dalam Yesus terwujud secara konkret dalam hidup eksistensial di tengah masyarakat. Bersama Maria, kita diundang juga mewujudkan cinta kasih Allah secara manusiawi dan konkret bisa dialami orang lain. Sebagaimana Muder Teresa sendiri juga menghayati, ”kasih yang mendalam adalah ketika mengasihi saudara kita sampai terasa sakit.” Bila kita sungguh-sungguh mengasihi secara demikian seperti halnya Maria, maka kita boleh yakin sebagaimana keyakinan Rasul Paulus bahwa Allah turut bekerja bersama kita (Rm 8:28).

Setiap frater perlu mengusahakan penghayatan cinta kasih ini dalam hidup harian konkret. Selain sebagai seorang beriman kristiani, sebagai putra Maria kita seperti halnya Maria diundang untuk mewujudkan cinta kasih itu secara riil. Cinta kasih itu harus afektif sekaligus efektif. Hal ini berarti setiap frater senantiasa diundang untuk membangun cinta kasih itu lewat relasi personal dengan sumber kasih, namun sekaligus mewujudkan kepada mereka yang paling membutuhkan. Ukuran cinta kasih kita sungguh nyata, nampak pada sejauhmana cinta kasih itu sungguh terasa dialami secara konkret dalam hidup mereka yang sungguh membutuhkan. Tidak jarang kita hanya berhenti pada cinta kasih yang afektif dan kurang berani mewujudkan secara efektif dalam hidup mereka yang paling membutuhkan. Bila sungguh mencintai Allah seperti halnya Maria Bunda Kudus, kita akan boleh merasakan pengalaman yang disampaikan Rasul Paulus,"Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia." (1 Kor 2:9)


2) Bunda Hati Kudus teladan kesederhanaan hati

Kesederhanaan merupakan keutamaan kongregasi yang menjadi penanda sejak awal. Pendiri sendiri menjadikan kesederhanaan sebagai keutamaannya dalam menggembalakan umat. Semboyannya “In Sollicitudine et Simplicitate” - dalam kepedulian dan kesederhanaan; mencerminkan gerak hatinya akan keutamaan tersebut. Dengan sederhana, setiap frater akan mampu memahami secara mendalam apa yang kiranya menjadi yang utama dan mengarahkan diri kepada yang utama itu. Dalam pengalaman awali kongregasi, semangat kesederhanaan sungguh dijaga dalam hidup harian, terutama dalam semangat dan penggunaan sarana-sarana dalam komunitas. Sederhana atau simplicity dapat diartikan sebagai merupakan hati yang terarah hanya kepada Allah. Hati yang terarah kepada Allah tiada lain adalah hati yang murni, tulus, jujur, lurus tidak belok-belok. St. Vinsensius menyatakan “Simplisitas [=kesederhanaan, ketulusan, kejujuran, kepolosan, kelurusan hati], "pertama-tama berarti mengatakan kebenaran. “Kelurusan hati berarti… mengerjakan segala sesuatu demi kasih akan Allah.”(SV XII, 302) “Kelurusan hati mengantarkan kita langsung kepada Allah dan kepada kebenaran, tanpa berliku-liku dan tanpa sikap sembunyi-sembunyi”(DBSV. V, 36). Maka kesederhanaan kerap disimbolkan dengan merpati atau anak kecil. Dalam arti ini, kita dan seluruh hidup kita terarah kepada Dia semata. Dalam arti ini, kesederhanaan tidak sekedar persoalan materi makan sedikit, tidur sedikit, pakaian seadanya. Pertama-tama, kesederhanaan merupakan sikap batin kita yang terarah pada Dia. Dengan sikap batin ini, orang menjadi sanggup membedakan mana yang pokok dan mendasar dengan mana yang sifatnya semu dalam hidup. Dengan sikap batin ini pula seseorang mampu membangun kesadaran akan kenyataan diri dan di luar dirinya.

Maria memiliki kesederhanaan hati yang mengungkapkan cinta dan kebaikan Allah (konst. Ps. 52). Relasi yang mendalam Maria dengan Allah menjadikan hatinya terbentuk sehingga hidupnya penuh terarah hanya kepada Allah. Maka jawaban “ya” yang lahir dari proses masuk ke dalam hatinya, sungguh menjadi cerminan kesederhanaan hatinya yang memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi terlaksananya karya Allah dalam hidupnya. Yesus sendiri menyatakan siapa yang layak menerima kerajaan Allah adalah mereka yang memiliki “hati” sederhana seperti anak kecil (bdk. 18:1-10). Maria layak menjadi pribadi yang terbesar dalam kerajaan Allah sebagaimana yang telah dinyatakan Yesus. Hidup Maria hanya semata-mata untuk Allah dan mendampingi Yesus dalam mewujudkan karya keselamatan.

Setiap frater senantiasa diundang untuk menjadi pribadi yang sederhana. Dengan belajar dari hidup Maria yang memiliki hati yang sederhana, kita dimampukan untuk membangun komitmen mewujudkan kesederhanaan dalam hidup. Dengan sederhana, kita diharapkan untuk selalu mengarahkan diri kepada Tuhan, mengejar kebaikan setulus mungkin (bdk. Konst. ps.73) Roh kesederhanaan kiranya merasuki juga penghayatan karya perutusan dan kepemimpinan. Dengannya kita akan mampu memberikan harapan, mendekati, memberikan inspirasi, dan memberikan kepercayaan kepada mereka yang kita pimpin dan layani (yang miskin). Kita perlu sadar bahwa penghayatan kesederhanaan untuk jamn ini serasa berat dan tak mungkin. Kita seperti dipacu untuk bersaing bahkan tidak jarang kita mengedepankan ambisi-ambisi egoistis. Bila kita mengalami demikian, kita dituntun untuk senantiasa bertobat dan belajar dari Bunda Hati Kudus yang dengan sederhanaanya menyusuri dinamika hidupnya.


3) Bunda Hati Kudus adalah pribadi yang taat akan kehendak Allah

Obidience (ketaatan) mempunyai akar kata Latin audiere yang berarti mendengarkan. “Mendengarkan” bukan bukanlah sikap pasif melainkan sikap aktif untuk melaksanakan sesuatu. Jawaban Maria atas kabar gembira yang diterimanya dari malaikat,”aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu itu”(Luk 1:38), menunjukkan ketaatannya akan kehendak Allah. Maria konsekuen terhadap konsekuensi dari jawabannya itu. Ia menyanggupkan diri secara total dan sempurna atas ketaatannya itu. Kesanggupaannya itu ia buktikan sampai titik/saat terakhir dalam hidup Puteranya, khususnya pada saat memangku jenazah Yesus. Dalam kesunyian batin, Maria tetap taat dan menyatakan “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” walaupun dalam hati dan tak terucapkan. Seluruh hidupnya adalah demi terwujudnya kehendak Allah. Keutamaan inilah yang kelak juga mewarnai hidup Puteranya yang juga taat kepada kehendak Bapa (bdk. Mat 26:39).

Para frater senantiasa bersama Maria, diundang untuk sanggup mendengarkan “suara” Allah,

persekutuan dan sesama kita (Bdk Konst. ps.6). Bunda Maria mengajak kita untuk berani mempercayakan hidup kita kepada Allah sebagai wujud ketaatan kita (bdk. konst. Ps.29). Sebagai putra-putra Maria Bunda Hati Kudus, patutlah kita meneruskan/mengembangkan keutamaan ini sebagaimana Bunda Maria dan Yesus pun menghayati hal yang sama. Ukuran ketaatan kita secara nyata dapat dilihat pada sejauhmana kita terlibat dalam hidup sesama kita terutama mereka yang sulit memperoleh hak mereka (bdk. Konst. ps 20). Hidup kita merupakan hidup yang dibaktikan kepada Allah. Kehendak Allah dinyatakan lewat suara pimpinan. Kita akan mendengarkan secara aktif dan mengambil bagian dalam keputusan itu. Karena itulah konsekuensi dari keputusan kita. Kita menaruh kepercayaan kepada atasan yang memimpin kita. Kita diundang untuk taat seperti Maria dan Yesus, sehingga kita pun dapat melambungkan madah penuh iman,”sungguh, Aku datang untuk melakukan kehendak-Mu” (Ibr 10:9).


4) Bunda Hati Kudus: sedia untuk ingkar diri demi kehendak Allah

”Setiap orang yang mau mengikui Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan

mengikuti Aku”

(Mat 16:24).

Prasyarat sebagai murid yang mengikuti Yesus telah dipenuhi secara total oleh Maria. Teks Matius 16:24 yang menyajikan tiga syarat menjadi murid telah menjadi bagian hidup yang telah dijalani Maria. Menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus telah dipenuhinya. Maka tidaklah heran Maria dapat disebut sebagai murid yang paling agung. Undangan Yesus yang menyatakan,”Ikutlah Aku” (bdk. Mat 4:19; 8:22; 9:9; 19:21), telah dipenuhi Maria. Ketiga syarat yang diajukan Yesus merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling mengandaikan satu dengan yang lain. Mengikuti Yesus namun tidak dengan memikul salib tidak layak menjadi murid, karena murid demikian bukanlah murid yang setia pada jalan gurunya. Memikul salib tanpa ada kesediaan untuk menyangkal diri tidaklah mungkin. Hanya orang-orang yang sanggup menyangkal dirilah yang sanggup memikul salib. Singkatnya, menyangkal diri menjadi jalan awali yang perlu ditempuh bagi siapapun yang ingin menjadi murid. Bunda Hati Kudus menyadarkan setiap frater untuk menjadikan ingkar diri sebagai way of life dalam meniti panggilan sebagai religius.

Dalam hidup Maria sejak perkandungannya sampai akhir hidupnya, dipenuhi dengan keutamaan ingkar diri yang mendalam. Keagungan Maria tidak semata-mata karena diperkenankan mengandung Yesus Putera Allah; secara pasif. Melainkan, Maria sungguh mengupayakan diri dan seluruh hidupnya agar pantas di hadapan-Nya. Jalan kemuridan yang ditempuhnya adalah ingkar diri. Karya keselamatan terwujud berkat ingkar diri Maria yang menyatakan hamba di hadapan Tuhan yang maha agung, dan tidak menonjolkan dirinya. Dengan ingkar diri inilah Maria menjadi pribadi yang rendah hati di hadapan Allah. Tujuan ingkar diri itu sendiri adalah untuk mencintai Allah, untuk menyesuaikan keputusan kita pada Allah, menyerahkan kehendak kita kepada Dia yang harus kita taati. Ingkar diri inilah yang juga menjadikan Maria semakin bebas menjalani panggilannya sebagai Bunda dari Hati Kudus. Dalam konteks ingkar diri ini kita dapat membedakan jawaban Maria atas undangan Allah (bdk Luk 1:38) dengan jawaban Zakaria yang juga menerima kabar dari malaikat Tuhan (bdk. Luk 1:18). Jawaban Maria nampak sekali unsur ingkar dirinya, karena Maria tidak menonjolkan diri, mengalahkan diri di hadapan Tuhan. Sebaliknya, jawaban Zakaria penuh diwarnai dengan ketakpercayaan, keraguan, bahkan seolah menomorsatukan dirinya (pikirannya) dengan kehendak-Nya.

Ingkar diri menjadikan Maria bebas dalam mempersembahan diri kepada kehendak-Nya. Bebas (dalam arti positif) mengandung dua makna. Makna pertama, bebas untuk memilih dan mewujudkan apa yang bernilai, khususnya yang sesuai dengan nilai adikodrati (kehendak-Nya). Kebebasan dapat disebut dengan kemampuan untuk memilih (The power of choosing). Kebebasan sejati merupakan kebebasan yang bersumber dari dalam diri seseorang, tak seorangpun sanggup menghapuskannya. Pengertian kebebasan yang keliru dan banyak dianut adalah kebebasan semaunya, bebas dari (yang membatasi), bebas memilih dan melepaskan pilihan; pindah (mirip kebebasan di dunia pasar). Sedangkan yang kedua, seseorang dapat dikatakan bebas ketika sanggup menerima segala hal yang sulit kita hindari/tolak. Kita dapat menemukan dan mengalami banyak dalam dinamika hidup ini yang tidak bisa kita hindari dan tolak. Keutamaan yang diminta hanya kemampuan “menerima”-nya. Makna kedua ini juga yang kerap belum dimengerti banyak orang. Kerap kali kita menghindari segala hal kalau hal-hal itu menjadikan kita gelisah, susah, menderita dsb. Maria sungguh-sungguh mengalami kedua makna kebebasan tersebut. Setiap pengalaman manusiawinya terutama dalam hubungannya dengan sang Putra, senantiasa dimasukkan dalam hatinya, dibatinkannya. Dengan ingkar diri itu pula Maria sekaligus membentuk hatinya sehingga menjadi relung terdalam tempat dimana dalam dirinya, Allah dan kehendaknya senantiasa ditemukan.

Para frater diundang untuk senantiasa menimba inspirasi dari kekuatan ingkar diri Maria Bunda Hati Kudus. Undangan ini sungguh penting mengingat konteks hidup kita sekarang justru menjadi halangan kuat untuk semakin mampu ingkar diri. Pembaktian diri kita sekarang dihadang dengan banyak hal yang menawarkan kepada kita untuk semakin egoistis dan mengisolasi diri dari hal-hal rohani. Tarikkan tersebut demikian kuat sehingga mempengaruh dinamika hidup membiara. Upaya ingkar diri sepertinya menjadi upaya yang usang dan “jadul” dan “tidak gaul”. “Hari gini.. orang masih harus ingkar diri...wah. yang lain aja deh”, mungkin ungkapan ini bisa mewakili generasi dan situasi saat ini. Bersama Bunda Hati Kudus, para frater dan kita sekalian diundang untuk membaharui kemitmen pembaktian diri kita kepada Allah dalam Yesus Kristus. Inilah kiranya yang patut diseriusi oleh para frater dan yang membaktikan diri, untuk membaharui komitmen dalam konteks kemuridan jaman ini. Misi yang paling jauh dan sulit adalah misi untuk masuk ke dalam hati kita sendiri. Berkah Dalem

Tidak ada komentar: