Rabu, 26 Januari 2011

“Dia yang mengajari aku”


Oleh : Fr. M. Stefanus, BHK


Hidup ibarat tanda Tanya yang selalu melingkar dalam setiap perjalanan. Dimana hari ini pemikiran akan datang dan membuat kita harus berpikir apa yang akan terjadi dalam diri ku hari esok. atau mungkin satu kalimat Tanya yang akan sangat membuat kita tak akan pernah tahu apa jawaban yang pasti “siapakah aku pada hari esok. Semua orang mungkin dapat bermimpi akan apa yang akan terjadi pada dirinya namun tidak semua orang dapat dengan pasti memastikan apa yang menjadi mimpinya. Sosok per sosok memiliki jalan pangilan yang berbeda,aku yang terkapar dalam perjalanan dan dia yang terbaring di pembaringan sutra, dia yang miskin dan dia yang kaya. Inilah yang menjadi realitas hidup saat ini. Namun siapakah yang lebih berkenan untuk diterima? Dalam segala kegiatan berjuanglah hanya untuk mencari kemuliaan Allah dan menyenangkan Dia”(Jalan Vinsensian,Kasih kapada Allah). Kalimat ini merupakan jawaban atas setiap pekerjaan dan tindakan yang kita pilih. Tak ada pekerjaan dan tindakan yang buruk jika itu benar keluar dari hati untuk memberi dalam memuliakan Tuhan.
Pengalaman berarti dalam hidupku yang membuat aku tidak akan pernah dapat melupakannya. Pengalaman masa live in yang mana terdiri dari tiga tahapan, menjadi pemulung,jualan kacang,dan ngamen. Ketiga bentuk praktek ini dijalankan perminggu dan bagi saya tidak ada yang mudah dan tidak ada yang gampang.karena saya merasa bahwa untuk keluar dari diri yang penuh dengan keegoisan, sombong dan angkuh dan menempatkan diri menjadi orang lain rasanya sangat sulit bagi saya untuk  dilakukan. Namun di sinilah saya belajar untuk mencari apa yang sebenarnya ada dalam pribadi-pribadi yang berbeda ini.dalam ketiga bentuk praktek yang saya rasakan paling berkesan dalam diri saya adalah menjadi pemulung. setiap pagi saya berjalan dengan memikul karung dan harus memungut barang-barang bekas yang dubuang.awal dalam memungut saya pribadi merasa sangat sulit. Dalam kedalaman hati ini, saya merasakan adanya perasaan malu yang masih melekat dengan kuat sehingga bagi saya itu merupakan tantangan yang sangat besar bagi pribadi saya.disini saya berusaha untuk melawan semua perasaan malu yang sedang bergejolak dalam diri saya. Dengan perlahan-lahan saya mencoba memunggut sampah botol aqua yang saat itu ada di depan saya. Berat dan sungguh berat rasa yang saya rasakan dalam diri saya. Ingin aku lari dari beban ini. Namun aku sadar inilah kenyataan hidup saya saat ini.
 
Dalam perjalanan yang panjang dan panasnya terik matahari yang semakin menyengat kulit. Saya kembali untuk berpikir bagaimana jalan terbaik bagi saya agar dalam diri saya tidak ada lagi perasaan malu.sebab perasaan malu ini seperti membuat saya tak berarti dan terus bertekuk lutut.tampa disadari pandangan saya tertuju pada seorang pemulung yang terlihat begitu menikmati dalam memungut sampah.apa yang membuat mereka begitu menikmati pekerjaan ini? Satu pertanyaan yang kucoba untuk direnungkan dalam hati. Sesaat sambil berjalan, pikiranku pun terpecahkan oleh situasi yang menghantar aku pada kesadaran mengenai sebuah perjuangan. Aku sadar bahwa hidup yang mereka jalankan ini adalah demi sebuah perjungan yang mana harus menentukan hidup dan mati. Mereka rela melakukan apapun untuk mempertahankan hidup yang saat ini mereka jalani. Tidak ada rasa malu dalam diri mereka jika itu berkaitan dengan hidup mereka. Aku merasa begitu tak berarti keegoisan dalam diriku serasa menutup dengan rapat kedua mataku sehingga aku tak dapat melihat apa yang menjadi makna dalam perjalanan saya saat ini. Aku hanya melihat apa yang menjadi kebutuhan dalam diriku dan memaksakan agar itu terpenuhi. Kini dengan pengalaman menjadi pemulung aku disadarkan akan betapa pentingnya hidup yang dijalani. Bertindak demi makna merupakan sesuatu yang sulit untuk diperjuangkan namun bukan berarti saya harus lari dari kenyataan dan lupa untuk bertindak. Orang miskin memberikan sumbangan berarti dalam diri saya yang sebenarnya tidak saya miliki. Dari orang miskin saya diajarkan untuk bersyukur akan setiap rahmat yang saya terima,dari orang miskin saya diajarkan untuk saling menghargai setiap pribadi.saya sadar bahwa terkadang dalam hidup berkomunitas hal yang masih sulit dalam diri saya adalah menerima kekurangan orang lain.
Dalam praktek ini entah sebagai pemulung, penjual kacang, dan ngamen. Saya merasa bahwa ketiga bentuk praktek ini mau mengajarkan hal-hal yang berharga bagi saya. Saya menyadari bahwa terkadang saya melihat orang miskin dengan sebelah mata. Dalam paradigma berpikir, saya sering menganggap bahwa orang miskin itu tidak ada artinya sama sekali. ”Seorang manusia menjadi manusia karena dirinya mengakui orang lain sebagai manusia”, (Desmond Tutu, Aktivis anti Apertheiod Afrika Selatan). Kalimat ini saya kutip karena dalam penglaman ini saya menyadari bahwa kurangnya diri saya untuk mau mengakui orang lain sebagai pribadi yang sama dengan pribadi saya, dimana diciptakan serupa dengan gambaran Allah berbicara tentang orang miskin sering keluar dari mulut saya mengenai kata-kata yang indah namun rasanya itu semua belum berarti jika tanpa pengalaman ini. Orang miskin ternyata menyadarkan saya bahwa guru yang paling berharga adalah pengalaman hari ini yang mana tak mungkin untuk terulang kembali di masa-masa yang akan datang.



Kebesaran dalam Simplisitas

Di jalan ini kutatap lekat pribadi –Mu
Berlumuran debu, berwajah dekil
Bak setangkai bungga harum yang kau sebarkan atas diriku
Dimana makna akan kehidupan kembali direnungkan

Untuk apa aku dengan keberadaan ini ?
Untuk apa aku dengam profesi ini ?
Kebaikan mu memancarkan isi hati mu
Menyadarkan aku akan apa itu hidup

Meski tak seindah pandangann mata
Hati merasakan apa itu keindahan
Bukan emas, bukan permata…
Ketulusan itu yang menjanjikan kebesaranmu

Langkah kaki yang semestinya cepat
Beban ini yang menjadikan patah tak berdaya
Akankah aku lari bagai seorang pengecut
Di antara penderitaan dan tangisan

Dalam kerikil jalanan
Keringat perjuangan menetes ke tanah
Menumbuhkan benih-benih pengertian
Yang tak seharusnya melekat mati
Ada apa dengan simplisitas ?

Tidak ada komentar: