Kamis, 20 Oktober 2011

JATI DIRI PARA IMAM DAN KAUM RELIGIUS


Oleh: Mgr. Luis A. G. Tagle

Ia membedakan secara tajam sambil menandaskan bahwa seorang imam lebih terarah kepada kepemimpinan pastoral. Imam ditahbiskan untuk menjadi ‘gembala” di bidang moral, spiritual, dan iman. Ia lebih sebagai penjaga iman, jiwa-jiwa dan jemaat. Ia adalah penjaga, pemerhati dan pengemban jiwa-jiwa, iman dan hidup kristiani melalui pengajaran, pengudusan dan penggembalaan (pelayanan). Tugas imam adalah menjamin bahwa umat tetap menjadi satu kawanan beriman, beribadah dan bersaksi serta melayani. Imam adalah wajah Kristus sebagai seorang ‘gembala’ yang baik (Pastor Bonus)

Sedangkan mereka yang dipanggil menjadi kaum religious adalah mereka yang mau menghayati sungguh-sungguh janji baptisnya dengan mati terhadap dosa dan hidup bagi Allah saja melalu ‘penguduan secara total’ (total consecration), artinya secara radikal mengikut Yesus dari dekat.
Maka orang yang memilih hidup membiara bukan untuk menjadi pemimpin pastoral, tetapi lebih untuk mengikuti Yesus sambil memberikan kesaksian tentang Yesus  melalui hidup yang sungguh-sungguh milihNya saja. Tak ada yang memisahkan mereka dari Tuhan; baik kekayaan, ambisi, kekuasaan maupun apapun juga.
Kaum religius menjadi tanda yang hidup dari Yesus yang taat, solider dan menyelamatkan orang lain. Religius adalah ‘wajah Kristus’ yang hidup bagi Bapa dan sesamanya, dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian. Tentu saja semangat hidup religius dapat memperkaya hidup pastoral para imam. Tetapi tidak berarti bahwa imam dan religious adalah sama. Sebab dengan dengan demikian, seorang biarawati yang adalah religius akan  meminta haknya ‘disamakan’ seperti imam.

Uskup Tagle kemudian mengatakan bahwa jati diri (identity) serta hidup para imam dan religious pada abad 21 ini tidaklah lepas dari situasi atau suasana khusus yang menandai abad 21 ini. Ia menunjukan adanya 4 fenomena besar yang menandai situasi abad 21 ini

Pertama, Pengaruh Globalisasi

Dunia dan manusia dewasa ini sangat dipengaruhi oleh globalisasi. Dunia menjadi tanpa dinding, tanpa batas dan menjadi satu keluarga besar. Apa saja yang dominan dan popular akan sangat berpengarug: entah ide, pikiran, gaya hidup, mode, paham, hoby atau kemajuan teknologi. Dunia penuh persaingan, semakin sekuler, konsumtik, materialistic dan individualistic. Juga dunia terpecah-pecah oleh persaingan. Hal baik dan buruk bisa sama-sama berpeluang untuk menaklukkan manusia. Maka tantangan bagi para imam dan kaum religius adalah :
Nilai apa yang kalian tawarkan pada dunia ini dan seluruh penduduknya ? adakah nilai sejati yang bisa mengglobal? Adakah sesuatu yang bisa mempersatukan ?


Kedua, berkurangnya kepercayaan kepada kepemimpinan baik pemerintahan maupun Gereja.

Dimana – mana para pemimpin dibanjiri kritik, protes, caci-maki, bahkan secara tidak santun dan hormat. Kepemimpinan Gereja pun tak lepas dari kritik terbuka semacam ini. Kewibawaan GEreja dipertanyakan. Ingat saja kasus pelecehan seksual. Ingat saa di keuskupan dan di paroki: Umat terinspirasi oleh semangat revormasi. Mereka lebih berani mengkritik terlebih jika kelemahan itu sangat kentara. Maka tantangan bagi para imam dan kaum religious adalah:
wibawa apakah yang Anda punyai: jubah, sleyer, salib? Kuasa status social, keberhasilan financial? Atau kewibawaan karena pelayanan dan pengurbanan?


Ketiga, semakin terkucilnya kaum miskin dan kecil dalam masyarakat.

Sebuah skandal bahwa banyak orang mati kelaparan, busung lapar dan bunuh diri karena tak bisa membayar SPP, dimana letak keberpihakan Gereja pada kaum miskin (option for the poor)? Tantangan bagi par aimam dan kaum religius:
Jadilah orang tua, saudara-I yang ramah (welcoming fathers, brothers, sisters). Jadilah seorang pemberi perhatian (caregivers); jadilah para imam dan kaum religious ada (available) bagi mereka dan mencintai mereka tanpa syarat (unconditional love) ?


Keempat, pencarian akan makna kehidupan dan semangat hidup

Banyak orang hidup tanpa arah dan tanpa makna. Ternyata makanan, sex dan keuasaan bukanlah  nilai abadi yang menenteramkan dan membahagiakan orang. Handphone, villa, plesiran, kekerasan, terorisme bukanlah jawabannya. Orang bosan, stress dan terus mencari makna hidup. Para imam dan religious ditantang untuk menawarkan makna hidup dan nilai spiritual; jadilah garam dan terang dunia (be light and salt of world). Jangan sembunyikan terangmu, garam duniamu dan kepemimpinan pastoralmu, serta jangan sembunyikan dirimu sebagai pengikut Kristus (immitatio Christi). Jadikan dirimu sebagai pengingat Kristus yang hidup (living reminder of Christ). Jadikan dirimu sebagai simbol Kristus yang hidup (let the people look in you the living sign of Christ). Biarlah mereka menemukan kepenuhan hidup dalam hidupmu.!

Situasi konkret dunia dan manusia abad ini menuntut para imam dan religious lebih tampil sebagai pembangun persaudaraan atas dasar kasih. Di samping itu menjadi pemimpin/tokoh teladan karena pelayanan, pengurbanan dan pemberian diri; menjadi pemerhati dan pejuang bagi mereka yang miskin dan terkucil; memiliki kasih sayang dan perhatian (compassionate and caring); menjadi jalan, kebenaran dan hidup (via, vita et veritas); dan menjadi jawaban atas  kebutuhan dan kerinduan banyak orang akan makna hidup.


*) Uskup Keuskupan Imus, Pilipina.
     MISSIO KKI no. 30/XIII april 2011

Tidak ada komentar: